Bagian II : 31

1.3K 162 8
                                    

***

G Dragon sedang berada di tengah-tengah meeting untuk sepatunya ketika ayahnya menelepon. Ia mengabaikan telepon itu, mengira kalau ayahnya hanya akan bertanya dimana ia sekarang. Namun tiga kali sang ayah menelepon, membuat Jiyong akhirnya penasaran dan bangkit dari duduknya. "Maaf, aku harus menjawab ini," katanya, lantas bergegas keluar untuk menjawab teleponnya. "Appa, ada apa? Aku sedang meeting sekarang," katanya begitu menjawab telepon sang ayah.

"Seseorang tinggal di Galleria Foret, kau tahu sesuatu?" tanya sang ayah, begitu Jiyong menjawab teleponnya.

"Ya? Dimana appa sekarang?"

"Di Galleria Foret, bersama ibumu," jawabnya. "Seseorang tinggal di sini. Ada pakaianmu dan pakaian wanita di sini. Apa jangan-jangan kau mengajak kekasihmu tinggal bersama? Tidak kan?"

"Appa! Kenapa kau membuka lemari orang lain?!"

"Apa yang-"

"Aku akan pulang sekarang, kita bertemu di rumah. Appa cepat keluar dari sana," potong Jiyong, beberapa kali meyakinkan ayahnya untuk segera pergi dari Galleria Foret dan menemuinya di rumah. Ia kembali masuk ke ruang meeting setelahnya, mengatakan kalau sesuatu terjadi di rumahnya dan ia harus pergi saat itu juga.

Dalam perjalanannya, Kwon Jiyong menelepon Lalisa. Namun gadis itu tidak juga menjawab panggilannya. Berkali-kali ia menelepon, dan berkali-kali juga teleponnya di abaikan. Sampai akhirnya ia membaca pesan dari ibunya—datang ke Galleria Foret sekarang—tulis sang ibu dalam pesan singkat itu. Sang ibu beberapa kali meneleponnya, namun panggilan itu dialihkan sebab Jiyong sibuk menelepon Lisa.

Mau tidak mau, Kwon Jiyong mengemudi ke Galleria Foret. Memacu mobilnya secepat yang ia bisa ke sana, sedang di Galleria Foret, Lalisa hampir pingsan karena terkejut. Lisa baru saja pulang dari terapinya, baru saja menekan kode pintu tempat tinggalnya. Tanpa menduga apapun, ia melangkah masuk ke dalam rumah itu, lalu terkejut karena melihat orangtua Jiyong di sana. "Paman... Bibi..." gumam gadis itu, hampir menjatuhkan tote bag yang ia bawa.

Lisa sedang ditanyai ketika Jiyong akhirnya datang. Gadis itu duduk di meja makan, berhadapan dengan orangtua Jiyong yang menatap menyelidik padanya. "Sejak kapan kau tinggal di sini? Bersama Jiyong?" tanya sang ibu, dengan tatapan mendesaknya yang membuat Lisa luar biasa gugup.

"Beberapa hari-"

"Beberapa hari?" ulang Nyonya Kwon.

"Tidak, sudah hampir satu bulan, Bibi..." aku Lisa kemudian, sedang pintu depan terbuka dan Jiyong berlari kecil masuk ke rumah.

"Eomma- ah... Sudah ketahuan?" gumam pria itu, ketika melihat Lisa menatap gugup padanya, juga orangtuanya yang menatap heran ke arahnya.

"Kau duduk," perintah sang ibu, membuat Jiyong menarik sudut-sudut bibirnya lantas duduk di sebelah Lisa.

"Jadi, biar aku jelaskan eomma," katanya.

"Kalian berkencan? Tinggal bersama? Di sini?" tanya sang ibu, membuat Jiyong juga Lisa lantas menggelengkan kepalanya. Bersamaan kepala itu menggeleng, membuat Tuan dan Nyonya Kwon menghela nafas mereka. Bukan helaan lega, namun justru helaan lelah khas orangtua.

Mendengar helaan nafas itu, Lisa buru-buru melangkah ke dapur. Ia ambilkan Tuan dan Nyonya Kwon air minum, menyajikan teh kemasan di atas meja meski dua paruh baya itu terus menatapnya dengan penuh selidik.

"Jadi, Lisa kembali ke sini beberapa hari yang lalu. Kami bertemu di bandara dan aku menyuruhnya tinggal di sini untuk sementara. Daripada dia harus tinggal di hotel, sampai punya tempat tinggal sendiri," kata Jiyong, sembari melirik Lisa agar gadis itu menyetujui ceritanya. Sebisa mungkin, tidak ia katakan kalau Lisa bersembunyi di sana.

"Soohyuk tahu?"

"Tentu saja," kata Jiyong, cepat-cepat menjawab pertanyaan ayahnya.

"Dan dia membiarkan adiknya, satu-satunya, tinggal bersamamu di sini?" selidik Tuan Kwon, membuat Lisa memutar bola matanya. Merasa kalau dirinya bisa berbohong lebih baik daripada pria itu. Bicara terlalu cepat tidak cocok untuk berbohong.

"Tidak-"

"Aku tidak tinggal di sini," Jiyong menyela jawaban Lisa. "Lisa tinggal sendirian di sini, aku tidak tinggal di sini. Aku sibuk, hampir tidak sempat pulang, bagaimana bisa aku tinggal di sini?" katanya sekali lagi, berusaha meyakinkan orangtuanya.

"Oh begitu? Kau sibuk sampai tidak sempat pulang?" balas sang ibu. "Tentu saja, kau tidak sempat pulang ke rumah karena kau tidur di sini, iya kan? Ada pakaianmu di lemari. Banyak. Aku sempat heran karena kau pergi dari rumah dengan kopermu tapi pulang tanpa membawanya, dan ternyata kopermu ada di sini. Bahkan ada pakaian dalammu di keranjang cucian. Kau tidak tinggal di sini?" desak wanita paruh baya itu. Jelas membuat putranya semakin terpojok.

"Kalau kalian jujur, aku tidak keberatan," kata sang ayah, jelas membuat Jiyong dan Lisa semakin terdesak. Tidak ada satupun alasan yang bisa Lisa katakan. Jiyong sudah bicara terlalu banyak. Satu-satunya yang mungkin Lisa lakukan hanya mengakui segalanya, memohon iba kedua paruh baya itu.

Sebentar Jiyong terdiam, maka Lisa yang membuka mulutnya. Akan mengakui keadaannya. "Paman sebenarnya-"

Kwon Jiyong menyela jawabannya. Mengatakan kalau mereka memang berkencan dan ingin tinggal bersama. Pria itu mengaku, kalau ia ingin mengatakannya lebih awal namun kesibukan membuatnya terus menunda berita itu. "Aku menyukainya, sejak wamil waktu itu," pelan Jiyong, berkata kalau ia harap orangtuanya bisa mendukung mereka. Berharap orangtuanya akan senang, seperti bagaimana ia senang karena bisa tinggal bersama kekasihnya di rumah itu.

Namun sayang, Tuan dan Nyonya Kwon berkata kalau mereka berdua harus pindah dari rumah itu. "Pindah dari sini sebelum orang yang menyewa tempat ini datang," kata Tuan Kwon, sebab dalam lima hari akan ada penyewa baru di tempat itu.

Jiyong menghela nafasnya. Ia benar-benar lupa soal orangtuanya yang menyewakan tempat itu ke orang lain. Lantas selepas ia mengantar orangtuanya ke pintu depan, pria itu menoleh pada Lisa yang hanya mengekor.

"Jadi kita berkencan? Oppa menyukaiku?" tanya Lisa, setelah pintu depan kembali tertutup.

"Kau lebih peduli soal itu daripada-"

"Iya," potong Lisa. "Oppa menyukaiku atau tidak, jauh lebih penting daripada diusir dari sini. Karena itu... Oppa menyukaiku atau tidak?" tanyanya, yang sayangnya tidak Jiyong jawab.

"Bagaimana kalau kau pulang sebelum penyewanya datang? Kau sudah lebih baik sekarang? Kau bisa menemui orangtuamu sekarang?" tanya Jiyong, alih-alih menjawab pertanyaan Lisa.

"Tsk... Jadi kita berkencan atau tidak? Jawab dulu pertanyaanku," bujuk Lisa, tapi tetap, Jiyong enggan memberinya jawaban. "Ish! Jahat sekali! Oppa suka mempermainkan perasaanku ya? Baiklah kalau kau masih ingin bermain. Tidak, aku tidak menyukaimu! Aku tidak mau berkencan denganmu dan kalau oppa tidak bisa berbohong, jangan berbohong, kau terlihat payah sekali," gerutunya. Mengoceh sembari terus bertanya apa Jiyong ingin mereka sungguhan berkencan atau tidak.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang