Bab 119. UANG SEJUTA

51 3 0
                                    

"Apa kamu melihatku begitu? Mau dapet hadiah Valentine juga?" protes Reiko yang kini sudah tersadar memang Aida sedang memperhatikannya. Setelah teleponnya mati tadi dia sempat senyum-senyum dulu memandang layar handphonenya dengan pikirannya yang berkelana, sehingg merasa terusik dengan tatapan Aida saat mata mereka bertautan.

"Heish, nggak kenapa-napa Pak. Lucu aja ngelihat handphonenya udah mati tapi masih senyum-senyum kayak gitu. Tapi saya nggak minat sama sekali pak buat hadiah Valentine."

Aida jelas menggelengkan kepalanya karena memang dia tidak mau.

"Kamu belum pernah kan dapat hadiah Valentine?"

"Hmm, emang gak pernah dan gak pernah ngerayain juga. Saya taunya cuma hari peringatan ibu kita Kartini, maklum, wong ndeso," ucap Aida yang memang tak tertarik dengan perayaan yang modern-modern begitu. Makanya Reiko mencibir.

"Nah terus, tadi kenapa nyinggung di depan kakek pengen nonton Titanic?"

"Gak." Aida menggelengkan kepalanya. "Saya gak suka sad ending Pak."

"Hahaha." Kata-kata yang membuat Reiko terkekeh.

"Semua kisah cinta itu ujungnya memang sad ending. Memangnya kamu pikir suami istri saling mencintai mereka berdua akan masuk ke dalam liang lahat bersamaan gitu? Tiap orang punya waktu mati yang beda-beda." Reiko bicara sambil menatap Aida serius.

"Makanya mumpung masih punya waktu untuk bersama dengan orang-orang yang dicintai aku selalu membagi momenku dengan mereka sebaik mungkin. Seperti hubunganku dengan Brigita. Ini, merayakan perayaan seperti ini karena memang ingin menyimpan memory kebersamaan kami."

Reiko tersenyum dan pikirannya menerawang jauh.

"Tidak semua memori itu bisa diingat di kepala. Karena itu kita butuh sebuah momen dan mengabadikannya hingga suatu saat kalau kita lupa kita bisa melihat foto dan videonya lagi. Bisa menceritakan ini berdua dan menimbulkan rasa cinta yang makin besar diantara kami. Haaah." Sekarang Reiko meringis pelan

"Itu pula yang selalu membuatku merindukannya kalau jauh darinya."

"Hehehe. Susul sana Pak ke Bali lagi kalau kangen. Bapak ngoceh sama saya juga kangennya nggak bakal kesampaian ke ratu lebah Bapak."

Jawaban yang tentu saja membuat Reiko mencibir. Hilang sudah semua gambaran indah di otaknya itu gara-gara kata-kata yang keluar dari bibir Aida.

"Kalau bukan gara-gara kamu, aku sekarang ini tidak akan meninggalkan Brigita sendirian di sana. Ini semua salah kamu dan pakdemu Waluyo."

"Lah, pakde saya dibawa-bawa?" keluh Aida. "Kapan saya nyuruh Bapak pulang?" tanyanya lagi sewot.

"Diamlah. Kalau aku tidak pulang tentu saja kakek tadi pasti akan marah besar. Dan lagi urusan perusahaanku juga belum selesai. Aku datang ke sini juga dijemput oleh papaku untuk segera kembali ke Jakarta." Reiko tak berbohong, meski sekarang Aida belum percaya betul apa yang diucapkannya dan masih mencibir.

"Dan untukmu, kalau dibiarkan luka itu, kamu akan diamputasi kakinya. Mau? Sengaja supaya aku biarin kamu tinggal sama aku selamanya, hmm?"

"Hehehe. Ya sudah, terima kasih ya Bapak sudah pulang. Bahkan sudah berkorban meninggalkan wanita yang sangat Bapak cintai itu di Bali. Tapi saya benar-benar enggak nyuruh Bapak pulang lho. Jadi Jangan berpikir kalau ini utang budi ya Pak."

"Diamlah. Kalau kamu bicara kepalaku jadi cenat-cenut," gerutu Reiko. "Mau berterima kasih saja embel-embelnya banyak banget," protes Reiko lagi yang sudah tak lagi memangku kaki Aida. Reiko sudah berdiri, berjalan menuju ke arah dapur.

"Cuman mastiin Pak kalau Bapak nggak akan salah paham sama saya dan nggak akan nganggap ini sebagai hutang budi," jelas Aida lagi. "Jangan-jangan nanti bukannya saya yang minta tinggal sama Bapak selamanya malah Bapak yang pengen tinggal sama saya selamanya. Lalu ngungkit-ngungkit ini jadi utang budi. Kan nggak seru."

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang