Bagian II : 22

821 147 4
                                    

***

Sudah lebih dari satu tahun sejak Kwon Jiyong di bebas tugaskan dari wajib militernya. Ia sudah lama kembali pada kehidupan normalnya. Mengerjakan musiknya, memakai pakaian-pakaian nyentrik lalu difoto, menghadirkan acara-acara fashion dan bercengkrama lagi dengan rekan-rekan kerjanya. Dan pastinya... terlibat skandal.

Hari ini, pria itu sibuk menghadiri pameran seni. Berfoto dengan karya seni yang dipamerkan, lalu mengunggahnya. Tersenyum, berbincang dengan orang-orang yang dikenalinya dalam acara itu. Ia datang sedikit terlambat dalam pameran itu. Ia datang setelah matahari terbenam, selepas ia isi perutnya dengan makan malam.

Kira-kira saat itu pukul sembilan. Sebentar lagi pamerannya ditutup, dan after party-nya akan diadakan. Makan malam sembari menyesap beberapa wine mahal. Jiyong tidak keberatan untuk menghadiri after party itu. Ia senang menghadirinya, berpesta, bercengkrama dengan orang-orang yang dikenalnya, meski akan sedikit melelahkan. Meski ia belum tentu menyukai semua orang yang hadir dalam acara itu.

Di tengah-tengah sibuknya ia melihat karya seni dalam galeri itu, handphonenya bergetar. Benda itu tengah ia genggam, maka dilihatnya tulisan dalam layarnya. Ia hanya berencana melihat, lalu menolak panggilannya, profesionalisme-begitu maksudnya. Namun, saat dilihatnya tulisan, "Lalisa Kim is calling..." ia menautkan alisnya dan buru-buru menjawab telepon itu.

Lalisa Kim harusnya ada di medan perang sekarang. Dengan gugup, Jiyong jawab panggilan itu. "Halo-"

"Oppa, tolong aku," belum sempat Kwon Jiyong menyelesaikan ucapannya, Lalisa yang menelepon sudah lebih dulu menyelanya.

Suaranya terdengar begitu lemah. Bisa Jiyong rasakan getar dalam suara gadis itu. "Tolong aku, aku mohon," katanya, lalu terisak.

"Di mana kau sekarang? Aku akan ke sana," Kwon Jiyong menjawabnya. Jelas... ia merasa sangat khawatir sekarang.

"Pelabuhan," katanya. "Jemput aku... Datanglah sendirian," pintanya kemudian.

Sejurus kemudian, Kwon Jiyong tiba di pelabuhan. Butuh hampir dua jam untuknya mengemudi sampai ke sana. Bahkan setelah tiba di sana, pria itu harus berkeliling, memakai topinya dan berlari mencari gadis yang meneleponnya tadi. Jiyong bersumpah, ia akan memukul Lisa kalau gadis itu ternyata hanya menjahilinya. Setengah dirinya yakin kalau Lisa sedang benar-benar butuh bantuan, namun setengah lainnya berharap Lisa hanya sedang menjahilinya.

Namun ketika ia temukan gadis itu, Jiyong tahu Lisa tidak sedang berusaha menjahilinya. Malam itu bunyi klakson dari kapal-kapal nelayan berbunyi, bersahut-sahutan, memberi tanda kalau mereka akan pergi meninggalkan teluk. Akan berlayar menjauhi pelabuhan.

Bunyinya bising, membuat Lisa tidak bisa mendengar kalau seseorang memanggilnya. Bunyinya bising, membuat Jiyong menatap curiga pada gadis yang akhirnya ia temukan. Lalisa ada di sudut, tepat di sebelah gudang ikan. Ia duduk di sana, dengan lutut tertekuk, dan kepala yang disembunyikan dalam ceruk kedua lututnya. Kedua tangannya memegangi kepalanya, menutup telinganya dengan tubuh yang bergetar hebat. Gadis itu gemetar, mungkin kedinginan-nilai Jiyong-meski Lisa terlihat sudah mengenakan jaket tebalnya.

"Ya! Lalisa!" seru Jiyong, berjalan mendekat namun suara teriakannya justru membuat Lisa bergerak mundur. Merangkak semakin ke sudut, sampai punggungnya membentur dinding.

"Ya! Ada apa-"

"Jangan berteriak!" potong Lisa, membentak lebih keras daripada yang Jiyong lakukan.

Tidak ada siapapun di sana. Lisa sendirian, dan ketika Jiyong kebingungan, melihat ke sekeliling, sembari berlutut mendekati gadis itu, Lisa menghela nafasnya. Berkali-kali ia menghela dan menarik lagi nafasnya, sedang berusaha menenangkan dirinya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya.

"Ya," angguknya. "Selama oppa tidak berteriak," susulnya, lepas ia mendapatkan lagi ritme nafasnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau ada di sini?" heran Jiyong kemudian, tetap sembari memperhatikan gadis di depannya. Mengulurkan tangannya, mendorong ke belakang helai-helai rambut yang berantakan di wajah Lisa.

Gadis itu mengenakan sebuah jaket tebal yang lusuh, dengan kaus cokelat juga celana jeans yang kotor. Tubuhnya berkeringat, wajahnya kotor dan rambutnya berminyak. Melihat penampilannya, Jiyong menduga gadis itu tidak mandi setidaknya dua minggu. Namun alih-alih menganggap itu penting, Jiyong lebih penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Penasaran kenapa Lisa berada di sana. Penasaran kenapa Lisa kelihatan sangat berantakan. Penasaran kenapa gadis itu kelihatan sangat sakit.

"Oppa, datang sendirian, 'kan?" tanya Lisa, yang kini meraba-raba tanah, mencari handphonenya kemudian mematikannya lagi.

"Hm... Aku datang sendirian, apa yang terjadi? Kenapa kau ada di tempat gelap ini?" tanya Jiyong, terus mendesak sementara nafas Lisa kembali memburu setelah sekali lagi terdengar suara bising dari klakson kapal nelayan.

Atas permintaan Lisa, Jiyong membawa gadis itu ke Galleria Foret, rumah lama yang sudah bertahun-tahun tidak ditinggalinya. Rumah itu sudah beberapa kali ia sewakan, dan jika berhasil bersepakat, bulan depan rumah itu akan ia sewakan pada orang lain lagi. Tiba di sana, ia membantu Lisa yang kesulitan berjalan untuk duduk di ruang tengah.

"Aku ingin mandi, tapi lapar," kata Lisa setelah ia duduk di sana. Setelah, sepanjang perjalanan tadi ia terlelap dalam mobil Jiyong.

"Mau aku siapkan air hangat?" tawar Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. Ia mau mandi air hangat.

Kwon Jiyong melangkah pergi ke kamar utama. Menyalakan kran air hangat di atas bath tub dalam kamar mandinya. Sembari menunggu airnya penuh, ia melangkah ke lemari pakaiannya, berharap menemukan pakaian di sana namun hasilnya sia-sia. Tidak ada pakaian apapun di sana, bahkan bathrobe dan handuk pun tidak ada. Sabun juga bath bomb juga tidak berhasil ia temukan.

"Tunggu sebentar di sini, aku carikan sabun di mobil," kata Jiyong, ia melangkah keluar dari kamar utama, melihat Lisa yang menganggukan kepalanya lalu berlari kecil kembali ke mobilnya.

Beruntung di dalam mobil itu ada kopernya, yang rencananya akan ia bawa besok siang ke bandara. Ia akan terbang ke Paris besok siang. Sembari menyeret kopernya kembali ke unit apartemennya, ia menelepon managernya. Meminta pria yang menjawab teleponnya untuk mengantar makanan ke Galleria Foret. "Jangan menanyakan apapun, bawakan saja makanan untukku, di Galleria Foret. Letakan makanannya di depan pintu, jangan masuk, jangan menekan bel atau mengetuk pintu juga, kirimi aku pesan kalau kau sudah menaruh makanannya di depan pintu. Aku benar-benar minta tolong, lakukan itu untukku- ah! dan batalkan juga jadwal untuk besok," pinta Jiyong, sebelum ia mengakhiri teleponnya.

Dengan perlengkapan mandi seadanya, Lisa bisa mandi sekarang. Sebentar berendam dalam air hangat. Dengan memakai pakaian G Dragon, gadis itu keluar dari kamar utama. Rambutnya masih basah namun tidak ia gelung dengan handuk, tidak juga ia keringkan dengan hair dryer. Ia biarkan basah rambutnya membasahi handuk yang tersampir di bahunya.

Kini, Jiyong bisa melihat dengan jelas, luka memar di bahu Lisa, beberapa garis lecet di wajahnya, dan tangan gadis itu yang kasar penuh luka. Nafas Jiyong tercekat ketika melihatnya. Dadanya terasa begitu nyeri, meski tubuhnya sama sekali tidak terluka. Bahkan ketika masa latihannya di kamp militer, ia tidak pernah terluka separah itu.

"Tidak," kata Lisa, masih dengan suaranya yang lemah. "Aku tidak melarikan diri dari tugas. Aku sudah dibebas tugaskan," susulnya.

"Kau bisa menceritakannya nanti, sekarang, makanlah dulu," jawab Jiyong, sembari menunjuk meja makan yang sudah ia isi dengan beberapa makanan dari managernya.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang