End.

764 69 20
                                    

Evan yang diberitahu kalau deva meninggal langsung pergi ke rumah sakit. dia langsung menuju ruang jenazah dan melihat aron dan rion yang menangis di depan ruangan tersebut.

"Bang, deva mana? Dia nggak mungkin meninggal, kan, bang?" tanya evan yang sudah berdiri di depan mereka.

Rion yang masih menangis melihat evan.

"Deva udah nggak ada, van. dia udah ninggalin kita untuk selamanya" kata rion di sela tangisnya.

Evan menggeleng tidak percaya dan menangis membuat aron memeluknya.

"Kenapa bisa kayak gini, bang? Kenapa deva bisa meninggal? Tadi pagi dia masih chat gue, katanya dia mau cuci darah, tapi kenapa dia meninggal, bang?" Tanya evan dalam tangis.

Aron melepas pelukannya, kemudian membantu evan yang lemas untuk duduk agar lebih tenang. Setelahnya ia menceritakan semuanya.

"Alex, dia yang bunuh deva. Alex bunuh deva kayak dia bunuh aiden" kata aron dan sukses membuat evan murka.

"Alex lagi alex lagi, KENAPA DIA MASIH BELUM KE TANGKEP JUGA?" Teriaknya dan menangis semakin kencang.

Evan benar-benar geram karena alex masih saja belum ke tangkap polisi. Bukan hanya evan, rasa geram dan kesal itu juga dirasakan oleh aron dan rion.

________________

Angga berdiri di sisi kanan brankar dan melihat adiknya yang sudah tertutup oleh kain putih. Tangannya perlahan bergerak menarik kain putih yang menutupi bagian kepala sampai perlahan kain tersebut terus bergerak turun sampai batas perut.

Dia menarik napas panjang saat melihat adiknya yang memejam dengan damai. Tanpa mengatakan apapun, angga memeluk deva dan menempelkan telinganya ke bagian dada.

Tidak ada detak jantung yang terdengar, membuat air matanya mengalir begitu saja.

"Dek, lo beneran ninggalin gue? Kan gue bilang mau temenin lo cuci darah. Kenapa gue malah nemenin lo di sini, sih?" Ucapnya dengan air mata yang tak henti mengalir.

Kenangan bersama adiknya itu berputar di ingatannya. Kenangan saat bercanda, bertengkar sampai rintihan terakhir adiknya itu ia ingat dengan jelas.

"Bangun, dek. Jangan diem aja!" Ujarnya lalu melepas pelukannya dan melihat wajah deva dengan lekat.

Angga tidak bisa berhenti menangis melihat adiknya sudah tidak bernyawa. Apalagi saat melihat bekas jahitan di bagian perut.

"Pasti sakit ya, dek? Gue tiupin, ya? Dulu waktu kecil, kalau lo luka selalu gue tiup lukanya, kan?" Ia meniup luka di perut deva dengan lembut. Tubuhnya bergetar karena tangis yang semakin terisak saat teringat kenangannya bersama adiknya saat kecil.

"Aduuuh sakit" keluh deva yang jatuh dari sepeda. Lututnya lecet, tetapi tidak sampai berdarah. "Abang, lutut dev, sakit" adunya sambil berjalan ke arah angga yang sedang bermain kelereng.

"Kenapa bisa sakit?" Anggga mengecek lutut adiknya." Kok lecet gini, sih? Jatuh, ya?" Tebaknya.

"Ya, bang. perih" jawab deva dengan ekspresi hampir menangis.

"Udah nggak usah nangis, sini abang tiupin. Nanti juga sembuh kalau abang tiup" Angga meniup luka di lutut deva dan deva tersenyum melihatnya.

"Abang, kalau dev jatuh lagi tiupin, ya. Biar cepet sembuh" kata deva dan angga mengangguk sebagai jawaban.

"Udah abang tiup, dev. Abang udah tiup lukanya. Seharusnya udah sembuh, kan? Tapi kenapa lo masih nggak bangun juga?" kata angga sambil mengelus pelan luka di perut deva.

Devano Anggara ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang