Bagian II : 29

903 152 3
                                    

***

Sebanyak ia mencintai keluarganya, sebanyak itu juga Lalisa Kim membenci mereka. Lisa tidak tahu, sedari kapan perasaan itu tumbuh. Mungkin sejak ayahnya hampir tidak pernah pulang sepanjang tahun. Mungkin juga sejak ibunya mulai sibuk mengurusi karir modeling kakaknya.

Di rumah besar itu, Lalisa merasa hidup seorang diri. Ayahnya hampir tidak pernah ada di rumah, sedang ibu dan kakaknya punya banyak hal yang hanya mereka bagi berdua. Dirinya tidak terlihat—begitu yang dirasakannya. Ia berdiri di baris paling belakang, merasa tidak terikat pada siapapun di depannya. Dan perasaan itu jadi terasa semakin menyakitkan ketika keluarganya berdiri di persimpangan. Ayah ibunya bercerai, tanpa melibatkannya. Tanpa menanyakan perasaannya.

Pagi hari setelahnya, gadis itu bangun dari tidurnya. Setelah lelah menangis hampir sepanjang malam, akhirnya ia terlelap dan baru bangun beberapa jam setelahnya. Begitu membuka pintu kamarnya, gadis itu sedikit terkejut, sebab melihat G Dragon ada di depannya, akan mengetuk pintu kamarnya. "Bukankah oppa sudah pulang semalam?" tanya Lisa, bergerak mundur untuk menjaga jarak dari pria itu.

"Bagaimana bisa pulang kalau kau menangis semalaman?" komentar Jiyong, yang kemudian menunjuk meja makan dengan ibu jarinya. "Makan lah, kau pasti lapar karena menangis sepanjang malam. Sudah aku buatkan roti panggang," susulnya.

"Kenapa? Oppa mengkhawatirkanku?"

"Mana mungkin tidak?" katanya, yang kini melangkah kembali ke sofa. "Handphonemu tidak bisa diperbaiki, beli saja yang baru," susul pria itu.

"Oppa tidak makan pagi? Makan lah bersamaku," pinta Lisa, yang kini melangkah ke meja makan, melihat dua piring berisi masing-masing dua potong roti tawar yang sudah dipanggang kecoklatan. "Oppa! Kemarilah!" serunya, sebab Jiyong tetap duduk di sofa.

Jiyong tidak menanggapinya. Pria itu sibuk dengan handphonenya di ruang tengah hingga Lisa membawa dua piring roti panggangnya ke sana. "Oppa tidak ingin makan bersamaku?" tanyanya, jelas membuat Jiyong menoleh dan menatapnya.

"Apa?"

"Apa yang oppa lakukan di sini? Tidak makan?"

"Membalas pesan oppamu, kenapa?" jawab pria itu, lantas ia ulurkan tangannya. Meraih sepiring roti panggang yang Lisa bawa. "Bawa ke sini selainya, aku ingin selai kacang," suruhnya kemudian.

"Tidak ada-"

"Ada."

Sembari membawa piringnya, Lalisa kembali ke dapur. Mencari selai kacang di sana. Ia merasa tidak pernah membeli selai itu, namun nyatanya, di lemari esnya ada sebotol selai kacang yang belum di buka. Ia mengecek tanggal kadaluarsa di botol itu, dan selai kacangnya akan kadaluarsa dalam satu minggu.

"Sejak kapan selai ini ada di sana?" tanyanya, yang kemudian menggerutu karena Jiyong lagi-lagi mengabaikannya. Pria itu fokus pada handphonenya dan terus begitu, mengabaikannya sepanjang hari sampai akhirnya ia berpamitan untuk pergi.

Sepanjang kebersamaan mereka, Lisa tidak bisa benar-benar memahami pria itu. Untuk apa dia kesini? Dia bahkan tidak mengajakku bicara. Apa dia marah padaku? Karena masalah semalam? Atau dia sedang mengawasiku? Apa orang ini sekarang mata-mata ganda? Yang Soohyuk oppa kirim untuk mengawasiku?—Lisa terus memikirkan kemungkinan-kemungkinannya, namun ia tidak menemukan satu yang memuaskannya.

"Aku pergi," pamit Jiyong, yang diantar sampai ke pintu sebab Lisa tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan.

"Oppa," gadis itu memanggilnya, menahan Kwon Jiyong agar tidak langsung pergi dari sana. "Karena sudah sejauh ini, boleh aku minta tolong satu hal?" tanyanya kemudian.

"Apa? Kau butuh lebih banyak uang?"

'Tidak! Tidak!" di pintu depan, tepat sebelum Jiyong keluar, Lisa menggelengkan kepalanya. "Uhm... Aku ingin minta tolong, kalau oppa ingin datang, bisakah oppa memberitahuku dulu? Telpon atau kirimi aku pesan—Lisa-ya, oppa akan ke sana, jangan kemana-mana—seperti itu," pintanya.

"Bagaimana? Kau tidak punya handphone. Kau akan mengaktifkan lagi handphonemu?"

"Aku akan membelinya hari ini," katanya.

"Sekarang? Sekarang sudah jam sembilan malam."

"Bagaimana pun caranya, aku akan mengusahakannya. Please... Hubungi aku dulu kalau ingin datang ke sini, ya?"

"Tapi tempat ini milikku. Aku harus minta izinmu untuk datang ke rumahku sendiri?"

"Tidak," Lisa menurunkan nada bicaranya, menarik bagian terakhir ucapannya, membuat kesan merengek menggemaskan. Membuat Jiyong harus sedikit berusaha agar tidak tersenyum di sana. "Bukan minta izin, hanya pemberitahuan. Dengan begitu, aku bisa menyiapkan sesuatu sebelum oppa datang. Aku malu karena oppa selalu melihat apa yang seharusnya tidak oppa lihat," tunduk gadis itu, dengan suara yang kini berbisik.

Lisa tidak ingin berkata—beritahu aku kalau oppa ingin datang, jadi aku punya waktu untuk berdandan—namun apapun yang keluar dari mulutnya, gadis itu merasa penjelasan darinya akan selalu terdengar begitu.

"Baiklah," Jiyong mengangguk. "Sudah? Tidak ada lainnya?"

"Hm... Berjanjilah, oppa tidak akan datang tiba-tiba lagi," pintanya dan sekali lagi pria itu menganggukan kepalanya. "Oh! Kemana oppa akan bekerja sekarang? Agensi?" tanyanya, setelah seharian ini ia hanya berani melirik pria itu dari samping, atau dari belakang.

"Besok pagi sudah harus di Tokyo," jawab Jiyong.

"Kapan oppa kembali?"

"Mungkin lusa."

"Lusa oppa akan mengunjungiku?"

"Hm... Entahlah, lihat nanti."

"Baiklah, hati-hati di perjalanan," angguk Lisa yang akhirnya melambai. Kali ini ia biarkan pemilik rumah itu pergi. Lisa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Kwon Jiyong yang dengan santai melangkah masuk kemudian menghilang di dalam lift. 

Tiba di mobil, tawa pria itu pecah. Senyum mengembang sempurna di wajahnya. Bak baru saja menelan sebungkus baking soda. Melihat wajah manis gadis itu, membuatnya lupa akan pembicaraan mereka semalam. Sembari mengemudi, ia membayangkan dirinya berkata—Lisa-ya, oppa akan ke sana, kau ada di rumah?—membuat dadanya merasa tergelitik. Ketika saat itu tiba, saat ia akan berkunjung, mampukah dirinya mengatakan itu? Mengabari Lisa sebelum datang, terlebih dengan kalimat manis begitu? Jiyong ragu dirinya sanggup.

Malam itu, ia bertemu dengan managernya di agensi. Berjanji untuk pergi ke bandara dengan mobil yang sudah agensi siapkan. Tiba di agensi, pria pertama yang ia temui adalah Soohyuk. Pria itu baru saja sampai di mobilnya ketika Jiyong melangkah turun. "Ya! Kwon Ji!" Soohyuk menegurnya.

"Oh, ada apa?" balas Jiyong, lantas melangkah menghampiri teman dekatnya itu. "Kau baru selesai bermain? Atau ada jadwal? Kenapa ke sini?" tanyanya kemudian.

"Tanda tangan kontrak-"

"Kontrakmu di sini sudah selesai? Kau baru memperpanjangnya?"

"Tidak," geleng Soohyuk. "Kontrak drama," susulnya. "Kemana saja kau seharian ini? Managermu bilang kau tidak punya jadwal apapun."

"Rumah."

"Kau tidak di rumah tadi."

"Rumah yang lain," santainya, tetap tersenyum sebab wajah malu-malu adik dari pria di depannya itu terus muncul dalam ingatannya.

"Apa kau sudah mengencani wanita lain? Kau tinggal dengan wanita itu?" tebak Soohyuk dan Jiyong menggelengkan kepalanya. Mengaku kalau ia hanya sedang mengerjakan lagunya di rumahnya yang lain, yang sepi tanpa tamu, salah satu rumahnya yang cocok untuk menyendiri. "Lucu sekali kau berusaha membohongiku. Kau berkencan, benar-benar berkencan. Hati-hati, jangan sampai meninggalkan bekas. Jangan sampai diselingkuhi juga," cibir Soohyuk, tidak mempercayai jawaban klise temannya itu.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang