Bagian II : 28

852 141 6
                                    

***

Mereka duduk di balkon sekarang. Menatap pada hutan kota yang hanya diterangi sedikit cahaya. Memperhatikan indahnya kota dengan lampu-lampu malamnya, cahaya merah dari mobil yang melintas jauh di atas jembatan sana, sembari merasakan hembusan angin malam yang tidak seberapa dingin.

Mereka berusaha untuk merasa nyaman. Ditemani beberapa kaleng bir, juga sebungkus keripik kentang. Jiyong merokok, sedang Lisa hanya menyesap minumannya perlahan-lahan. "Aku benar-benar tidak ingin menceritakan ini padamu," kata Lisa. "Itu kali pertama aku melakukannya, oppa," aku gadis itu.

"Kalian berkencan?"

"Tidak. Ada ledakan di dekat pengungsian. Banyak orang terluka dan kami kehabisan obat. Aku pergi bersamanya untuk mencari obat-obatan, lalu di jalan kembali, bahan bakarnya habis. Tidak ada siapapun di sana, kami harus bermalam di mobil."

"Dia melecehkanmu?"

"Tidak," geleng Lisa. "Kami melakukannya dengan sadar. Sama-sama menginginkannya, hanya itu. Lalu setelah itu tidak ada yang terjadi lagi. Tapi... Tiga minggu setelahnya terjadi ledakan baru. Kebetulan aku ada di dekat pusat ledakannya, lalu terluka dan pingsan. Saat sadar, aku baru tahu kalau aku keguguran. Mungkin karena ledakan itu. Janin itu pergi bahkan sebelum aku tahu kalau dia ada. Kami terkejut, aku terkejut, dia pun begitu, lalu Kapten Kim mengirimku pulang."

"Jadi kau baru saja keguguran?"

"Uhm... Kegugurannya sekitar tiga bulan yang lalu," jawab Lisa. "Proses mengirimku pulang sampai aku berhasil tiba di sini tidak sebentar. Aku harusnya naik pesawat tapi akhirnya menumpang ke kapal barang," katanya.

"Dan selama itu kau tidak mendapat pengobatan yang layak?"

"Aku mendapatkannya sekarang, di sini," jawabnya.

Jiyong menghela nafasnya. Penasaran apa pengobatan yang Lisa dapat sekarang benar-benar cukup untuk mengatasi semua lukanya. Juga penasaran bagaimana reaksi Soohyuk, dan orangtua Lisa ketika mereka mengetahui semuanya nanti. Namun, dalam pembicaraan itu, Lisa mengatakan kalau ia tidak ingin memberitahu mereka bertiga tentang masalahnya, tentang lukanya, rasa sakitnya.

"Kalau aku tidak tertangkap basah seperti tadi, aku tidak akan memberitahumu," kata Lisa. "Aku ingin menganggapnya sebagai... Bagaimana mengatakannya? Seperti oppa berkencan dengan kekasihmu, kau tidur bersama mereka, kalian melakukannya dengan sadar, kalian menikmatinya, aku pun begitu- augh! Memalukan, kenapa aku harus bercerita padamu?!" gerutu sebal gadis, sembari meremas sendiri helai-helai rambutnya.

"Kalau kau tidak memberitahuku, setelah aku tahu kalau kau hamil, bagaimana aku bisa menemui oppamu? Tentu saja kau harus memberitahuku. Kau yang lebih dulu melibatkanku dalam semua- kau pikir aku ingin tahu? Tidak, aku tidak ingin tahu. Aku... Kau tahu betapa bodohnya dirimu kan? Tidak perlu aku beritahu betapa kacaunya hidupmu sekarang, kan?" tanya Jiyong, menahan emosinya. Ia bisa saja meledak, namun rasanya ia tidak perlu bersikap sampai sejauh itu. "Siapa pria itu? Malam itu mungkin pertama kalinya untukmu. Anggap lah kau masih sangat polos dan tidak tahu apa itu kondom, sampai mau melakukannya tanpa pengaman, tanpa mengira-ngira masa saburmu, karena kau belum pernah melakukannya sebelumnya, tapi bagaimana dengan laki-laki itu? Itu juga kali pertama untuknya?"

"Bagaimana aku tahu itu kali pertama untuknya atau tidak? Aku tidak pernah bertanya," balas Lisa. "Dan aku tahu apa itu kondom, aku juga tahu masa suburku atau tidak. Aku tidak bodoh-"

"Lalu kau tetap melakukannya dan hamil?! Kau tidak memikirkan keluargamu lebih dulu sebelum melakukannya?! Semisal kau tidak keguguran, kau akan pulang dengan seorang anak? Tanpa menikah? Atau tiba-tiba muncul entah dari mana dengan anak dan suamimu lalu meminta keluargamu menerima mereka? Kau tidak khawatir mereka akan terkejut? Bagaimana kalau ayahmu marah? Bagaimana kalau ibumu pingsan? Kau tidak pernah memikirkannya?" potong Jiyong, sekali lagi mengomel. "Jadi siapa pria itu?" tanyanya, juga sekali lagi.

Namun Lisa enggan memberitahunya. Enggan mengatakan kalau pria yang tidur dengannya adalah bosnya sendiri-anak buah kesayangan ayahnya, dulu, Kapten Kim. Demi menghindari desakan itu, Lisa bangkit dari duduknya. "Aku sudah memutuskannya," kata gadis itu sembari melangkah bangkit. "Aku tidak akan memberitahu mereka. Aku tidak akan memberitahu siapapun kalau aku pernah hamil dan keguguran. Toh tidak ada bekasnya, untuk sekarang. Karena itu... Kalau oppa dan orangtuaku sampai tahu, berarti oppa yang memberitahunya. Oppa penjahatnya," ucapnya, sedikit mengancam.

Lisa pergi ke meja makan sekarang, menghampiri belanjaan serta handphone barunya yang rusak. Layarnya hancur karena ia injak, padahal ia baru membeli benda itu beberapa jam lalu. Di sana Lisa duduk. Tidak melakukan apapun dan hanya duduk, menatap layar handphonenya seolah tengah melihat dirinya sendiri. Di depan pria yang ia suka, kini ia sama seperti handphone itu.

"Seharusnya, saat memutuskan untuk bersembunyi sebelum pulang ke rumah, aku benar-benar bersembunyi, darimu juga," gumam Lisa dari meja makan. "Oppa tidak pernah melihatku sebagai wanita dan semua yang terjadi sekarang, pasti membuatku terlihat lebih buruk lagi di matamu," katanya, meski Jiyong yang mendengarnya hanya terdiam di posisinya.

Lama pria itu diam, sampai akhirnya mulutnya terbuka. "Hm... Iya," katanya. "Di mataku, kau terlihat sangat bodoh sekarang. Bukan karena kau melakukannya tanpa pengaman lalu hamil. Itu juga salah, tapi... Aku tidak bisa mengerti, kenapa kau melakukan semua ini. Dulu aku suka melihatmu berusaha untuk mendapatkan apa yang kau mau. Kau berusaha sangat keras untuk mimpimu, tapi sekarang, apa yang sebenarnya kau inginkan? Apa waktu itu kau berjuang sangat keras hanya untuk jadi seperti ini?"

"Mimpi?" Lisa balas bertanya. "Aku tidak pernah bermimpi pergi ke zona konflik. Aku tidak pernah bermimpi jadi tentara. Apa aku pernah bilang kalau mimpiku menjadi tentara dan pergi ke zona konflik? Aku hanya bilang aku ingin pergi ke sana," katanya, membuat Jiyong menoleh lantas menatap punggung gadis yang kini membelakanginya. "Aku pergi ke sana, aku berusaha sangat keras agar bisa pergi ke sana... Untuk menghukum ayahku," susulnya pelan. "Menghukum ibuku juga," bisiknya pelan.

"Menghukum?"

"Oppa, aku lelah," Lisa kembali bangkit dari duduknya. "Pergilah kalau sudah bosan di sini, aku ingin tidur," pamitnya, yang kemudian melangkah terburu-buru ke dalam kamar tidurnya, mengunci pintu kamar tidur itu untuk menghindari lawan bicaranya. Kini, di dalam ruangan besar itu, dadanya terasa luar biasa nyeri. Sembari bersandar ke pintu, tubuhnya merosot duduk di lantai, nafasnya mulai memburu dan sesak terasa semakin buruk.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang