Bab 100. Mas ROY

54 6 1
                                    

"Mulutmu itu, selalu saja bikin gatel telingaku."

"Hehehe ... canda, Masako, atau Mas Roy, singkatan dari Mas Royco? Hahaha."

Saat itu pula Reiko menaruh sendok di mangkuk bubur dan matanya mendelik pada Aida yang tadi bisik-bisik padanya dan sekarang tertawa geli.

"Mau membuat masalah baru denganku, hmm? Belum puas sakit dan tanganmu dalam kondisi seperti ini?"

Tapi tampaknya Reiko tak sedang ingin bercanda.

"Iya, iya Pak Mas Roy."

"Pak."

"Iya tadi kan depannya udah pake pak."

"Kamu tuuuuh uuuugh --"

Reiko tak tahan dia sudah menaruh mangkuknya dan mengepalkan tangan kanannya seakan ingin meninju Aida.

"Eeeh, iya, iya ampuuuun. Jangan gampang marah Pak. Nanti cepet tua, cepet keriput, cepet masuk liang-"

"Buka mulutmu dan makan saja ini. Aku sudah capek-capek masak. Dan kerjaanku masih banyak ini."

Reiko tak mau meladeni candaan Aida dan dia malah membuat wanita itu terpaksa harus membuka mulutnya tentu dengan menatap wajah Reiko yang ditekuk seperti dompet tanggung bulan.

"Kenapa manggut-manggut?"

"Hemmmmm ...," Aida membuat mimik wajah puas dan memberikan jempol tangannya meski dibalut perban.

"Ini Bapak masak sendiri? Masakannya enak juga loh Pak, kenapa gak buka resto aja? Resto Mas Roy, slogannya pas dan gurih, segurih Masako dan Royco. Hahahaha, uhuuuk uhuuuuk."

Sayangnya sebelum Aida yang menggoda Reiko itu selesai terkekeh, di tengah tawanya dia batuk-batuk karena keselek.

"Kalau mau muji, muji yang benar. Nah, itu namanya ketulah," ketus Reiko. Tapi tetap tangannya mengambilkan segelas air yang ada di meja lipat itu dan menyodorkannya pada Aida.

"Udah, biar aku aja yang pegang airnya. Tanganmu baru berkurang pengaruh biusnya. Dua-duanya diperban begitu. Nanti kalau gelasnya tumpah, jatuh gimana?"

Saat membantu mendekatkan gelas itu pada bibir Aida, Reiko sambil bicara, wajah Reiko kalem. Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun saat tangannya bergerak untuk menyiapkan suapan keduanya.

"Makasih airnya ya Pak. Tapi beneran enak loh Pak masakannya. Berarti selama ini Bapak yang nyiapin sarapan ya?" celetuk Aida ketika Reiko mendekatkan satu suapan lagi memaksa dirinya harus membuka mulutnya.

Tak ada maksud apapun, hanya sekedar tanya. Dirinya juga cuek, seperti biasa pada Reiko.

"Makan siang, makan malam, Bapak juga nyiapin?" tanya Aida saat sudah menelan makanannya padahal Reiko belum jawab pertanyaan pertama tadi.

"Belajar dari--uhuk uhuk."

Namanya juga mengunyah makan sambil bicara ya keselek.

"Makanya, makan aja dulu. Jangan sambil ngomong. Keselek terus dari tadi," ujar Reiko yang baru saja mengomentari Aida, sambil tangannya bergerak mengantarkan air minum lagi.

"Cuman pengen tau aja kok Pak. Cowok masak, lumayan mandiri juga, kirain Bapak tuh anak manja yang bisanya ngomel doang. Heheheh."

"Seneng amat sih nyindir orang?"

Sambil menyuapi Aida, Reiko berdesis dan membuat wanita lawan bicaranya itu menahan tawanya lagi.

"Cuman penasaran aja, Pak. Kapan belajar masaknya? Kan Bapak sibuk banget dari pagi sampai malam kerja. Nggak mungkin kan bisa masak kayak gini sekali coba langsung bisa seenak ini?"

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang