Bagian III : 40

802 122 3
                                        

***

Ini hari keempat Lisa menginap di rumah Soohyuk. Namun ia hanya ada di sana untuk makan malam dan pergi tidur. Ia lakukan segalanya, agar bisa menghindari ibunya. Lisa khawatir, ibunya akan tahu tentang keadaannya kalau mereka terus bersama. Meski beberapa tahun terakhir ini ia membenci ibunya, tetap ada saat-saat dimana dekat layaknya ibu dan anak biasa.

"Kau sudah bertemu ayahmu?" Ovkin bertanya, malam ini di saat mereka menikmati sup dan beberapa lauk untuk makan malam.

"Belum," Lisa menjawabnya sembari menunduk, menatap mangkuknya yang berisi nasi dan sepotong daging dari Soohyuk.

"Tsk... Sesibuk apa dia sampai tidak bisa menemui putrinya sendiri," cibir sang ibu, membuat Lisa mengingat lagi hari-hari paling berat dalam hidupnya.

Segalanya berawal dari cibiran dan keluhan-keluhan itu. Teo yang luar biasa sibuk dan Ovkin yang tidak lagi bisa memahaminya menjadi awal dari semua masalah mereka. Menjadi awal dari perceraian mereka. Juga menjadi awal dari perginya Lisa ke militer.

Mendengar keluhan sang ibu, Lisa hanya diam. Ia remas kuat-kuat pahanya di bawah meja. Berusaha menahan dirinya untuk tidak meledak di sana. Ditariknya nafasnya, dalam-dalam, lantas ia sendok lagi nasinya. Memasukannya ke dalam mulut, berusaha menelan sesendok nasi yang terasa begitu berat itu.

"Ayahmu tidak pernah berubah," sang ibu melanjutkan keluhannya. "Dia sibuk melakukan ini dan itu, lalu meninggalkan keluarganya. Dia pikir dia pahlawan?" ketusnya, terdengar sangat kesal meski sudah bertahun-tahun mereka berpisah.

Bertahun-tahun Ovkin habiskan waktunya sendirian, mengurusi dua anaknya. Bertahun-tahun juga, ia menahan dirinya. Menahan rasa takutnya, menahan kekhawatirannya. Takut suaminya akan pulang dalam peti mati. Khawatir suaminya akan terluka sangat parah karena tugasnya. Bertahun-tahun tubuh dan jiwanya hancur karena semua kesulitan itu, hingga ia juga perlu bertahun-tahun untuk menyembuhkannya. Sayang, sampai hari ini lukanya masih ada, di tempat yang sama dan tetap menyakitkan seperti dulu.

"Setelah membawamu masuk ke dunianya, apa yang dia lakukan sekarang? Ayahmu benar-benar tidak bertanggung jawab," sekali lagi Ovkin mengeluh. Bahkan setelah Teo menyanggupi keinginannya, setuju untuk bercerai, Ovkin masih membenci pria itu.

"Kau, jangan jadi pria sepertinya," Ovkin bertitah, pada putranya. "Dan kau, kau sudah mengecewakanku dengan pergi ke militer. Jangan coba-coba menikah dengan tentara juga. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya, sampai mati aku tidak akan setuju kalau kau menikah dengan tentara," katanya, pada putrinya.

"Lisa berkencan dengan Ji-"

"Kenapa semuanya harus sesuai keinginanmu, eomma?" Lisa menyela suara kakaknya. Membuat Soohyuk sadar, kalau sekarang adalah waktunya ia untuk diam. Ibu dan adiknya mungkin bisa berbaikan kalau mereka bertengkar sekarang, meluapkan perasaan masing-masing, setelah lama tidak bertemu—pikir Soohyuk.

"Apa maksudmu? Kau pikir aku berkata begitu untuk diriku sendiri?" sang ibu menanggapi putrinya. "Lihat apa yang terjadi pada keluarga kita, lihat apa yang terjadi karena ulah ayahmu, kau ingin keluargamu nanti jadi seperti ini juga?" terlihat jelas luka Ovkin dalam suaranya, namun Lisa enggan mengakuinya. Sama seperti ibunya, Lisa pun terluka, karena perpisahan itu.

"Ah... Jadi hanya appa yang bersalah? Dan eomma tidak?" balas Lisa, enggan memposisikan dirinya sebagai ibunya. Enggan membayangkan bagaimana perasaan ibunya. "Sebelum menikah, apa eomma tidak tahu pekerjaan calon suamimu? Waktu itu, eomma tidak bisa membayangkan bagaimana hidupmu kalau menikahinya? Kenapa sekarang eomma menyalahkan appa? Apa kesalahannya? Dia hanya pergi bekerja. Apa itu dosa besar? Karena pergi bekerja?" katanya, dengan nada yang sama menyebalkannya dengan cara ibunya bicara. Ia benar-benar putrinya.

Ovkin kelihatan begitu terluka sekarang. Lantas Soohyuk mencoba untuk mengambil kendali. Ia tendang ujung kaki Lisa, tidak seberapa keras, sebab ia hanya ingin meminta adiknya berhenti. Ia gerakan bibirnya, tanpa suara menyuruh Lisa untuk menutup mulutnya. Namun Lisa tidak mau mendengarnya, bahkan Ovkin mengabaikannya, putra kesayangannya.

"Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku?" kekecewaan terdengar jelas dari suara Ovkin. "Aku ibumu! Saat kau sakit, aku yang ada di sisimu, bukan ayahmu! Saat kau lapar, aku yang membuatkanmu makanan! Bisa-bisanya kau berkata begitu padaku?! Ya! Kau benar-benar akan bersikap begini?!" sang ibu meledak. Lalu ledakannya, juga menyulut emosi putrinya.

"Iya! Aku putrimu! Aku juga putri suamimu! Pria yang eomma hina tadi, dia ayahku!" balas Lisa sama kerasnya. "Setelah semua yang eomma lakukan padaku, apa kau juga harus membuatku mendengar semua keluhan itu?! Aku putrimu, bukan temanmu!" marah Lisa, yang selanjutnya, melangkah meninggalkan meja makan lebih dulu. Sebelum ia semakin hilang kendali.

Lisa melangkah pergi meninggalkan rumah, sedang ibunya tetap duduk di kursinya, tengah mengatur nafasnya, menahan marah. Sama seperti Lisa, Soohyuk ikut bangkit. Ia susul adiknya, menahan tangan adiknya di lorong menuju lift.

"Ya! Ada apa denganmu?!" tahan Soohyuk, meremas kuat pergelangan tangan adiknya. "Bagaimana bisa kau tega mengatakan itu pada ibumu sendiri?! Kau sudah gila?!" marah Soohyuk. "Kembali! Kau harus minta maaf padanya, sekarang," tegas Soohyuk, akan menarik Lisa kembali ke rumah, namun gadis itu menahan kakinya tetap berdiri di depan lift. Lisa tidak mau pergi, sekeras apapun Soohyuk menariknya.

Situasinya selalu seperti ini—begitu yang Lisa rasakan sekarang. Setiap kali ia bertengkar dengan ibunya, Soohyuk akan selalu memihak ibunya. Sedang ayahnya, akan selalu jadi orang yang terakhir tahu mengenai pertengkaran itu. Orang bilang, saat ayah dan ibu tidak akur, saudara adalah satu-satunya tempat kita bisa bersandar—namun Lisa merasa kalau dirinya ditinggalkan sendirian. Tidak bisa ia sandarkan kepalanya pada Soohyuk, sebab pria itu hanya akan memihak ibunya.

"Lisa-ya! Kenapa kau bersikap seperti ini?!" kesal Soohyuk, akhirnya menyerah menarik adiknya. "Apa kau harus melakukan ini?! Pada ibumu yang setiap hari khawatir dan menunggumu pulang?! Sadarlah! Dia ibumu! Minta maaf padanya sekarang!" meski menyerah menarik Lisa, pria itu masih memarahinya.

"Kalau aku minta maaf padanya, apa dia akan minta maaf karena sudah menghina ayahku? Ayahmu juga?" tanya Lisa, dengan tatapannya yang sekarang bergetar, menahan tangis.

"Apa yang eomma katakan tidak salah-"

"Lalu yang aku katakan salah? Apa appa menipunya sebelum mereka menikah? Berbohong soal pekerjaannya?" potong Lisa, sebelum ia tinggalkan kakaknya sendirian di lorong gedung apartemen itu. Melangkah pergi lewat tangga darurat dan Soohyuk memilih untuk kembali ke rumah, menenangkan ibunya dibanding mengejar adiknya.

Lisa terus melangkah turun. Meremas pegangan tangga di sebelahnya, terus melangkah sampai dirinya tiba di dasar, di lobby apartemen itu. Melangkah turun dari lantai dua puluh satu, sayangnya tidak membuat rasa sakitnya pindah. Hatinya tetap sakit dan kakinya mati rasa. Mendengar suara Jiyong mungkin bisa membantunya sekarang, tapi sial, handphonenya ada di kamar. Tidak ia bawa apapun ketika pergi dari rumah tadi.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang