Bagian III : 53

858 139 8
                                        

***

Di mobil, Jiyong berbaring dengan paha Lisa sebagai bantalnya. Supir dan managernya ada di kursi depan, tapi mereka memilih untuk tidak peduli, pada apa yang Jiyong lakukan di belakang. Sembari berbaring, Jiyong memaksa Lisa untuk mengusap-usap rambutnya, dalam perjalanannya menuju lokasi meeting.

"Apa tidak apa-apa meninggalkan orangtuamu?" tanya Jiyong, sembari sesekali mengusap lutut Lisa yang tertutup celana jeans panjang.

Orangtua Lisa sedang bertengkar hebat saat mereka tinggal tadi. Ovkin datang untuk memberi putrinya sarapan, namun karena ada Jiyong di sana, ia harus memberi makan pada Jiyong juga mantan suaminya. Tidak ada yang membicarakan rencana Teo untuk pergi keluar negeri minggu depan, namun berita itu tetap Ovkin ketahui setelah melirik jadwal di layar handphone Teo. Sang ibu kemudian marah. Kesal karena Teo akan pergi ke Rusia sementara putrinya sedang sakit.

Lisa disuruh membawa Jiyong pergi, setelah sang ibu melirik layar handphone suaminya. "Aku ingin bicara berdua dengan ayahmu, kalian berdua pergilah membeli kopi," suruh Ovkin sebelum ia lampiaskan emosinya pada Teo. Baru Lisa menutup pintu rumahnya, suara tamparan terdengar sangat keras dari dalam. Jangankan Jiyong, bahkan Lisa terkejut mendengar suara itu. Ibuku sekuat itu?—Lisa keheranan.

"Mereka sudah bercerai, apa yang lebih buruk daripada itu? Biarkan saja," santai Lisa, yang justru tersenyum sembari menatap keluar.

Baik? Tentu tidak. Lisa hanya berusaha untuk merasa begitu. Orangtuanya bertengkar karenanya, mana mungkin ia bisa baik-baik saja? Meski begitu, Lisa tetap berharap, hubungan orangtuanya akan membaik setelah bertengkar. Kalau saja ia tidak kembali dari pengungsian, orangtuanya tidak akan bertengkar begini—meski tahu kalau ia tidak seharusnya berfikir begitu, pikiran itu tetap muncul di kepalanya. Harusnya ia tetap bersembunyi, entah dimana.

Ia rasakan Jiyong memeluk kakinya, lalu ketika ia menoleh, melihat ke arah pria itu, dilihatnya Jiyong tengah terpejam. "Ini tidak akan menyelesaikan masalah," Jiyong berkata dengan matanya yang tetap terpejam. "Kau mau melarikan diri saja? Denganku?" tanyanya kemudian.

"Kemana?"

"Menikah."

Bukan hanya Lisa yang terkejut. Bahkan dua pria di kursi depan pun sama kagetnya. Karena terkejut, pria yang menyetir mobil itu menginjak pedal remnya. Tiba-tiba berhenti, sedang dirinya menoleh ke belakang bersamaan dengan manager Jiyong di sebelahnya. Kalau Lisa tidak memeganginya, kalau ia juga tidak mengulurkan tangannya untuk berpegangan pada punggung dari kursi depan, Jiyong akan jatuh ke lantai mobilnya.

Suara klakson kemudian bersautan, dari mobil belakang yang kaget karena rem tiba-tiba itu. "Sinting," kata Lisa, memecah keheningan.

Jiyong bergerak duduk setelahnya, "ya! Menyetir yang benar! Kita hampir kecelakaan!" omelnya, namun omelannya tidak berselang lama, sebab Lisa sudah lebih dulu menepuk bagian belakang bahunya.

"Oppa! Ini salahmu!" seru Lisa. "Siapa yang bercanda dengan suara serius begitu! Augh! Jantungku... Aku jadi mual," keluhnya, yang sekarang menepuk-nepuk dadanya sendiri. Mendengar ucapan Lisa, manager serta supir Jiyong menghela nafas mereka. Keduanya merasa lega karena itu hanya candaan. Mobil akan kembali melaju di saat Lisa berkata, "Oppa maaf karena mengejutkanmu, anak nakal ini perlu-"

Namun Jiyong menyela ucapan Lisa.

"Aku serius," potong Jiyong, membuat dua pria di kursi depan kembali menoleh. Manager Jiyong membuka suaranya, bertanya bagian mana dari ucapan Jiyong yang serius.

"Jangan bercanda!" seru Lisa, masih tidak percaya.

"Aku tidak bercanda!" Jiyong balas berteriak.

"Oppa hanya bercanda!"

"Aku tidak bercanda! Kenapa kau yang memutuskannya?!"

"Ini tidak lucu!"

"Tidak ada yang sedang melucu sekarang!"

"Tidak, mereka tidak akan menikah sekarang," kata manager Jiyong, menepuk bahu supirnya, lantas meminta pria itu kembali mengemudi. Sedang ia mengulurkan tangannya untuk menyalakan radio, demi menyamarkan suara dua orang dibelakang.

Tiba di lokasi meeting, Jiyong masuk untuk menyelesaikan urusannya. Sedang Lisa akan menunggu di mobil bersama supir Jiyong. "Oppa-"

"Aku tidak lebih tua darimu," sela supir itu.

"Ah? Sungguh? Lalu siapa namamu?"

"Hyunsuk, Choi Hyunsuk," katanya.

"Ah... Halo Hyunsuk," sapa Lisa. "Di saat begini, kemana kau biasanya pergi? Hanya menunggu di mobil?"

"Biasanya iya, aku tidur di sini sambil menunggunya," angguk Hyunsuk.

"Kau mau tidur sekarang?"

"Kenapa? Noona ingin aku antar ke suatu tempat?"

"Tidak, tidur lah... Aku akan berjalan-jalan di sekitar sini," katanya, yang selanjutnya melangkah keluar meninggalkan mobil itu.

Belum lama Lisa berjalan, handphonenya berdering dan ini panggilan dari kakaknya. Soohyuk menelepon, setelah ia mendengar kabar dari ibunya kalau ayah mereka akan pergi ke Rusia. "Kau baik-baik saja? Melihat eomma dan appa bertengkar?" tanya Soohyuk, menjelaskan alasannya menelepon—khawatir.

"Tidak, aku tidak baik," kata Lisa, lantas mengambil duduk di halte dekat tempat itu. Ada cafe di sebrang jalan, namun Lisa memilih untuk duduk di halte. "Karenaku mereka jadi bertengkar lagi. Harusnya aku tidak usah pulang. Kalau aku tetap tinggal di pengungsian, mereka tidak akan bertengkar. Atau... Kalau aku tidak jadi tentara, mereka tidak begini, iya kan?" pelan Lisa.

"Kau tidak akan jadi tentara kalau mereka tidak bercerai," balas Soohyuk.

"Whoa... Bagaimana oppa tahu?"

"Terlihat sangat jelas. Dulu kau tidak suka olahraga. Meski appa tentara, dia tidak ingin anak-anaknya jadi tentara, kau juga tahu itu. Apa dia pernah membelikan kita pistol mainan? Tidak kan? Bahkan pistol air saja, kita tidak pernah punya."

"Aku baru sadar kita tidak pernah dibelikan pistol mainan," balas Lisa. "Tapi oppa, apa eomma baik-baik saja setelah bertengkar pagi ini? Aku pergi dengan Jiyong oppa saat mereka bertengkar," tanyanya kemudian.

"Eomma terlihat kesal, tapi tidak seburuk sebelumnya. Sepertinya dia mulai kembali sadar sekarang. Kemarin dia kalut karena melihatmu di toilet. Kau tahu kalau kau sakit, kenapa tidak membawa obatmu di acara begitu? Bodoh," katanya. Tentu Lisa memprotes, berkata kalau ia membawa obatnya, tapi obat itu jatuh di bioskop.

Gadis itu juga memberitahu Soohyuk, jika sebenarnya suara Jiyong jauh lebih berguna daripada obatnya. Lisa beritahu kakaknya, kalau suara Jiyong berteriak dengan sweater kuning di YouTube, bereaksi lebih cepat daripada obat yang dokter berikan. Mendengar itu, Soohyuk menolak untuk percaya. Alih-alih percaya, pria itu justru meledek adiknya. Menyebut adiknya aneh, "seperti anak yang tidak pernah berkencan saja," begitu katanya. Mungkin Soohyuk tidak tahu, kalau adiknya memang tidak pernah berkencan sebelumnya.

"Tapi oppa... Apa oppa juga merasa begini? Semua yang Naeun eonni lakukan padamu, berefek dua kali lebih besar dari pada kalau hal itu dilakukan orang lain? Saat Naeun eonni membuatmu senang, rasanya dua kali lebih menyenangkan daripada seharusnya, saat dia membuatmu sedih, rasanya juga jadi dua kali lebih menyedihkan, kau merasa seperti ini?"

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Jiyong oppa begitu. Saat dia membuatku senang, aku senang sekali. Sangat senang, jauh di atas normal. Saat dia membuatku sedih, rasanya juga begitu. Sakit sekali."

"Kau bertengkar dengannya?"

"Belum," pelan Lisa, menggambarkan keraguan dalam suaranya. "Aku rasa sebentar lagi. Jiyong oppa mengajakku menikah, tapi appa tidak akan setuju. Appa tidak ingin aku menikah."

***
Bentar lagi tamat! Yey! Hore!
Tapi abis itu aku galau karena ga punya ide cerita baru...

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang