Prolog

4.1K 273 8
                                    

***

Malam sudah larut, sebagian orang sudah terlelap, dan sebagian lainnya belum. Sebagian lampu taman sudah padam, hanya lampu di ujung-ujung jalan yang dibiarkan menyala. Menemani si pejalan kaki yang melintas di bawahnya. Angin malam ini terasa hangat, mungkin karena sekarang musim panas.

Meski sudah gelap, ia tetap berkeringat. Saking panasnya musim kali ini. Helaan nafasnya terdengar di tengah-tengah sepinya malam. Sudah lewat tengah malam, namun matanya belum mau terpejam. Di salah satu bangku taman, ia duduk. Tepat di bawah sebuah lampu jalan yang kuning temaram.

Berkali-kali helaan nafasnya terdengar, sembari ia buka dan tutup handphone flip-nya. Warnanya merah muda, satu yang jadi best seller tahun ini. Tack... Tack... Bunyi handphonenya beradu, ketika ia membuka dan menutupnya, bunyinya sebanyak nafasnya dihela. Ia terus begitu, sampai dering handphonenya berbunyi. Ketika ia buka handphonenya, melihat nomor internasional muncul di layarnya, cepat-cepat ia jawab telepon itu.

"Appa," panggilnya, tanpa aba-aba mengeluarkan suaranya yang murung. "Apa yang oppa katakan, itu sungguhan?" susulnya kemudian, tanpa memberi jeda si penelepon untuk membalas sapaannya. "Eomma dan appa akan bercerai?" tanyanya sekali lagi, belum membiarkan ayahnya yang sekarang ada di Irak untuk bicara. "Oppa bilang, eomma sudah tidak tahan lagi, eomma ingin berpisah karena appa lebih suka pergi perang daripada pulang ke rumah. Eomma tidak merasa begitu kan? Oppa bohong kan?" ragunya.

"Lisa-ya, sayang, oppamu bilang kau bisa menerimanya? Sepertinya dia berbohong, iya kan?" ucap sang ayah, akhirnya bicara.

"Tidak," gadis itu menggeleng. "Oppa tidak berbohong, aku memang bilang begitu padanya. Karena oppa bilang, eomma sakit. Eomma menemui psikiater, tapi aku tidak tahu soal itu. Aku tidak tahu apapun, padahal aku tinggal di rumah bersamanya," katanya, sembari menundukan kepalanya. Menahan tangis.

"Secepatnya, appa akan pulang," balas sang ayah. "Nanti, begitu appa tiba, kita bisa membicarakannya lagi, hm? Sekarang, tidurlah... Bukankah sudah tengah malam di sana?" janji sang ayah kemudian, mengakhiri panggilan singkat super mahal itu.

Teo Kim mengakhiri panggilannya. Meninggalkan putrinya yang masih sendirian di taman, dekat rumahnya. Lagi-lagi Lalisa menghela nafasnya, akan ia angkat tubuhya, berdiri untuk kembali ke rumah. Namun dari ujung jalan, seseorang berlari mendekat. Gadis itu melihat siapa yang datang, tetap berdiri di tempatnya, menunggu si pelari mendekat, masuk ke dalam jangkau pandangannya.

"Oh? Hai, oppa," sapa Lisa, setelah ia lihat si pelari tadi.

Seorang pria yang berlari, dan langkahnya melambat setelah melihat Lisa. Berhenti tepat di depan gadis itu sembari melepaskan earphonenya yang besar. Sebentar pria itu mengatur nafasnya, lantas bertanya, "apa yang kau lakukan di sini? Malam-malam begini?" pria itu bertanya, seraya melihat jam tangannya. Sudah pukul satu malam ketika itu.

"Baru saja menelepon appaku," jawab Lalisa. "Oppa kabur dari agensi? Atau lari pagi?" tanyanya kemudian.

"Baru saja selesai latihan dan akan pulang, tapi tidak melarikan diri," kata pria itu, lantas mengulurkan tangannya, menyuruh Lisa untuk berjalan lebih dulu dan ia akan mengikutinya dari belakang. Mereka bertetangga, rumah Lalisa Kim berada tepat di depan rumah pria itu—Kwon Jiyong. "Aku bertemu oppamu kemarin, di agensi," kata Jiyong, yang kini melangkah di sebelah Lisa. Beberapa sentimeter di belakangnya.

"Dia selalu di sana," jawab Lisa, santai dan sama sekali tidak terlihat terkejut. Tidak juga terdengar tertarik. "Tapi tadi Soohyuk oppa menjemputku di sekolah. Tidak seperti biasanya," ceritanya.

"Oh ya? Kenapa?"

"Dia datang untuk memberitahuku, kalau eomma dan appaku berencana untuk bercerai. Eomma tidak tahan lagi ditinggal sendirian, selama appa pergi ke Irak. Katanya, eomma stress... Setiap hari eomma ketakutan, khawatir appa akan pulang dalam peti mati. Eomma ingin appa berhenti bekerja, tapi karena appa tidak juga berhenti, eomma ingin bercerai," cerita gadis itu, dengan nada bicaranya yang begitu tenang.

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang