Bagian II : 30

1K 152 7
                                    

***

"Oppa akan ke sana," Kwon Jiyong berkata begitu lewat teleponnya. Sukses membuat mata Lisa membulat sempurna ketika mendengarnya. Membuat gadis itu langsung melompat dari ranjangnya dan berlari ke kamar mandi, bercermin untuk memandangi wajahnya.

"Kapan?" gadis itu bertanya, singkat karena khawatir suaranya akan terdengar aneh kalau ia harus terus menyembunyikan perasaannya sembari bicara.

"Sekarang."

"Sekarang?!"

"Aku masih di bandara, sekitar satu jam lagi," jawabnya.

"Ah... Okay," angguk gadis itu, lega karena ia punya sedikit waktu untuk berdandan.

"Perlu aku- perlu oppa bawakan sesuatu?"

"Sesuatu seperti apa?" tanya gadis itu, yang sekarang sibuk di depan lemarinya, memilih pakaian paling cantik yang ia punya. Sayang, semua pakaiannya hanya cocok dipakai untuk tidur, bukan untuk menyambut tamu.

"Makanan atau apa yang kau perlukan?"

"Uhm... Sebenarnya tidak ada. Tapi aku tidak punya makanan. Kalau oppa belum makan, makan lah dulu di jalan, atau beli makanan untukmu sendiri," katanya.

"Baiklah. Aku akan langsung masuk kalau kau lama membukakan pintunya," jawab pria itu, lalu panggilan pun berakhir.

Lisa menjerit begitu panggilannya berakhir. Mengaku kalau suara pria itu jauh lebih manjur daripada obat yang dokter berikan padanya. Ia merasa sangat depresi beberapa jam terakhir ini, namun perasaan itu seketika lenyap hanya karena sebuah panggilan. Hanya karena suara santai G Dragon yang berkata-oppa akan ke sana.

Sama seperti Lisa yang jantungnya berdebar sangat keras, dalam langkahnya menuju mobil, dada G Dragon pun terasa begitu sesak. Dadanya sesak karena jantungnya berdetak sangat keras. Sembari melangkah, di kelilingi oleh reporter, pria itu meremas kuat handphonenya. "Oppa akan ke sana-aku bisa bilang begitu? Aku benar-benar bilang begitu? Augh! Kwon Jiyong, sebenarnya apa yang baru saja kau katakan?! Omong kosong apa itu?! Ah! Malu!" amuk pria itu, tentu dalam kepalanya sendiri.

Dari balik maskernya, ia tidak bisa menahan lengkung senyumnya. Kepalanya terus tertunduk dan kaca mata hitam menutupi matanya, namun sepertinya tidak seorang pun berhasil menebak suasana hatinya sekarang. Tiba di dalam mobil, ia baru mengeluh lega. "Mampir dulu untuk membeli pizza, setelah itu antar aku ke Galleria Foret," pintanya, pada manager yang duduk di sebelahnya.

"Kau sungguh berkencan? Dengan seseorang yang tinggal di Galleria Foret atau kau menyuruhnya tinggal bersamamu?" tanya pria di sebelahnya.

"Tidak begitu, aku tidak berkencan dengan siapapun," jawab Jiyong, namun tidak bisa berhenti tersenyum.

"Kau tahu kalau jawabanmu berbanding terbalik dengan raut wajahmu sekarang, kan?" tanya sang manager namun Jiyong hanya mengangkat bahunya.

Aku tidak berkencan, terserah padamu kalau kau tidak mempercayainya-begitu yang ia katakan lewat gerakan bahunya tadi. Jiyong datang hampir dua jam setelah panggilannya tadi. Pria itu keluar dari lift dengan sekotak pizza di tangannya, lalu terkejut karena melihat Lisa ada di depan pintu unit apartemennya. Terlihat terburu-buru dengan kantong sampah di tangannya.

"Oh! Sudah datang? Tunggu sebentar, aku harus membuang sampah," panik gadis itu, buru-buru membawa keluar sampahnya, berlari masuk ke dalam lift sebelum pintunya kembali tertutup. "Oppa masuk saja, tunggu di dalam," susulnya, bersamaan dengan pintu lift yang mulai tertutup setelah mengeluarkannya dari dalam kotak besi itu.

Sendirian, pria itu masuk ke dalam Galleria Foret dan sudah ada banyak barang baru di sana. Ada setumpuk cat dan kanvas di sudut dekat balkon. Ada juga sebuah mesin jahit kecil di atas meja makan, bersebelahan dengan beberapa tangkai bunga yang dibeli dari pasar bunga. Di dapur pun ada beberapa peralatan memasak baru, hand mixer, loyang cetakan kue, dan beberapa tepung berbeda di dalam kotak makan berbeda.

Mata Jiyong menyipit, mencoba untuk memahami situasi di rumahnya sekarang. Lepas meninggalkan kotak pizza di meja makan, pria itu melangkah ke ruang tengah dan lagi-lagi dia menemukan sekeranjang perlengkapan merajut di sana. Di atas meja ruang tengahnya juga ada sebuah papan puzzle, dengan segunung potongan puzzlenya. Puzzle itu hampir sebesar meja ruang tengahnya, dan sudah setengah diselesaikan.

Sekali lagi Kwon Jiyong melangkah, kali ini ke kamar utama dan tidak ada yang aneh di sana. Kamar itu masih persis seperti terakhir kali ia meminjamkannya pada Lisa. Rapi dan wangi, dengan aroma teh yang menenangkan bak di tempat spa. Akhirnya pria itu duduk di atas karpet, memandangi puzzle bergambar bunga matahari yang sudah setengah dikerjakan.

"Dia memasang semua ini? Sendirian? Sulit dipercaya," komentar Jiyong, dengan jari telunjuknya yang terulur untuk menyentuh puzzle itu. Ia menggeser beberapa potong puzzle, ingin mencoba bermain dengannya, namun sampai Lisa kembali, ia tidak berhasil memasang sepotong pun puzzle di papan itu. Tidak ia temukan potongan yang pas untuk puzzlenya.

"Ya! Ini apa ini?" tanya pria itu, setelah ia mendengar suara pintunya terbuka, Lisa baru saja kembali setelah membuang sampah.

"Apa?" tanya gadis itu, bergegas menghampiri Jiyong sembari merapikan bagian bawah kausnya. Memastikan pakaian dalamnya tidak akan terlihat dari sela antara kaus dan celananya.

"Ini," katanya, sembari menunjuk puzzle di depannya.

"Puzzle?"

"Kau yang menyelesaikannya?"

"Itu belum selesai."

"Apa yang terjadi di sini? Kenapa kau melakukan apa yang tidak biasanya kau lakukan?" tanya Jiyong, kali ini sembari menatap gadis yang ikut duduk di atas karpet, di depannya. "Melukis, merangkai bunga, menjahit, memanggang kue, sampai bermain dengan puzzle, kau tidak pernah melakukan semua itu sebelumnya. Ada apa?" bingung pria itu.

"Aku pun tidak tahu," geleng Lisa, yang tanpa sadar mulai menghindari tatapan Jiyong. Sedikit gugup karena pria itu tahu apa yang biasa dan tidak biasa ia lakukan. "Dokter bilang aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku, aku mencoba ini dan itu tapi ternyata mereka tidak banyak membantu. Katanya melukis bisa mengurangi stress, tapi aku tidak tega mengotori kanvasnya. Aku hanya duduk di sana dan memandanginya, tidak tahu mau menggambar apa. Lalu merangkai bunga, tidak menyenangkan, kelopak bunganya terus rusak. Tidak cantik. Setelah itu memanggang kue, rasanya seperti aku akan membakar dapurmu. Hasilnya pun sekeras batu, mau mencicipinya? Aku tidak memasukannya ke freezer tapi rasanya seperti sudah disana bertahun-tahun. Lalu menjahit... Mesin jahit itu rusak. Aku menjatuhkannya tepat setelah membelinya. Satu-satunya yang bisa aku nikmati tanpa merusak apapun, hanya ini," ia mengakhiri ceritanya dengan menunjukan puzzlenya. "Tapi aku mengerjakannya sambil menangis. Karena potongan puzzle selanjutnya tidak ketemu. Sepertinya aku benar-benar gila," ia membuat sendiri kesimpulannya.

"Wah... Aku pikir kau hanya tidur dan tidak melakukan apapun, tapi ternyata kau berusaha," komentar pria itu setelahnya. "Sudah coba mewarnai? Atau menulis buku harian?" tanyanya kemudian.

"Apanya yang berusaha, aku hanya menghabiskan uang," rengek gadis itu, yang selanjutnya meletakan kepalanya di atas meja ruang tengah, menghela nafas berat yang penuh dengan keluhan-keluhan.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang