***
Hari selanjutnya, giliran Jiyong yang jaga malam. Pria itu benci sekali tugasnya kali ini. Berdiri di atas tower, menggendong senjatanya dan berubah jadi patung. Diam di sana membuatnya sangat mengantuk. Terlebih karena tidak ada yang bisa ia lihat selain padang ilalang, pembatas antar negara. Sesekali sinar lampu menyorot padang itu, bergerak menyusurinya, memastikan tidak ada penyusup. Namun sialnya, sinar itu justru terasa seperti liontin yang menghipnotis. Jiyong jadi semakin mengantuk setiap kali melihatnya.
Berdiri di sana membuatnya banyak berfikir, banyak merenung. Membuatnya mengingat lagi wanita yang mengkhianatinya. Benarkah ia sejahat apa yang wanita itu katakan?-kau hanya datang saat butuh teman tidur, kau membuatku kesepian-sepanjang malam ia berdiri di tower penjaga, Jiyong terus memikirkannya. Membuat kepalanya pening, juga membuat dadanya jadi luar biasa nyeri.
Lama ia memikirkannya, sampai pada pukul tiga, seorang dari regu lain datang untuk menggantikan tugasnya. Jiyong melangkah turun setelah serah terima tugasnya pada prajurit lain. Dengan senjatanya, pria itu melangkah menuju barak, sendirian, sebab jarak antar tower yang cukup jauh. Dalam langkahnya, di atas jalan gelap yang hanya disinari bulan, juga sorot lampu yang sedari tadi menghipnotisnya, Jiyong mendengar langkah kaki. Langkahnya cepat, seperti seorang berlari. Khawatir kalau ada penyusup, di jalanan gelap itu, Jiyong menoleh, ke kanan juga kiri, menyipitkan matanya untuk mencari siapa pemilik suara langkah-langkah itu.
Lalisa Kim, muncul dari ujung jalan yang gelap. Dengan celana olahraga dan kaus hitamnya, gadis itu berlari, lalu berhenti ketika mereka berpapasan. "Oppa, baru selesai jaga malam?" tanya Lisa, sedang Jiyong memberi hormat padanya, seperti bagaimana ia biasa di paksa begitu selama tinggal di sana-lebih dulu memberi hormat pada seorang dengan pangkat yang lebih tinggi. "Huh? Ah... Karena kita di kamp?" komentar Lisa, balas memberi hormat pada Jiyong. "Padahal tidak ada yang melihat," susulnya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Tidak pulang?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.
"Latihan," ucapnya kemudian, mengatakan kalau sebenarnya ia sudah pulang, namun kembali keluar untuk lari pagi-yang terlampau pagi. "Tanpa sadar aku sudah sampai di sini," katanya kemudian.
"Kau berlari dari rumah ayahmu atau dari apartemenmu?"
"Apartemenku."
"Huh? Sudah berapa lama kau berlari?"
"Uhm... Sejak jam satu, berarti hampir dua jam," santai gadis itu.
"Kau tidak tidur?" sekali lagi Jiyong bertanya, namun alih-alih langsung menjawab pertanyaannya, Lisa justru menunjuk perut pria itu. Perut yang bergemuruh, berbunyi karena lapar.
"Oppa lapar," katanya, mengartikan arti suara gemuruh itu, meski sebenarnya Jiyong pun sudah tahu artinya. Pria itu mengernyit, lalu mengusap perutnya, mengatakan kalau ia tidak nafsu makan belakangan ini. Mungkin karena pekerjaannya tidak seberapa berat, karena ia tidak berlatih sekeras sebelumnya. "Kembalikan senjatamu, lalu temui aku di belakang barak, aku punya beberapa makanan di kantor," katanya kemudian.
"Makanan apa?"
"Apa yang oppa inginkan?"
"Uhm... Apa yang mungkin ada di sana?"
"Aku pun tidak tahu, yang pasti ada makanan di sana," ucapnya, akhirnya menyerah.
Mereka kemudian berpisah. Lisa naik ke ruang kerjanya, sedang Jiyong mengembalikan senjatanya dan melapor kalau ia sudah selesai bertugas. Tanpa mengganti pakaiannya karena takut Lisa menunggu terlalu lama, pria itu pergi ke bagian belakang barak. Ada sebuah pohon besar di sana, tepat di sebelah lapangan basket. Di depan pohonnya terdapat sebuah bangku panjang, yang melingkar mengelilingi pohon itu. Lalu di sebelah pintu belakang baraknya, ada sebuah mesin minuman, kopi kaleng, teh dalam botol dan soda, juga air mineral.
Lisa belum datang saat Jiyong tiba di sana. Malam begitu sepi, tidak seorang pun berkeliaran. Semua sudah lelah dan mereka berbaring di ranjang hijau masing-masing. Biasanya, Jiyong pun akan langsung tidur selepas tugas malam. Meski lapar sekalipun.
Sembari menunggu, ia melangkah ke mesin minuman. Memasukan uangnya ke dalam sana, membeli dua botol minuman. Sebotol teh juga air mineral. Biasanya ada minuman berenergi di sana, namun malam ini bagiannya kosong. Mungkin habis oleh tentara yang sore tadi bermain basket.
Tidak lama setelah membeli minumannya, Lisa datang dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Gadis itu melangkah dengan sangat santai, muncul dari gelapnya malam. Lewat tengah malam, semua lampu padam. Hanya lampu di beberapa tempat tertentu yang dinyalakan. Entah untuk menghemat listrik atau untuk menyulitkan pencuri.
Mereka kemudian duduk di bawah pohon. Lisa meletakan kantong bawaannya di antara mereka kemudian menunjukan hasil temuannya-roti, biskuit, telur rebus, cokelat sampai keripik kentang dan protein bar. "Semua ini milikmu?" tanya Jiyong, setelah melihat apa yang Lisa keluarkan dari kantongnya. Gadis itu mengangguk, mengatakan kalau semua miliknya. Ia tidak pernah menyimpan roti dan telur rebus di kantornya, namun sore tadi seorang jendral memberinya bungkusan makan siang, juga beberapa roti.
Lisa membuka kotak telur itu. Ada dua telur di dalamnya, dan ia memberikan satu pada Jiyong. Mereka duduk menghadap ke barak, Jiyong bisa dengan mudah membuka telurnya. Hanya perlu diketuk ke kursi yang mereka duduki. Sedang Lisa mengetuk telur itu ke kepalanya sendiri. Hanya di ketuk pelan. Satu kali, dua kali, lalu ia melihat lagi telurnya dan cangkangnya masih utuh. Jiyong sudah mengigit telurnya, sedang Lisa masih mengetuk-ngetuk telur itu ke kepalanya. Ingin meretakkan cangkang telur itu dengan kepalanya.
Jiyong memperhatikan gadis itu, penasaran dengan tingkah yang ia lihat sekarang. Sungguh! Melihat gadis itu sekarang, membuat Jiyong benar-benar ragu, benarkah ini gadis yang sama dengan si tegas Letnan Kim? Yang berteriak tentang kematian dan lain sebagainya? Letnan Kim yang suka menghukum prajurit-prajuritnya? Sulit Jiyong percayai, kalau mereka orang yang sama.
"Sini," kata Jiyong. "Biar aku bantu," susulnya, meraih telur yang sulit Lisa kupas sebab gadis itu ingin memecahkan cangkangnya dengan kepalanya, namun takut untuk memukul terlalu keras.
Letnan Kim memberikan telurnya. Sama sekali tidak mencurigai apapun. Ia memang sedikit berdebar dengan bantuan kecil itu, namun debarannya tidak berlangsung lama. Hanya berselang beberapa detik setelah ia menerima telurnya, Jiyong sudah lebih dulu memukul telur itu, memecahkan cangkangnya dengan memukul pada kepala Letnannya.
"Akh! Ya!" Lisa berseru, memegangi dahinya yang baru saja di lempar telur. Matanya membulat sempurna, begitu juga dengan mulutnya. Ia terkejut dengan serangan tiba-tiba itu, sama sekali tidak menduganya.
Jiyong terkekeh, melihat reaksi gadis itu. Sangat natural, tidak dibuat-buat. Ia benar-benar terkejut dan tentu saja benar-benar kesakitan. Pria itu kemudian mengupas telur milik Lisa, membersihkannya dari retak-retak kecil cangkangnya, kemudian menyuapinya.
"Begitu caranya," kata Jiyong kemudian, mengabaikan wajah kaget lawan bicaranya. "Kalau hanya diketuk-ketuk, sampai besok pun cangkangnya tidak akan retak," susulnya.
"Jahat sekali," rengek pelan gadis di depannya. Ia terlihat kesal namun mulutnya sudah lebih dulu di sumpal telur.
***
Liat, senyumnya gemes wkwkwk

KAMU SEDANG MEMBACA
Post It
Fanfiction"Apa G Dragon single?" Kwon Jiyong berkata, mengulang pertanyaan dari Eric Nam yang memandu acara talk show hari ini. Ia mengigit bibirnya, dengan alis bertaut. Bukan karena gugup, bukan karena takut, tidak juga sedang mencari-cari alasan untuk meng...