Bagian I : 6

1K 196 12
                                    

***

Sudah dua minggu G Dragon memulai tugasnya di militer. Ia sudah bertemu dengan Jendral Kim, ayahnya Soohyuk. Pria itu yang memberi sambutan dihari pertama penugasannya, dan keduanya pun sempat berpapasan di jalan menuju ruang makan beberapa hari lalu. Sama seperti prajurit lainnya, Jiyong memberi hormatnya pada Teo Kim, hormatnya pun dibalas namun Teo Kim tidak menyapanya. Teo Kim berlaga mereka tidak saling kenal, meski tahu kalau Jiyong bersahabat dengan putranya.

Hari-harinya begitu berat di sana. Tidur bersama sembilan pria lain dalam satu ruangan yang tidak seberapa besar, berlatih bersama, makan bersama dan dihukum bersama ketika salah satu dari mereka melakukan kesalahan. Mereka dipaksa bersahabat, oleh Sersan Yang Yoseob yang wajahnya terlalu manis untuk disebut kejam. Tapi pria itu memang kejam-nilai Jiyong. Justru tergolong sangat kejam karena Jiyong sempat berekspektasi padanya. Berfikir kalau Sersan Yang akan lebih lunak dibanding sersan dan pelatih lainnya, yang nyatanya tidak.

Tidak ada pilihan, Kwon Jiyong bersama puluhan prajurit lainnya dibagi dalam beberapa regu dan dipaksa mengikuti semua jadwal yang sudah ada. Mereka bangun saat matahari belum terbit, pergi latihan sampai luar biasa lelah, diberi makan pagi, pergi latihan lagi, makan siang, latihan lagi, makan malam, latihan lagi dan yang terakhir dipaksa untuk tidur. Sepanjang tinggal di sana, dengan semua kesibukan itu, tanpa handphonenya, tanpa alat komunikasi apapun, Jiyong tidak pernah bertemu dengan Lisa. Sekalipun, tidak pernah ia lihat gadis itu muncul di tempat latihan, di jalan-jalan antar gedung, di ruang makan apalagi di barak. Seolah, gadis itu lenyap begitu saja. Padahal Jiyong berharap bisa bertemu dengannya.

Satu bulan ia berada di sana, pihak keluarga diizinkan untuk berkunjung. Ini akhir pekan dan masing-masing dari tiap tentara diizinkan untuk menerima tamu. Bersama Soohyuk, orangtuanya datang berkunjung. Soohyuk berbaik hati mengangar mereka, meski manager Jiyong pun sebenarnya bisa melakukan tugas itu. Ketika datang, Jiyong dibawakan banyak makanan, sama seperti prajurit-prajurit lain.

"Kau terlihat sehat," kata Soohyuk, mengomentari sosok dengan seragam militer di depannya.

"Aku hanya makan, tidur dan olahraga, tentu saja sehat," jawab pria itu. "Aku tidak pernah makan sebanyak aku makan disini. Saking kejamnya sesi latihan, aku tidak bisa berhenti makan saat bisa makan," ocehnya, dengan mulut penuh makanan. "Lain kali bawakan aku steak, atau pasta... Kami hanya makan nasi di sini," pintanya.

"Kau bertemu Lisa di sana?" tanya Soohyuk sekali lagi, dan kali ini Jiyong menggelengkan kepalanya.

"Tidak?" sang ayah penasaran. "Minggu lalu aku bertemu dengannya dan dia bilang kau baik-baik saja," susulnya. "Dia sudah melihatmu, kau tidak melihatnya?" tanyanya.

"Lisa ada di sini? Aku pikir dia bekerja di divisi lain. Di divisi kesehatan atau administrasi, tidak ada wanita di divisi pelatihan. Kalau ayahmu, aku sudah beberapa kali berpapasan dengannya," cerita Jiyong. Kebanyakan tentara wanita memang bekerja di sana, bahkan Soohyuk mengetahuinya. "Ayahmu kelihatan tegas sekali, sedikit menakutkan, membuatku jadi merasa terintimidasi," susulnya.

Di tengah obrolan itu, Soohyuk menoleh ke arah pintu. Melihat dua tentara yang berjaga di pintu, memberi hormat pada atasan mereka yang akan lewat. Itu Lisa, yang langsung bergerak mundur saat melihat Soohyuk menatapnya. Ahh... Gadis itu menghindari Jiyong-nilai Soohyuk.

"Adikku jadi pelatih di sini," kata Soohyuk setelah Lisa sekali lagi menghilang. "Kau mungkin akan bertemu dengannya kalau membuat masalah," susulnya.

"Memang apa pangkatnya? Bukan sersan? Ketua reguku Sersan Mayor. Reguku jadi harus kelihatan lebih baik daripada regu lainnya," kata Jiyong, sengaja berbisik, sebab merasa itu perbincangan yang sensitif. "Ketua reguku kejam dan sangat tegas. Kami dihukum kalau ada satu orang yang telat bangun, meski hanya beberapa menit. Tidak ada toleransi," ocehnya, keluhannya tidak juga habis.

"Letnan Satu, dan mungkin akan jadi Kapten tahun depan," jawab Soohyuk, mengaku kalau adiknya itu cukup ambisius dalam pekerjaannya.

Mendengarnya, Jiyong tersedak. Bahkan ayah pria itu ikut menoleh pada Soohyuk. Tidak percaya kalau Lisa yang mereka kenal sudah setinggi itu pangkatnya. "Anak kecil itu sudah Letnan? Dia Letnan dan aku hanya Prajurit? Adikmu Letnan?" komentar Jiyong, sembari menggerakan tangannya di sebelah kepalanya, seolah ingin mengatakan kalau Lisa masih sependek telinganya, masih sekecil itu.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentang adikku?" heran Soohyuk.

"Dia masih sangat kekanakan, iya kan, appa? Oppa, belikan aku es krim-siapa yang akan percaya dia Letnan kalau kelakuannya begitu?" Jiyong sama herannya.

Sedang Jiyong asik membicarakannya, Lalisa berdiri beberapa meter dari pintu ruang pertemuan itu. Ada banyak prajurit dan keluarga mereka di sana, namun rasanya tidak seorang pun dari prajurit-prajurit itu mengenali Lisa. Mereka berbisik, mengira kalau Lisa hanya seorang prajurit wanita dari divisi kesehatan, atau administrasi.

"Oppa, beritahu aku kalau Jiyong oppa sudah kembali ke barak," tulis Lisa dalam pesannya, yang ia kirim pada Soohyuk. Baru gadis itu selesai mengirim pesan, seorang pria menghampirinya. Berdiri di depannya, menghalangi jalannya menuju kantor administrasi yang tidak seberapa jauh dari sana. Lisa ingin menunggu di kantor administrasi sampai Jiyong kembali ke barak, sebelum ia menyelesaikan urusannya di ruang pertemuan. Ada seorang tamu yang perlu Lisa temui di ruangan luas itu, berbaur bersama prajurit dan keluarga mereka.

"Hei," pria itu menyapa Lisa, membuat dahi Lisa berkerut karena yang menyapanya seorang prajurit. Apa pria ini membolos kelas pengetahuan dasar kemiliteran? Sampai ia tidak bisa membaca tanda pangkat di pakaian Lisa? Atau pria itu hanya seorang pria gila yang merasa keren saat melawan hirarki umum di sana? Apapun alasannya, sapaan pria itu berhasil membuat sang Letnan tertarik padanya. "Kita sudah beberapa kali berpapasan," katanya, yang Lisa sendiri tidak ingat kapan mereka berpapasan.

"Ah... Benarkah?"

"Ya, di ruang kesehatan," angguknya. "Lalisa Kim? Nama yang cantik," pujinya. Lisa melirik nama di dada pria itu-Mark Lee.

"Terima kasih, Prajurit Lee," senyum Lisa, menunggu sampai sejauh apa pria itu akan bicara.

"Heish... Kenapa kau memanggilku begitu? Kau membuatku malu. Panggil aku Mark, atau oppa? Meski tidak terlihat begitu, usiaku sudah tiga puluh. Aku lebih tua darimu, iya kan, manis?" godanya, dan dengan lancang ia mengulurkan tangannya, menyentuh bahu sang Letnan.

"Hhh... Selalu saja ada yang begini, setiap tahunnya," keluh Lisa kemudian. Dari sekian banyak Prajurit yang pernah menggodanya, Mark Lee adalah prajurit dengan tangan paling ringan. Baru beberapa detik mereka bicara-lebih tepatnya hanya pria itu yang bicara-dan ia sudah berani menyentuh bahu Lisa.

Secepat Mark Lee menyentuh bahu Lisa, secepat itu juga pria itu berlutut di lantai. Kakinya di tendang, cukup keras hingga ia kehilangan keseimbangannya. Cukup keras juga sampai menarik perhatian tentara lain di pintu ruang pertemuan tadi. Bergegas mereka datang, menghampiri Lisa, memberi hormat padanya lalu melihat ke arah Mark Lee yang mengaduh di lantai.

"Siapa Ketua Regumu?" tanyanya kemudian, pada pria yang masih terkejut itu. Tentu saja terkejut, sebab ia sadar dirinya baru saja menggoda seorang wanita yang salah. Terkejut sebab dua Kopral yang menghampiri mereka memanggil Lalisa Kim dengan pangkatnya-Letnan Kim.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang