***
"Lisa-ya... Apa kau tidak bisa ke sini?" tanya Jiyong. "Aku ingin bertemu denganmu, tapi ini sudah malam sekali," katanya, membuat gadis yang ia telepon berdecak pelan.
Saat itu sudah pukul tiga pagi, Lisa masih terlelap ketika Jiyong meneleponnya-tiga kali. Suara pria itu terdengar serak, merengek ingin bertemu dengannya di dini hari yang masih sangat gelap. "Aku merindukanmu, kau bilang kalau kau menyukaiku? Kenapa tidak bisa ke sini?" ocehnya, yang belum juga Lisa tanggapi. Gadis itu masih setengah sadar, masih sangat mengantuk sekarang.
"Oppa mabuk?" tanya Lisa setelah ia kumpulkan remah-remah nyawanya.
Jiyong tertawa, entah apa yang lucu saat itu. Pria itu terkekeh, kemudian mengaku kalau ia sedang minum-minum bersama Soohyuk. "Aku ingin tidur denganmu, tapi kenapa oppamu yang justru ada di sini? Menyebalkan," ocehan Jiyong belum berakhir.
"Ah... Begitu? Iya... Hm... Iya...," Lisa hanya mengiyakannya. Berbaring miring, meletakan handphonenya di atas telinganya dan kembali memeluk gulingnya. Ia biarkan Jiyong mengoceh, sampai tanpa ia sadari, dirinya sudah kembali terlelap.
Ketika bangun, panggilan itu sudah berakhir, Lisa ingat kalau kekasihnya menelepon, ia pun ingat kalau pria itu mabuk, namun tidak ingat detail apa saja yang Jiyong katakan. Suara samar langkah kaki menyambut pagi Lisa hari ini, ayahnya pasti sudah bangun. Sibuk melangkah kesana kemari, mengurusi urusannya sendiri. Atau pelayan rumah tangga yang datang untuk bersih-bersih.
Sembari mengikat rambutnya, ia melangkah keluar dari kamarnya. Ia akan turun ke meja makan, menikmati apapun yang sudah disiapkan pelayan rumah itu. Namun belum jauh langkahnya meninggalkan kamar tidur, handphonenya berdering. Sebuah panggilan baru saja masuk, dari ibunya. Awalnya Lisa berencana untuk menolak telepon itu, namun berbeda dari biasanya, Kim Ovkin meneleponnya dua kali hari ini. Seolah ada sesuatu yang penting, yang harus segera ia katakan.
"Halo," Lisa akhirnya menjawab panggilan itu.
"Kau baru saja bangun tidur?" sang ibu bertanya, Lisa menggumam untuk mengiyakannya.
"Hm... Ada apa? Kenapa eomma menelepon pagi-pagi begini?" tanya Lisa, kali ini sembari melangkah turun ke lantai satu rumahnya.
"Semalam ayahmu menelepon, dia bilang kau akan tinggal di sini. Kenapa mencari rumah lain? Tinggal saja di rumahku," kata Ovkin, yang mungkin tidak tahu kalau Lisa menolak tinggal di rumahnya. Mungkin Teo tidak memberitahunya, kalau Lisa mengancam akan menikah kalau dipaksa tinggal di sana, untuk melindungi perasaan mantan istrinya.
"Aku ingin tinggal sendiri, appa juga tidak keberatan aku tinggal sendiri," jawab Lisa. "Aku sudah memutuskannya. Aku akan tinggal sendiri, eomma," susulnya, sekali lagi menegaskan keputusannya.
"Kau masih kesal?" tanya Ovkin, ingin terus membujuk putrinya agar mau tinggal bersamanya, namun sekeras apa pun ia memaksa, Lisa sama kerasnya seperti dirinya. Lisa terus menolaknya, tanpa menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. "Ayo bertemu dan bicarakan lagi masalah ini. Telepon aku kalau kau sudah di sini," kata Ovkin kemudian, mengakhiri panggilannya secara sepihak. Membuat putrinya kembali mendengus kesal karena panggilan itu.
Sore harinya, Lisa menemui Jiyong setelah ia selesai dengan konselingnya. Dengan taksi, gadis itu pergi ke rumah Jiyong. Kali ini ia benar-benar ke rumahnya, turun di depan bangunan besar tempat Jiyong dan keluarganya tinggal. Bukan sebuah apartemen, tapi rumah tiga lantai dengan halaman dan beberapa balkon.
Saat Lisa tiba di sana, Jiyong belum pulang. Pria itu masih di perjalan pulang dari lokasi pemotretannya. Hanya orangtua Jiyong yang ada di rumah, jadi mau tidak mau, Lisa harus masuk dan berbincang dengan mereka. "Paman, Bibi... Aku benar-benar minta maaf karena diam-diam tinggal Galleria," kata Lisa setelah ia dipersilahkan masuk, dipersilahkan duduk bakan diberi secangkir teh juga beberapa potong biskuit.
Lisa dimaafkan, sebab mereka sudah lama saling kenal. Sebab Lisa juga sudah banyak membantu ketika putra mereka pergi wajib militer. Mereka sedikit terkejut, juga kecewa karena Lisa diam-diam tinggal di sana, namun seperti orangtua pada umumnya, Lisa dimaafkan.
"Tapi kau sungguh berkencan dengan Jiyong?" tanya Tuan Kwon, setelah obrolan mereka jadi lebih santai sejak lima menit lalu. "Hanya berkencan atau berencana menikah juga?" susulnya, jelas membuat Lisa tersedak ludahnya sendiri. Sial sekali, di saat begini, Jiyong justru belum datang. "Aku hanya penasaran, mengejutkan kalian tiba-tiba berkencan, mengingat saat kecil kalian sering sekali bertengkar," susulnya.
"Apa kau ingat? Dulu Jiyong memaksamu makan cacing dan kau menangis sambil memukulinya? Sepertinya saat itu kau masih lima tahun? Atau enam?" susul Nyonya Kwon, mengenang masa lalu mereka ketika masih bertetangga. "Dami senang mendandanimu, lalu Jiyong cemburu, dia juga ingin bermain dengan kakaknya, Soohyuk menggodanya, kalian bertengkar... Augh... Mengasuh kalian bertiga benar-benar melelahkan waktu itu," ceritanya.
"Siapa yang tiba-tiba masuk ke bawah sepeda motor kurir pizza dan tidak bisa keluar?" orangtua Jiyong asik bernostalgia, sedang Lisa hanya sesekali terkekeh malu saat mendengarkannya. Dia tidak tahu, kalau dirinya sangat merepotkan waktu itu.
"Lisa yang masuk ke bawah motor, karena Soohyuk dan Jiyong bilang itu terowongan," jawab Nyonya Kwon, sampai akhirnya Jiyong datang dan Lisa di selamatkan dari kenang-kenangan memalukannya semasa kecil. "Jangan tutup pintunya," Nyonya Kwon berpesan, sebab Jiyong mengajak Lisa pergi ke balkon di depan kamarnya. Balkon luas yang punya dua pintu akses—dari dalam kamar Jiyong, juga dari pintu kaca di ujung lorong depan kamar pria itu.
"Iya," kata Jiyong, yang tidak berencana melakukan apapun selain berbincang dengan kekasihnya, di balkonnya yang punya beberapa pot tanaman juga sebuah kolam ikan kecil.
Di balkon, Lisa menunggu Jiyong yang masih perlu berganti pakaian dan membasuh wajahnya. Gadis itu berdiri di tepian balkonnya, melihat ke jalanan sepi di luar. Tempat itu seperti kompleks perumahan orang-orang kaya, sepi dan tertata rapi. Hampir tidak ada anak-anak yang keluar dan bermain bola di jalanan, tidak ada juga pedangan keliling yang lewat di depannya. Hanya ada suara angin sore yang menggoyang-goyangkan dahan pohon.
Asik melihat-lihat pemandangan di sana, Lisa merasakan sebuah tangan merangkul pinggangnya. Jiyong yang merangkulnya, sembari berdiri di sebelahnya. "Lisa-ya, kau akan makan malam di sini kan?" Tuan Kwon tiba-tiba muncul dari pintu kaca, membuat putranya langsung menarik lagi tangannya.
"Kalau boleh, aku mau makan malam di sini Paman," kata Lisa sembari menoleh, menganggukan juga kepalanya pada pria paruh baya itu.
Tuan Kwon mengangguk, akan menyampaikan pesan itu pada istrinya—tentu sembari memperingatkan putranya untuk tidak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan di sana. "Besok siang aku akan datang ke sini lagi," kata Lisa, yang sekarang bersandar pada dinding balkon, menatap pria yang berdiri sebelahnya. "Ayahmu akan membantuku mencari tempat tinggal besok, ayahku menyuruhku tinggal di dekat klinik, dan dia juga berencana untuk pindah bersamaku," ceritanya.
"Sungguh? Kau akan tinggal di dekatku?" tanya Jiyong, yang baru mendengar berita itu.
"Di dekat klinik," ralat Lisa, membuat Jiyong berdecak, lantas mengancamnya—Lisa harus tinggal di dekat Jiyong, jadi mereka bisa sering bertemu. "Kalau oppa ingin selalu bertemu denganku, menikah saja denganku," susulnya, menanggapi permintaan kekasihnya. "Daripada oppa meneleponku jam tiga pagi, memintaku datang menemuimu," katanya.
"Aku memintamu datang jam tiga pagi?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. "Wah... Sepertinya aku sangat mabuk semalam, tapi... Kenapa kau tidak datang? Tsk... Kau memang tidak seberapa menyukaiku. Sebenarnya, kau tidak menyukaiku, iya kan?" gerutu pria itu, dan Lisa hanya bisa menanggapinya dengan kekehan juga gelengan kecil. Apa ada orang yang mau menyetir dua jam di pukul tiga pagi untuk orang yang disukainya?—Lisa jadi penasaran, apa semua orang melakukan itu?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Post It
Fanfic"Apa G Dragon single?" Kwon Jiyong berkata, mengulang pertanyaan dari Eric Nam yang memandu acara talk show hari ini. Ia mengigit bibirnya, dengan alis bertaut. Bukan karena gugup, bukan karena takut, tidak juga sedang mencari-cari alasan untuk meng...