"Damn! apa barusan gue nabrak?" Panik si pengendara mobil yang baru saja mengerem mendadak. Dia adalah Aiden. Dengan buru-buru ia keluar mobil untuk memastikan.
"Mampus gue, mati nih orang" Aiden panik setengah mati melihat deva tergeletak tidak sadarkan diri dengan posisi tengkurap. Bukan karena di tabrak, tapi pingsan karena lemah dan jatuh sebelum mobil mengenai tubuhnya.
"Heh, bangun!" Aiden menepuk punggung deva untuk membangun kan, tapi deva tetap tidak bangun.
Dengan takut, aiden membalik posisi deva menjadi terlentang.
"Astaga, ini kan adeknya Angga!" Pekiknya kaget.
Dengan buru-buru aiden mengecek denyut jantung deva dengan mendekatkan telinga ke dadanya.
"Masih hidup" Ia bernapas lega, kemudian mengangkat deva dan membawanya masuk ke mobil.
Aiden tidak membawa deva ke rumah sakit karena takut. Jadi dia membawa pulang karena ia pikir ayahnya seorang dokter dan bisa mengobatinya. Sesampainya di rumah, aiden menggendong deva di punggungnya dan membawanya masuk.
"Paaa tolong, pah!" Aiden berteriak sambil menggendong deva, membuat ayahnya yang sedang santai beranjak dari duduk.
"Aiden, kamu Nabrak orang?" tanya bram. Ayah aiden.
"Nanti aja jelasinnya, pa. Sekarang bantuin aiden dulu" kata aiden dengan mempercepat langkahnya menuju kamar tamu. Kamar yang posisinya lebih dekat dengannya.
Bram membantu aiden untuk membaringkan deva ke tempat tidur.
"Kamu ini gimana, sih? Kan papa udah bilang kalau bawa mobil itu hati - hati" Omel bram setelah membaringkan deva.
"Udah Pa, jangan ngomel mulu! Tolongin dulu itu orang" sahut aiden.
Bram yang profesinya sebagai dokter langsung melakukan pemeriksaan pada deva. Ia menarik baju deva ke atas dan mengernyit saat melihat luka memar di area perut dan pinggang.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, bram membersihkan darah dari pelipis dan bibir deva.
"Tidak mau berhenti, ya?" gumamnya setelah melihat darah yang masih saja keluar walaupun sudah di obati.
"Bahaya sekali penyakit anak ini" katanya, kemudian menutup pelipis deva dengan perban.
Beruntung luka di bibir tidak separah di pelipis dan darah bisa berhenti walaupun hanya di beri salep. Selain di perut, memar juga terlihat di wajah deva, membuatnya yakin kalau deva bukan korban aiden, melainkan korban kekerasan.
"Pa, gimana keadaannya?" tanya aiden.
"Tidak ada luka serius. hanya saja untuk mengetahui apa ada luka dalam atau tidak, dia harus di periksa di rumah sakit" jawab bram.
"Kamu tenang aja. Kalau di lihat dari lukanya, anak ini tidak mengalami benturan karena di tabrak, tapi anak ini seperti di pukuli" lanjut bram.
"Serius, pa?" tanya aiden memastikan.
"Kamu bisa lihat sendiri kan gimana lukanya? memar itu karena di pukul atau di tendang, bukan karena di tabrak" jawab bram membuat hati aiden lega mendengarnya.
"Kalau dia udah bangun kasih obat ini ya" bram memberikan obat salep pada aiden.
"Iya, pa" jawab aiden, kemudian mengambil obat dari tangan ayahnya.
"Papa ada operasi, kamu nggak apa-apa kan di rumah sendiri?"
"Bukannya udah biasa ya aiden di rumah sendiri? Pake nanya segala" jawab aiden dan bram mengangguk.
"Maaf ya, papa jarang di rumah karena sibuk" kata bram dan aiden hanya mengangguk.
"Pergi aja pa! Kasihan,kan,pasiennya udah nungguin" titah aiden.
"Papa pamit, ya. assalamualaikum" pamit bram dan mengusap kepala aiden.
"Walaikumsalam" jawab aiden, dia melihat bram yang pergi dengan sendu.
"Pasien emang lebih penting daripada anak sendiri" gerutunya yang kesal dengan kesibukan ayahnya.
Aiden melihat deva dan duduk di sisi ranjang.
"Gue kasih tau si angga nggak, ya?" aiden diam untuk berpikir.
"Bunda" gumam deva membuat aiden melihatnya.
"Siapa ya namanya? Aduh lupa lagi gue" aiden memperhatikan deva yang mengigau.
"Heh tengil, bangun!" aiden menepuk wajah deva untuk membangunkannya.
"Bunda" Deva tidak merespon aiden, dia masih mengigau di tengah tidak sadar.
"Kasihan, pasti dia kangen nyokapnya" aiden menunduk sebelum melanjutkan ucapannya." sama kayak gue" lanjutnya, kemudian pergi setelahnya.
Aiden membiarkan deva tidur di kamar tamu, sementara dia tidur di kamarnya.
_____________________
08.00 wib.
Angga keluar dari kamar dengan mata masih mengantuk, kemudian melihat kamar deva yang masih tertutup.
"Belum bangun, pasti pulang malem tuh anak" tebaknya, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
Angga mengambil ponsel yang berdering dan ternyata panggilan masuk dari ayahnya. Dengan malas ia mengangkat telfonnya.
"Assalamualaikum, yah" jawab angga.
"Walaikumsalam, bang lagi apa?"
"Mau sarapan, yah. ayah lagi apa di sana?" Angga duduk sambil mengoles cokelat ke roti.
"Ayah juga lagi sarapan. oh ya, adek mana? Kok nggak ada suaranya? Whatsapp juga nggak di bales sama dia"
Pertanyaan nugraha membuat angga malas meladeninya.
"Belum bangun, yah" jawab angga dengan malas.
"Adek udah chekup, kan, bang? Gimana kata dokter?"
"Udah, yah. kata dokter dia baik-baik aja. Nggak usah khawatir" bohong angga dan nugraha mempercayainya.
"Makasih ya bang, udah mau jagain adek. Kalian yang akur ya, jangan berantem terus"
"Iya, yah" jawab angga singkat." udah dulu ya, yah. angga mau makan dulu" kata angga dan mematikan telfon setelah mendapat jawaban dari ayahnya.
"Deva mulu yang di tanya, dia udah gede kali, nggak perlu di jagain juga tetep hidup" gerutunya dan menggigit roti selai cokelat.
"Aduuuh" Angga langsung minum karena lidahnya ke gigit."Ada-ada aja sih, pake ke gigit segala. Bikin nggak nafsu aja" ocehnyan dan melanjutkan minum susu.
Angga melihat setiap kursi yang kosong dengan mata berkaca-kaca. kenangan keluarga hangatnya yang dulu membuat air matanya jatuh begitu saja.
"Bunda, angga kangen bunda, angga kangen" ucapnya dan menunduk dengan air mata yang mengalir dengan sendirinya.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano Anggara ✅
Teen FictionDevano anggara adalah adik kakak yang sama-sama memiliki sifat keras kepala dan bertindak sesuka hati yang berujung sebuah penyesalan.