BAB 10. MENTAL PENGEMIS

163 12 2
                                    

Ratna: Halah, halah, apa-apaan sih kalian ini malah mau ngerepotin kakakmu? Nggak boleh kayak gitu.

Aida: Ehm, padahal gapapa bu.

'Maaf aku cuma mengatakan ini basa-basi aja. Aku nggak berani ngajak kalian ke sini karena semua tidak sesuai dengan apa yang kalian pikirkan.' Aida tahu tidak seharusnya dia berbohong lagi. Tapi masa iya dia mengatakan pada keluarganya tidak boleh?

Ratna: Jangan biasakan adikmu punya mental pengemis dan berharap sama orang lain. Ingat Aida, kita tidak boleh berharap kecuali kepada Tuhan.

Tapi memang ini juga adalah jawaban yang sudah diperkirakan oleh Aida.

Ibunya memang tidak akan pernah mengizinkan adik-adiknya kalau datang ke sana untuk mericuhi Aida.

Lingga: Maaf deh Bu, kalau gitu aku akan ubah rencana aja. Nanti kalau aku udah jadi pilot aku bikinin rumah buat ibu yang kayak gitu.

Lestari: Emang gaji pilot itu gede ya Mas? Bisa buat beli apartemen?

Lingga: Iyalah. Nanti aku jadi pilot bukan cuman sekedar pilot biasa aja. Dan aku nggak beli apartemen tapi rumah untuk ibu. Itu nanti lebih bagus daripada rumah kita yang dulu. Modelnya ga kaya rumah jadul, pokoknya beda sama nanti yang aku buat, wah deh.

Aida: Aamiiin ya Rob. Semoga impian adikku yang ganteng ini bisa terwujud.

Tak menunggu lama Aida langsung mendukung karena memang itu juga adalah impiannya.

'Perjuanganku sudah sampai sejauh ini. Dan aku sudah membiarkan diriku terhina. Entah apa yang dipikirkan kakek Adiwijaya dengan memintaku untuk menjadi istri cucunya dan apa yang dia ancamkan pada cucunya sampai ini semua terjadi, semuanya masih misteri untukku. Tapi yang pasti aku berharap adik-adikku bisa mewujudkan semua impian mereka dengan memanfaatkan kesempatan ini yang mungkin tidak akan tak pernah terjadi dua kali.'

Aida tidak memikirkan tentang dirinya sendiri.

Semua yang dilakukannya memang hanya untuk keluarganya. Jadi semua yang dikatakan oleh Lingga itu membuat hatinya sungguh penuh rasa haru dengan harapan impian adiknya itu terwujud.

Arum: Aku juga nanti mau jadi dokter dan aku juga nggak mau kalah sama mas Lingga. Aku juga bisa punya uang banyak kalo udah praktek.

Ratna: Astagfirullah. Arum, jadi dokter itu adalah niat yang mulia. Dan seorang dokter itu harusnya berpikir bagaimana cara menyembuhkan pasiennya bukan memikirkan berapa banyak uang yang akan kamu kantongi. Kalau kamu mau jadi dokter cuma untuk mengejar kekayaan saja itu tak baik. Allah pasti murka, tak berkah.

Arum: Hehehe. Iya Bu maaf. Maksud Arum juga nggak mau nekenin ke pasien, Bu. Duh, gimana ya...

Ratna: Nggak perlu gimana-gimana, Ibu pesen ke kalian semua, hati-hati kalau bicara. Ingat, Allah itu Maha Mendengar dan Maha Tahu niat di hati kalianD dan apa yang kalian lakukan kalau kalian berbuat kesalahan maka nanti Ibu dan ayah kalian juga akan repot urusannya di Mahsyar. Karena Allah menjadikan Ibu dan ayahmu adalah madrasah pertama kalian belajar tentang hidup.

Arum: Iya Bu, maaf.

Lestari: Berarti daripada jadi dokter mendingan aku ya Bu, kalau misalkan aku sekolah desainer terus nanti aku jadi desainer baju terkenal aku bisa jual baju dengan harga yang mahal dan bisa banyak uang.

Ratna: Sama aja itu salah, Tari. Namanya pekerjaan itu semuanya harus dikerjakan berdasarkan hati. Bukan cuma berpatokan dengan uang. Sudah, matikan teleponnya kasihan kakak kalian. Dia ada suami yang harus diurus di sana bukan cuma ngobrol nggak jelas kayak gini.

Aida: Padahal nggak apa-apa kok Bu.

Ratna: Ibu sudah cukup senang mendengar suaramu. Sekarang matikan teleponnya dan urus suamimu ya. Apa dia sudah makan malam atau belum? Masaklah untuknya. Jangan selalu beli makanan jadi karena itu belum tentu sehat. Kamu harus memperhatikan kesehatan anggota keluargamu ya Aida.

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang