Bagian III : 51

782 135 2
                                        

***

"Iya, aku sudah di rumah. Sudah ya? Aku tutup teleponnya, eomma, aku mengantuk setelah minum obat," kata Lisa yang harus melapor pada ibunya, tepat setelah ia tiba di rumah.

Setelah dua hari dikurung di rumah Soohyuk bak Rapunzel, Lisa akhirnya diizinkan pulang ke rumahnya sendiri. Ia perlu diperiksa oleh dua psikiater sebelum Ovkin memberi izin padanya untuk pergi. Selama itu juga ia tidak bisa menemukan handphonenya, tidak bisa menelepon, tidak bisa menemui kekasihnya.

Alih-alih panik karena suara keras, Lisa justru stress karena dikurung selama dua hari ini. Ibunya luar biasa kalut setelah melihatnya muntah dan menangis di toilet bioskop. Saking kalutnya, Lisa tidak diizinkan melakukan apapun selain berbaring dan makan. Gadis itu diperlakukan bak pasien sekarat, yang akan langsung mati jika menginjakkan kakinya ke lantai atau mengangkat jarinya.

"Akhirnya! Bebas!" seru Lisa, menjerit senang setelah telepon ibunya berakhir. Ia tersiksa selama dua hari ini, namun tidak bisa ia salahkan ibunya.

Ini salahnya, karena kambuh di depan ibunya yang mudah khawatir. Terlebih karena Teo memberitahunya sebuah rahasia—sebelum bercerai aku juga mengalaminya, PTSD, sama sepertimu. Karena itu, sekarang ibumu sedang hilang akal, sebentar saja, bertahanlah—pesan Teo, saat pria itu diberi kesempatan untuk bicara berdua dengan putrinya.

"Appa, aku sudah bebas, aku baik-baik saja sekarang, jangan khawatir. P.s. dokter juga bilang kalau aku baik-baik saja, tanya eomma kalau tidak percaya," Lisa mengirim pesan itu pada ayahnya, dan ayahnya langsung membalas pesan itu. Hanya dibalas dengan emoticon 'okay' seolah pria itu tidak peduli pada putrinya, meski sebenarnya tidak begitu.

Merasa sudah menyelesaikan kewajibannya pada ayah-ibunya, Lisa menelepon Jiyong sekarang. Ingin bertanya dimana pria itu berada, namun justru manager Jiyong yang menjawab teleponnya. "Jiyong sedang pemotretan sekarang, baru saja dimulai, mungkin dua jam lagi selesai, akan aku beritahu dia kalau kau menelepon," kata pria itu.

"Dimana pemotretannya? Boleh aku ke sana?" tanya Lisa.

"Kau mau ke sini? Kalau begitu akan aku kirim supir ke sana, dimana kau sekarang? Rumah?"

"Iya, aku di rumah. Tapi aku bisa ke sana naik taksi," kata Lisa, yang sayangnya di larang sang manager. Jiyong akan kesal kalau Lisa naik taksi malam-malam begini—begitu kata managernya.

Karena sudah membuat banyak orang khawatir, Lisa setuju untuk menunggu supir yang manager Jiyong kirim. Ingat bagaimana para staff memperlakukannya beberapa waktu lalu—saat Jiyong mengenalkannya sebagai kekasihnya—sembari menunggu, Lisa memoles wajahnya. Memastikan dirinya tidak terlihat terlalu berantakan, memastikan ia tidak terlalu buruk di depan rekan-rekan kekasihnya.

Setelah satu jam sejak panggilannya tadi, Lisa tiba di lokasi pemotretan. Gadis itu melambai begitu ia bertemu tatap dengan kelasihnya yang masih berpose di depan kamera. Jiyong sedikit terkejut, namun ia pertahankan profesionalismenya. Pria itu tetap menyelesaikan pekerjaannya, meski harus beberapa kali mengganti pakaiannya, tidak ia hampiri kekasihnya. Membiarkan gadis itu berdiri di sebelah managernya, menunggunya selesai.

"Dia tidak marah padamu," manager Jiyong tiba-tiba berkata. "Konsep hari ini memang begitu, kaku dan datar. Aku yakin dia ingin sekali menghampirimu sekarang, tapi dia menahannya. Dia akan merusak karakternya kalau menemuimu sekarang," susul managernya.

"Apa harusnya aku tidak datang?" tanya Lisa dan pria di sebelahnya menggeleng.

"Tidak, bagus karena kau datang. Dia terus merengek ingin membatalkan jadwalnya besok dan menemuimu," kata sang manager.

"Apa jadwalnya besok?"

"Meeting untuk iklan beer," jawabnya, dan Lisa bertanya apa dia boleh ikut dengan Jiyong untuk jadwalnya yang satu itu. "Kalau kau mau menunggu di mobil saat meetingnya berlangsung, mungkin satu sampai dua jam, kau bisa ikut," katanya setelah menimbang-nimbang.

"Meski harus menunggu di mobil lima jam, aku mau ikut," balas Lisa, menatap manager Jiyong dengan raut seriusnya. Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya barusan, sebab ia ingin menghindari ibunya, yang masih terus mengawasinya. "Kemana pun kalian pergi, ajak aku... Tolong aku, baru dua hari aku jadi Rapunzel, dan rasanya aku sudah hampir gila karena tidak boleh kemana-mana. Rambutku rontok dan seperti ada yang berbisik di telingaku... Kabur Lisa, ayo kabur, pintunya terbuka, ayo kabur—begitu," cerita Lisa, pada manager kekasihnya.

Pemotretan selesai tapi Jiyong tidak langsung menemui kekasihnya. Pria itu memilih untuk pergi ke kamar mandi, mengganti pakaiannya sekaligus menghapus riasannya. Setelah segalanya benar-benar selesai, baru ia temui kekasihnya, langsung memeluk gadis itu, begitu erat hingga Lisa hampir tidak bisa bernafas. Jiyong mengikat gadis itu dengan tangannya, membuat Lisa hanya bisa mematung tanpa membalas pelukannya.

Lisa terkekeh diperlakukan begitu, dengan sedikit ruang gerak yang dimilikinya, ia menepuk-nepuk pinggang Jiyong, meminta pria itu untuk melepaskannya. "Aku sangat merindukanmu," kata Jiyong, yang sejak siang sudah uring-uringan karena tidak bisa menghubungi kekasihnya.

"Aku juga merindukanmu," Lisa membalas ucapan itu, bersamaan dengan lepasnya pelukan Jiyong dari tubuhnya. "Maaf, aku tidak bisa melarikan diri kemarin. Padahal kemarin oppa libur. Aku sudah memohon pada eomma, tapi aku justru dimarahi, katanya kesehatanku lebih penting daripada kekasihku. Katanya oppa pasti akan mengerti," adunya, sembari mengerucutkan bibirnya, cemberut.

"Karena kau jadi Rapunzel, aku jadi dua kali makan malam dengan ayahmu," kata Jiyong yang kemudian mencari handphonenya, menunjukan foto Teo berdiri di tengah-tengah restoran, sedang memunggungi Jiyong. "Aku, ayahmu dan ajudannya, kami makan bertiga di restoran Prancis," lapor Jiyong.

"Kenapa? Untuk apa?"

"Tidak tahu," geleng Jiyong. "Ayahmu mengirimiku pesan—kau sudah makan?— lalu aku jawab belum dan dia membalas lagi—datang lah ke sini. Lalu aku datang dan ayahmu membelikanku steak. Lalu makan malam kedua, dengan managerku dan Geeun noona juga, tapi yang kedua kami tidak sengaja bertemu. Aku mengajak mereka ke restoran itu lagi, karena steaknya enak. Ternyata ayahmu ada di sana, jadi kami makan bersama lagi," ceritanya.

"Kalian membicarakanku?"

"Tidak," geleng Jiyong. "Ayahmu tidak menanyakanmu, tidak menanyakan hubungan kita juga. Kami justru membicarakan calon-calon presiden selanjutnya, masalah umur internasional, lalu apa lagi ya? Ah! Mobil baru, aku akan jadi model untuk mobil baru dan ayahmu tertarik, dia ingin mengganti mobilnya," kata Jiyong.

"Kenapa kalian tidak membicarakanku?"

"Apa yang bisa kami bicarakan tentangmu?" balas Jiyong dan Lisa semakin cemberut. Gadis itu kemudian menoleh, menatap pada manager Jiyong.

"Oppa, apa ini normal? Dia makan bersama ayahku tapi tidak membicarakanku?" keluh gadis itu, pada manager Jiyong yang hanya berdiri di sana namun menaruh fokusnya ke tempat lain. Untuk apa manager Jiyong mendengarkan artisnya bermesraan? Lebih baik ia memastikan jadwal artisnya besok.

"Kemana kau akan pergi malam ini? Besok meetingnya sebelum makan siang. Jam sepuluh sampai selesai," kata manager Jiyong, mengabaikan Lisa yang mengadu padanya.

"Antar aku ke rumahnya," pinta Jiyong, sembari menunjuk Lisa dengan dagunya.

"Tidak boleh, aku tidak mau menerima tamu sepertimu," tolak Lisa, tapi siapa yang peduli? Jiyong tetap datang ke rumahnya, duduk di sofanya dan meminta Lisa untuk memangku kepalanya, mengusap-usap rambutnya juga. "Sepertinya ada yang salah di sini," gumam Lisa, yang mau tidak mau menuruti permintaan Jiyong. Ia bahkan belum mengecek, ayahnya ada di rumah atau tidak.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang