***
"Sudah pergi bekerja? Bagaimana keadaanmu? Perlu appa antar ke rumah sakit?" Teo bertanya, lewat telepon yang terhubung pada speaker mobil.
"Appa, aku sedang menyetir, mengantar Jiyong oppa ke rumah sakit, sekalian memeriksakan lukaku," jawab Lisa, bicara pada ayahnya, sedang Jiyong menutup rapat mulutnya. Berlaga kalau ia tidak ada di sana.
"Baiklah, telpon appa kalau sudah selesai," jawab Teo.
"Baik, appa, sampai nanti," balas sang putri dan panggilan itu pun berakhir.
Kini Jiyong membuka mulutnya. Penasaran bagaimana Teo memukul putrinya semalam. Sebentar Lisa terdiam, melirik pada kaca spion untuk berbelok di persimpangan. "Aku tidak akan mengadukanmu pada Soohyuk, bagaimana kau dipukuli semalam?" tanya Jiyong sekali lagi, sebab Lisa terus diam.
"Hanya dipukul dari belakang, lalu aku jatuh," jawab Lisa kemudian. "Oppa tahu stik polisi? Yang bisa jadi panjang? Dia memukulku dengan itu," katanya kemudian.
"Separah itu?"
"Hm... Karena dia marah dan mabuk," angguk Lisa. "Ini bukan penganiayaan," tegasnya kemudian. "Aku yang mengajaknya berkelahi, jadi jangan salah paham."
"Meskipun kau yang mengajaknya berkelahi, dia tidak seharusnya-"
"Aku ingin ikut perang," potong Lisa. "Tapi dia tidak setuju, dia marah," tambahnya.
"Kenapa?"
"Karena dia ayahku?"
"Tidak, kenapa kau ingin pergi ke sana?" heran Jiyong kemudian. "Kau tidak ingin punya bekas luka, kau merengek kesakitan, ayahmu bahkan tidak setuju. Bagaimana dengan ibumu dan Soohyuk? Bagaimana kau akan meyakinkan mereka? Kenapa kau ingin pergi perang? Kau sudah gila?" desaknya, tidak pernah paham bagaimana sebenarnya cara gadis itu berfikir. Apa yang ia lakukan dan apa yang diinginkannya sering kali bertolak belakang. Karenanya Jiyong tidak pernah percaya kalau Lisa sungguh-sungguh menyukainya. Sebab apa yang ia katakan sering kali bertolak belakang dengan keinginannya.
"Aku hanya ingin pergi ke sana," pelan Lisa. "Ada saat dimana oppa ingin pergi ke Jepang, kan? Aku juga merasa begitu. Aku ingin pergi ke sana. Aku memang tidak ingin punya bekas luka, sekarang dokter bisa menghilangkan bekas luka, apa salah kalau aku minta mereka menghilangkan bekas lukaku? Padahal itu bukan sesuatu yang mustahil?"
"Apa pergi ke Jepang setara dengan pergi perang? Kau bisa terluka kalau pergi ke sana. Daripada membayar dokter untuk menghilangkan bekas lukamu, lebih baik kau tidak terluka. Kau bisa terluka disana dan rasanya akan sangat sakit, kau bahkan tidak bisa menahan rasa sakitnya," debat Jiyong.
"Tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin pergi, aku ingin tahu apa yang terjadi di sana, aku ingin tahu apa yang bisa aku lakukan di sana. Daripada menyesal karena tidak pergi, aku lebih suka menyesal karena pergi ke sana. Setidaknya aku sudah mencobanya," gadis itu bersikeras. "Lalu soal luka, aku bukan tidak mau terluka. Karena aku tahu dokter bisa menghilangkan bekas luka, aku tidak ingin punya bekas luka. Hanya karena aku bekerja sebagai tentara, bukan berarti aku tidak ingin merawat tubuhku sendiri. Aku sedang berusaha sebaik mungkin agar tetap cantik, apapun pekerjaanku, apa itu tidak boleh? Apa semua tentara harus jelek dan penuh luka? Toh apa yang aku lakukan sekarang tidak mengganggu pekerjaanku, apa aku tetap salah?" ia tidak mau kalah.
"Baik, anggap saja kau benar soal masalah itu. Anggap saja ayahmu setuju. Bagaimana kau akan meyakinkan ibu dan oppamu? Bagaimana kau akan meminta izin mereka?"
"Aku harus minta izin mereka?"
"Ya! Lalisa!"
"Apa? Eomma bahkan tidak meminta izinku ketika ingin bercerai," pelannya. "Maksudku, eomma hanya peduli pada pendapat Soohyuk oppa. Soohyuk oppa pun hanya mendengarkan eomma. Oppaku putra ibuku dan aku putri ayahku, sedari awal begitu keadaan keluargaku. Akan canggung kalau aku tiba-tiba meminta izin ibuku untuk pergi bekerja," katanya. "Aku akan berpamitan kalau sudah yakin bisa pergi. Enam bulan lagi. Sampai saat itu tiba, oppa jangan bilang apa-apa pada Soohyuk oppa, ya?" pinta Lisa namun jelas Jiyong tidak yakin dirinya bisa melakukannya.
Bahkan tanpa pergi ke medan perang, Jiyong bisa membayangkan bagaimana mengerikannya tempat itu. Tetap tidak bisa ia pahami, kalau Lisa ingin pergi ke tempat mengerikan itu hanya untuk memberontak, pada orangtuanya. Meski begitu, Jiyong tahu kalau berdebat dengannya tidak akan menghasilkan apapun. Ia tidak bisa melarang Lisa pergi dengan terus mengajaknya berdebat. Berbeda dengan kakaknya, semakin dilarang, Lisa justru akan jadi semakin keras kepala.
Jiyong sudah memutuskan untuk diam. Sudah ia sadari kalau berdebat dengan Lisa tidak akan mendengarkannya sekarang. Namun, justru karena ia memilih diam, bisa Jiyong dengar gumam pelan gadis itu, "kenapa oppa bersikap begitu? Oppa ingin melarangku pergi? Kenapa? Padahal aku bukan seseorang yang ingin oppa pertahankan. Meski aku tidak berada di sisimu, oppa tidak keberatan, iya kan?" kata gadis itu, bergumam hampir tidak bisa Jiyong pahami ucapannya.
"Lisa-ya, aku punya kekasih-"
"Aku tahu," potong Lisa. "Meski tidak tahu siapa wanita itu," susulnya.
Jiyong menghela nafasnya. Sebentar terdiam. "Maaf," ucapnya kemudian, lagi-lagi ia terdiam. "Maaf, aku tidak bisa membalas perasaan-"
"Memang siapa yang meminta oppa membalas perasaanku?" potong Lisa. "Aku menyukaimu, aku memang menyukaimu, tapi aku tidak berharap bisa berkencan denganmu. Tidak, aku memang pernah berharap, tapi kalau oppa tidak menyukaiku, aku tidak apa-apa. Justru kalau oppa mau berkencan denganku hanya karena kasihan padaku, aku tidak mau," katanya.
"Lalu kenapa kau bilang seperti tadi?"
"Karena aku menyukaimu, aku tidak boleh mengeluarkan isi kepalaku? Begitu? Aku hanya boleh menunjukan sisi terbaikku padamu? Tidak, 'kan?" balas Lisa, dan kemudian Jiyong menyerah. Berdebat dengannya tidak akan pernah selesai. "Daripada mencoba memahamiku, lebih baik oppa terima saja. Tertawa kalau menurutmu aku lucu, sedih kalau aku membuatmu sedih, marah kalau aku membuatmu marah. Itu lebih mudah daripada berusaha membaca isi kepalaku. Bahkan aku tidak bisa membaca isi kepalaku sendiri, aku tidak pernah punya maksud tersembunyi," susulnya dan mereka kembali diam sampai mobil itu tiba di rumah sakit.
Rumah sakitnya berada di pusat kota. Rumah sakit yang cukup besar, cukup eksklusif karena pelayanannya. Jiyong mengencani seorang dokter di sana. Dokter yang Lisa sebut sebagai dokter pribadi pria itu. Tidak, Lisa tidak tahu gadis mana yang Jiyong kencani. Ia hanya tahu kalau pria itu berkencan dan tidak pernah mencari tahu siapa kekasihnya-karena itu akan melukai perasaannya.
Lisa mengemudikan mobilnya ke tempat parkir, seperti petunjuk dari pria di sebelahnya. Masuk ke basement rumah sakit itu, Lisa mencari tempat parkir yang kosong, di antara mobil para dokter yang sudah lebih dulu terparkir. Namun di tengah pencariannya, Jiyong menahan tangan gadis itu. "Berhenti di sini," katanya, melihat pada seorang wanita di dekat pintu masuk rumah sakit. Di dekat lift yang menuju ke lantai atas rumah sakit itu.
"Kenapa?" Lisa bertanya, namun Jiyong tidak menjawab pertanyaannya.
Hati pria itu hancur. Baru saja hancur, sebab di pintu masuk yang hanya beberapa meter dari mobil Lisa berhenti sekarang, Jiyong bisa melihatnya, kekasihnya. Beberapa meter di depan Jiyong, kekasihnya sedang memeluk lengan pria lain. Kepala dokter wanita itu mendongak, mencium pipi pria yang ia gandeng. Sekali, dua kali, dan pada ciuman yang kedua ini, bibir pria dan wanita itu bertemu. Senyum dokter wanita yang Jiyong kencani mengembang, lantas berkata, "bisakah kau menginap di rumahku lagi malam ini? Aku tidak ingin tidur sendirian," katanya, yang gerak bibirnya bisa Jiyong baca dengan sangat jelas.
"Kita ke rumah sakit militer saja," kata Jiyong, sembari menarik tangannya dari milik Lisa.
"Huh? Apa katamu?" Lisa terkejut. "Ya! Aku sudah menyetir sampai ke sini dan oppa ingin kembali?! Yang benar saja! Tidak, kita tetap akan berobat di-"
"Itu kekasihku, dengan pacar barunya," potong Jiyong, menunjuk kekasihnya yang masih berdiri, mencium lagi pria dalam gandengannya.
"Uhm... Kita ke rumah sakit militer sekarang," bingung Lisa, namun tetap mengemudi pergi meninggalkan rumah sakit itu. Mengemudi kembali ke rumah sakit militer yang jaraknya satu jam dari sana, kalau jalanan lancar.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Post It
Fanfiction"Apa G Dragon single?" Kwon Jiyong berkata, mengulang pertanyaan dari Eric Nam yang memandu acara talk show hari ini. Ia mengigit bibirnya, dengan alis bertaut. Bukan karena gugup, bukan karena takut, tidak juga sedang mencari-cari alasan untuk meng...