Bagian II : 35

711 140 9
                                    

***

Soohyuk terkejut mendengar ucapan adiknya. Jiyong menyukai adiknya, sahabatnya menyukai adiknya—cerita itu tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi bagian yang paling membuat Soohyuk tertampar adalah ucapan adiknya sendiri—Lisa menyukai Jiyong? Sejak kapan? Kenapa ia tidak pernah mengetahuinya?—Soohyuk tidak bisa memakai otaknya untuk menjawab semua pertanyaan itu. Namun alih-alih kebingungannya terjawab, ia sudah lebih dulu ditinggalkan sendirian. Jiyong—sahabatnya—sudah lebih dulu bangkit, membawa adiknya pergi.

"Lisa menyukai Jiyong? Mana mungkin?" herannya, menatap sisa tteokbokki yang ditinggalkan di meja. "Ya! Kenapa kalian pergi tanpa merapikan ini?!" serunya kemudian, setelah ia sadar kalau dirinya lah yang harus merapikan ruang kecil itu sekarang.

Di saat yang sama, Jiyong menarik Lisa sampai keduanya masuk ke dalam lift. Gadis itu bertanya kemana mereka akan pergi, kemana Jiyong akan membawanya dan kenapa mereka harus pergi. Namun tidak satupun dari pertanyaannya yang di jawab. Jiyong terus menariknya, masuk ke dalam lift dan berdiri di sudut. Di sana ada beberapa staff agensi, membuat Lisa tidak lagi bisa bertanya, membuatnya terpaksa harus diam.

Jiyong membawa Lisa masuk ke dalam mobilnya. Mengemudikan mobil itu pergi dari agensinya, merasa kalau ia harus keluar dari gedung itu sebab tidak ingin Soohyuk mengejarnya. Tidak ingin Soohyuk mendengar pembicaraan mereka. Melihat Jiyong yang bergerak dengan begitu panik, Lisa hanya duduk. Menunggu waktu yang tepat untuk bicara.

"Oppa," Lisa akhirnya membuka mulutnya, setelah merasa kalau Jiyong sudah sedikit lebih tenang. "Apa kita berkencan sekarang?" tanyanya sementara pria di sebelahnya tetap mengemudi, sembari meremas kuat roda kemudinya. Berusaha keras menenangkan dirinya sendiri. Berusaha keras menunggu hasil dari pertarungan sengit di kepalanya, antara keinginannya dan keragu-raguannya.

"Tidak!" pria itu berseru, jelas kaget dengan pertanyaan Lisa sekarang. Hampir ia injak pedal remnya, sebab terlalu terkejut.

"Tidak?" ulang Lisa. "Gadis yang oppa sukai bukan aku? Soohyuk oppa bilang, oppa menyukai gadis yang pernah oppa tolak. Sepertinya bukan hanya aku yang pernah oppa tolak, iya kan? Tentu saja bukan hanya aku, oppa G Dragon, kau pasti pernah menolak banyak sekali perempuan," katanya, tanpa melihat pada pria di sebelahnya. Sesekali Lisa memandangi pahanya, sesekali juga ia menoleh dan melihat ke jalanan di luar. "Ahh! Atau oppa hanya berpura-pura? Karena kita ketahuan orangtuamu? Oppa ingin bilang pada Soohyuk oppa kalau kita tinggal bersama dan berpura-pura menyukaiku di depannya? Seperti yang oppa katakan pada orangtuamu? Kalau begitu, apa aku merusak rencanamu?" susulnya, sekali lagi menebak apa yang terjadi di sana.

"Tidak, bukan begitu maksudku," Jiyong menepikan mobilnya, di jalan sepi setelah pintu masuk tol. "Kenapa kau tidak bisa memahami perasaanku?" ketus Jiyong kemudian, menatap pada gadis yang tengah melihat-lihat dimana mereka berhenti sekarang. Lisa harus berjalan cukup jauh kalau diturunkan di sana, tidak mungkin ia bisa menyetop taksi di sana.

"Bagaimana aku bisa tahu kalau oppa tidak memberitahuku?!" Lisa balas bertanya, balas menatap sebal pada pria di sebelahnya.

"Kau melihat semua yang aku lakukan untukmu- augh! Kenapa kau membuatku terlihat picik?!" kesal Jiyong, namun tidak lantas membuat Lisa bisa memahami perasaannya.

"Ya! Kenapa oppa rumit sekali?!" alih-alih memahami pria itu, Lisa justru tersulut emosinya. "Aku menyukaimu, aku sangat menyukaimu! Bagaimana denganmu? Oppa menyukaiku atau tidak?! Apa sulitnya menjawab pertanyaan itu?! Apapun jawabanmu, tidak akan berpengaruh apapun padamu, kenapa oppa tidak bisa menjawabnya?"

Lagi, Jiyong terdiam. Pria itu merubah posisi duduknya, ia sandarkan tangannya ke roda kemudi, lantas menundukan sedikit kepalanya. Menumpukan dahinya pada roda kemudi di depannya. "Kau benar-benar tidak memberiku kesempatan untuk terlihat keren," gumam pelan pria itu.

Lisa tidak mengatakan apapun. Tidak bisa ia temukan jawaban yang cocok untuk menanggapi gumam pelan itu. Beberapa detik tidak ada obrolan, Jiyong lantas mengangkat kepalanya, menatap pada Lisa kemudian mengakui perasaannya.

"Ya, aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu, tapi aku tidak ingin berkencan dengan cara seperti ini. Aku tidak ingin memulai hubungan ini begitu saja. Setidaknya aku bisa mengajakmu pergi ke restoran, membeli sebuket bunga untukmu, memberimu hadiah. Bilang kalau aku menyesal karena sudah menolakmu. Bilang kalau aku berubah pikiran dan tidak lagi menganggapmu sebagai adikku. Tapi kau terus menanyaiku, apa aku menyukaimu? Tidak bisa kah kau menunggu, kau tahu aku menyukaimu. Kau bisa merasakannya. Sekarang, di sini, setelah ditertawakan oppamu tadi, aku menjawab pertanyaanmu, aku menyukaimu, lalu apa yang akan kau lakukan?" keluh pria itu, tanpa jeda. Ia benar-benar seorang rapper—Lisa baru menyadarinya.

"Bisakah oppa kembali menyetir? Aku lapar sekarang, sangat lapar," jawab Lisa, membuat semua ocehan panjang lawan bicaranya terasa sia-sia.

Jiyong tidak mengatakan apapun. Hanya ia hela kasar nafasnya, lantas kembali menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanan mereka. "Aku ingin donat, sesuatu yang manis," susul Lisa, sedikit meringankan beban Jiyong untuk memutuskan kemana mereka harus pergi sekarang. "Beberapa minggu lalu, aku buang air kecil di lift," cerita Lisa di tengah-tengah perjalanan mereka, setelah beberapa menit keduanya membisu. "Kejadiannya di klinik tempatku berobat. Dua orang anak kecil masuk ke dalam lift dengan pistol mainan mereka. Bermain tembak-tembakan di dalam lift lalu mengarahkan mainan mereka ke arahku. Saat itu kakiku lemas sekali, aku tidak bisa berdiri, aku duduk di lantai, gemetar dan buang air kecil di sana. Sekarang, semakin oppa mengenalku, aku tidak akan lagi terlihat keren," cerita Lisa, membuat Jiyong melambatkan laju mobilnya. Melaju di tepi, sembari sesekali menoleh untuk melihat gadis di sebelahnya. Memastikan gadis itu baik-baik saja sekarang.

"Karena itu..." Lisa tidak membiarkan pria itu bicara, tidak membiarkan Jiyong menanggapi ceritanya. Meski begitu, ia tetap menggantung kalimatnya. Memberi sedikit jeda diantara kata-kata yang ingin ia lontarkan. "Oppa tidak perlu merasa tidak keren. Oppa tetap keren, meski tanpa restoran, bunga dan hadiah. Selama belasan tahun, oppa kira aku menyukaimu karena kau keren? Tidak. Aku tidak menyukaimu karena itu. Aku menyukaimu, karena oppa adalah orang pertama yang berdiri di sisiku, saat orangtuaku akan bercerai. Bahkan sampai sekarang, oppa masih memihakku ketika keluargaku bertengkar. Oppa yang ada di sisiku ketika semua orang berpaling dariku, karena itu aku menyukaimu, sangat menyukaimu," katanya, tenang seolah ia tidak mengalami serangan panik sebelumnya. Begitu tenang seolah ia sudah berada di dunianya yang damai.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang