Bagian I : 20

1K 157 4
                                    


***

Lisa berhasil pergi. Ia berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Siang dimana ia akhirnya mendapatkan surat tugasnya, ia menemui Jiyong. Pria itu ada di rumahnya ketika Lisa menelepon. Ini hari Rabu, dan Jiyong mendapat gilirannya untuk libur hari ini. Pagi tadi, sebelum matahari terbit pria itu sudah di jemput managernya. Di antar ke rumah untuk bertemu kucing-kucingnya, Iye juga Zoa.

"Oppa dimana?" tanya Lisa, tepat setelah Jiyong menjawab panggilannya. Tanpa menunggu pria itu berucap menyapanya lebih dulu.

"Rumah-"

"Aku di dekat rumahmu, boleh aku datang?" tanyanya kemudian, menyela jawaban pria yang ia telepon.

"Rumahku? Kau tahu dimana rumahku?" tanya Jiyong dan gadis itu menyebut alamat yang ia tulis dalam formulir data dirinya. Formulir yang ia serahkan saat mendaftar sebagai tentara. "Aku tidak di sana, tapi masuk saja ke rumahku. Akan aku kirim kode pintunya," kata Jiyong kemudian. "Tunggu sekitar dua puluh menit, aku ke sana," susulnya.

Lisa mengiyakannya. Ia setuju untuk menunggu di sana dan langsung masuk ke unit apartemen yang kode pintunya Jiyong kirim lewat pesan. Itu Galleria Foret, dan Jiyong tidak lagi tinggal di sana. Pria itu punya tempat tinggal baru, beberapa hari setelah masuk ke militer. Orangtuanya yang mengurus segalanya, transaksi rumahnya sekaligus proses pindahannya.

Kode pintunya ia tekan, lantas ia langkahkan kakinya masuk. Perabot di sana masih lengkap, dengan segala pajangannya seperti sebuah rumah yang masih ditinggali. Dengan hati-hati Lisa melangkah masuk, "Paman? Bibi?" panggilannya, karena mengira kalau orangtua Jiyong mungkin ada di sana. Lisa tidak tahu-menahu soal kepindahan pria itu dari rumah lamanya.

Di ruang tengah, ia tidak menemukan siapapun. Beberapa lukisan dipajang di sana, dirawat, bersih dari debu. Namun semua pintunya dibiarkan terbuka. Maka, melangkah lah Lisa menuju salah satu pintu. Ternyata itu kamar tidur, luas bak kamar tidur utama. Sama seperti di ruang tengah, ada beberapa pajangan di dalam sana. Namun begitu masuk, Lisa menyadari sesuatu-tidak seorang pun tinggal di kamar itu. Tidak ada pakaian di dalam lemarinya, tidak ada juga tanda-tanda kehidupan di kamar mandinya. Tempat itu hanya bersih, namun tidak ditinggali.

Dua puluh menit terasa lama ketika Lisa menunggu, melihat-lihat isi rumah itu. Ia yang sempat berharap bisa melihat bagaimana Kwon Jiyong menata rumahnya, nyatanya tidak menemukan apapun. Unit apartemen itu terasa seperti kamar hotel yang disewakan. Tidak ada yang spesial di sana, tidak ada kehidupan pribadi Kwon Jiyong di sana.

Gadis itu duduk di sofa, dan setelah bosan ia nyalakan TV-nya. Begitu menyala, ada rekaman dari acara komedi yang otomatis berputar. Itu adalah acara yang terakhir kali ditonton lewat TV besar di sana. Panggung stand up comedy dari Ali Wong, yang disiarkan lewat Netflix. Sebab malas memilih acara lain, Lisa meletakan lagi remote TV itu. Memutuskan untuk menonton acara itu, setelah menggeser bulat merahnya pada detik 00:00.

Lisa tertawa terbahak-bahak, bersama penonton lainnya dalam acara itu. Ia terus tertawa meski telinganya mendengar suara pintu depan dibuka. Ia hanya menoleh, ketika mendengar Jiyong memanggil namanya. "Aku di sini," katanya, melambai pada pria yang akhirnya muncul di belakangnya, baru saja masuk ke ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu, melihat ke arah TV dan raut wajahnya seketika berubah.

Kwon Jiyong tersenyum sebelumnya, terlihat sangat santai ketika memanggil nama Lalisa. Namun senyumnya lenyap, setelah melihat ke arah TV di sana. Ia juga melangkah mendekati Lisa, lantas mematikan panggilannya. "Ada apa mencariku?" tanya Jiyong, setelah ia lempar remote TV itu, menjatuhkannya kembali ke atas meja di depan Lisa. Ia tidak lagi terlihat senang sekarang, ia terdengar sinis, dan sedikit kesal.

"Kenapa?" bingung Lisa, sebab perubahan yang amat drastis itu. "Aku tidak boleh menonton TV? Kalau begitu, maaf-"

"Acara tadi, itu acara terakhir yang aku tonton dengan kekasihku. Mantan." potong Jiyong, yang kemudian duduk di tepian sofa, di atas sandaran tangannya yang lebar. "Kenapa kau ingin bertemu denganku? Kau tidak bekerja?" tanyanya, sebelum Lisa sempat berkomentar atas perubahan
suasana hatinya.

"Ah..." gadis itu mengangguk. Ia bergerak mundur, memberi jarak antara dirinya juga pemilik rumah itu. Memberi jarak, agar Jiyong bisa duduk di sofa, bukan hanya di tepiannya. "Aku berhasil," susulnya kemudian. "Aku berhasil masuk pasukan khusus," lapornya. "Appa baru saja menandatangani surat tugasnya. Karena oppa mendukungku, aku langsung memberitahumu begitu surat tugasnya keluar," ucapnya, memamerkan layar handphonenya, dimana surat tugas itu telah ia jadikan wallpaper di handphonenya.

Jiyong menyipitkan matanya, mencoba untuk melihat lebih jelas layar handphone Lisa. Sebentar ia tertegun. Menatap layar itu sembari menahan debar jantungnya. Penyesalan seketika muncul, namun tetap ia tarik sudut-sudut bibirnya. Tersenyum lantas memberi selamat, berkata kalau ia ikut berbahagia atas tercapainya keinginan Lisa itu.

"Apa aku bilang," kata Jiyong. "Kau pasti akan mendapatkan apa yang kau mau," susul pria itu, berlaga kalau ia benar-benar senang atas pencapaian lawan bicaranya.

Tidak. Jiyong tidak senang mendengar kabar itu. Berkat kabar itu, kini kepalanya berdenyut, berfikir bagaimana caranya ia bisa memberitahu Soohyuk? Bagaimana ia bisa menenangkan sahabatnya? Dan bagaimana ia bisa yakin Lisa tidak akan terluka setelah masuk ke regu pasukan khusus itu? Kekhawatiran memenuhi dadanya, namun di depannya gadis itu tersenyum. Terlihat amat bahagia. Terlihat amat cantik.

Seruan bahagia keluar dari mulut Lisa. Ia menghela nafas leganya, lantas bersandar ke sandaran sofa di belakangnya. "Akhirnya, aku berhasil menaklukkan appa," ucapnya dengan penuh kebanggaan.

"Apa yang kau lakukan untuk menaklukkannya?" Jiyong bertanya, penasaran sebab ia juga mungkin bisa menggunakan cara itu untuk menaklukkan Soohyuk. Satu yang Jiyong tahu pasti-Soohyuk akan marah besar kalau tahu adiknya masuk dalam pasukan khusus.

"Aku mengancamnya," ucap Lisa. "Appa akan memecatku kalau aku bersikeras masuk pasukan khusus. Dia bahkan mengancam, menyuruhku untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sekarang. Dia bilang, kalau aku mengundurkan diri, dia akan memberiku modal untuk membuka toko pakaian atau cafe. Apapun yang ingin aku lakukan. Tapi kalau aku tidak mau mengundurkan diri, dia akan memecatku, secara tidak terhormat," ceritanya. "Jahat sekali, kan? Padahal dia ayahku," tuturnya, berharap Jiyong akan menyetujui pendapatnya. Namun pria itu hanya diam, menunggu Lisa menyelesaikan ceritanya.

"Karena dia bilang begitu, aku balas mengancamnya. Aku bilang, kalau dia tidak mengizinkanku masuk pasukan khusus, aku akan membelot," lanjut Lisa, terus bercerita. "Agar dia bisa memecatku secara tidak terhormat, aku akan membelot. Lalu, selain dipecat, aku juga akan jadi buronan. Kalau tertangkap, setidaknya aku akan dapat hukuman penjara seumur hidup-aku bilang begitu padanya, dan akhirnya dia menyerah. Tapi, aku harus merahasiakan dari eomma dan Soohyuk oppa. Kalau ada misi, kami bisa bilang pada mereka kalau aku pergi belajar keluar negeri. Karena itu... Oppa, tolong rahasiakan ini dari Soohyuk oppa, ya? Oppa tidak memberitahu apapun padanya kan?" tanyanya dan Jiyong menghela nafasnya.

Bukan helaan lega, justru helaan kasar yang terdengar. Pria itu mengeluh sekarang, mengatakan kalau ia tidak berbakat menyembunyikan rahasia sebesar itu, terlebih menyembunyikan rahasianya dari Soohyuk, sahabatnya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pria itu benar-benar tidak tahu.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang