Bagian I : 17

1K 163 2
                                    

***

Hatinya patah dan hanya Lisa yang bisa dilihatnya. Tentu selain segerombol pria yang setiap sore mandi bersamanya. Tidak setiap hari Jiyong bertemu dengan gadis itu, terlebih setelah proses pelatihannya selesai. Kini ia sudah diberi tugas, sedang prajurit baru berdatangan, menggantikan posisinya untuk berlatih.

Setiap pagi, Jiyong dan regunya masih harus lari pagi, olahraga pagi sampai di jam sarapan pagi. Selanjutnya mereka bekerja, sebagian menjaga perbatasan, sebagian menjaga pintu barak, pintu gedung utama, atau gerbang depan kamp pelatihan itu. Sebagian lainnya bekerja di ruang makan, lalu ada juga yang membersihkan seluruh sudut kamp militer itu. Kadang Jiyong heran, hanya untuk membersihkan lapangan, ia harus berlatih mengangkat senjata.

Mereka yang diberi tugas jaga malam, punya waktu senggang di siang hari. Biasanya dipakai untuk tidur, namun sebagian lainnya juga duduk-duduk di ruang makan, menikmati kopi instan dari mesin kopinya. Kini mereka bekerja, dibayar, bukan lagi berlatih seperti dulu. Para atasan pun tidak sekejam sebelumnya, di ruang makan mereka bisa bercanda dan menyapa para senior, Sersan, Pembantu Letnan bahkan Letnan itu sendiri.

Hirarki tetap berlaku, namun tidak seketat sebelumnya. Kasarnya, sekarang para senior sudah melihat mereka sebagai manusia, bukan lagi seonggok tanah liat yang perlu dibentuk jadi boneka manusia. Dan lucunya, Jiyong juga prajurit-prajurit seangkatannya, tanpa sadar memperlakukan junior mereka dengan sama persis, seperti mereka dulu diperlakukan.

Baru satu minggu Jiyong bekerja, pria itu sudah besar kepala. Bersama teman-temannya, ia menertawakan para prajurit baru yang tersiksa dengan latihan mereka. Terkekeh ketika melihat seorang prajurit menangis kelelahan sembari menghabiskan makan siangnya di ruang makan.

"Jadwalku hari ini membersihkan taman," kata Jiyong, sembari memakai sepatu beratnya. "Apa jadwalmu hari ini?" katanya, balas bertanya pada Im Siwan yang terus tidur di sebelahnya.

"Wah... Jarang sekali bisa melihat G Dragon bersih-bersih," kata tentara lain dalam regu itu. Lantas terkekeh, menertawakan ucapannya sendiri.

"Jangan hanya melihat, bantu aku juga," komentar Jiyong.

"Aku harus membersihkan ruang latihan," jawab Im Siwan. "Tempat gym dan boxing area," susulnya.

"Oh! Kemarin aku membersihkan tempat itu dan Letnan Kim ada di sana," kata Jihoon, bergabung dalam obrolan pagi yang menyenangkan itu. Hanya ada mereka berempat dalam barak, sebab prajurit lainnya masih mandi di ujung lorong. "Sebelumnya aku meragukannya, Yoseob hyung bilang dia putri Jendral Kim. Aku pikir dia jadi tentara karena ayahnya, hanya untuk main-main, berlaga tegas saat mengajar. Tapi saat melihatnya berlatih... Whoa! Keren sekali! Tubuhnya ramping dan gerakannya... Aku pikir dia menari, gerakannya cepat dan halus sekali... Kalau Letnan Kim merekam acara seperti latihan bela diri di YouTube atau sejenisnya, dia pasti terkenal," ocehnya.

Tiga pria di depannya-di ranjang mereka masing-masing-mendengarkan cerita itu. Menatap serius pada Jihoon, memasang telinga mereka. "Lalu, yang paling mendebarkan... Kalian tahu rak sarung tinju di boxing area, iya kan? Raknya ada di lantai, yang pendek hanya sepinggang itu?" tanyanya, dan tentu saja ketiga pendengarnya mengetahui rak itu. "Aku tidak tahu, rak itu harus dibersihkan atau tidak. Aku pikir raknya juga perlu dibersihkan, jadi aku membuka raknya lalu mengeluarkan sarung tinjunya. Aku memasukan sedikit kepalaku ke rak, sampai sampai di bagian dahi, karena ingin mengelap bagian dalam rak itu. Saat aku melakukannya, letnan Kim baru saja selesai dengan latihannya. Dia mendekatiku untuk mengembalikan sarung tinjunya, dan saat aku gugup, hampir membenturkan kepalaku ke rak itu, Letnan Kim menyentuh raknya. Dia memegangi raknya dan melindungi dahiku! Dahiku tidak membentur rak kayu itu tapi membentur tangannya!"

"Lalu? Setelah itu? Apa yang Letnan Kim katakan?" Im Siwan luar biasa penasaran, dua lainnya pun sama, namun mereka tidak banyak bicara sepertinya.

"Tidak ada," kata Jihoon. "Dia berlaga tidak terjadi apapun dan pergi keluar dari boxing area-terima kasih sudah membersihkan tempat ini-hanya itu yang dikatakannya," susulnya, mengakhiri cerita itu.

"Apa Letnan Kim latihan setiap hari?" tanya Siwan kemudian. "Dia pasti latihan juga kan hari ini?" tambahnya, sebab hari ini ia yang bertugas membersihkan tempat itu.

"Entahlah, aku tidak melihat mobilnya saat pulang lari pagi tadi," geleng Jihoon. "Semoga hari ini dia makan di ruang makan, aku bertugas di sana hari ini," katanya kemudian.

Im Siwan kemudian mengeluh, berharap ia bisa bertemu Letnan Kim setidaknya dua hari sekali. "Aku khawatir akan lupa bagaimana bentuk wanita itu karena terus dikelilingi pria-pria seperti kalian. Aku harus terus melihat Letnan Kim agar tetap waras," susulnya, membuat tiga rekannya berdecak, mengatai Siwan sebagai seorang lajang sedari lahir yang sangat berlebihan. "Ya! Enak saja! Aku pernah berkencan!" protes Siwan, enggan dianggap lajang sedari lahir karena ia pernah mengencani beberapa perempuan secara online.

"Ya ya ya, anggap saja begitu," komentar Jiyong, ia tepuk bahu Siwan lantas mulai bangkit untuk melangkah ke tempat kerjanya hari ini. Berkebun, jauh lebih baik daripada jaga malam-pikir Jiyong.

"Tsk... Padahal di gedung administrasi dan kesehatan, ada banyak tentara wanita," komentar Jihoon. "Bilang saja kalau hyung menyukai Letnan Kim," susulnya kemudian, mengekor pada Jiyong untuk pergi mengerjakan tugasnya juga.

Di jam makan siang, setelah lelah berkebun, Jiyong melangkah masuk ke ruang makan. Ia mengangkat tangannya, menyapa beberapa kenalannya di sana. Pria-pria dari regu lain. Pria itu tersenyum, melangkah mendekat pada meja berisi nampan makanan, mengambil nampannya lalu ikut mengantri untuk makan siangnya. Kini ia sudah beradaptasi dengan wajib militer yang dulu dianggapnya sangat mengerikan.

Selesai makan, pria itu pergi ke mesin kopi. Memasukan koin ke lubangnya, lantas menunggu kopi instannya keluar dari sana. Jiyong masih berdiri, ketika sepasang kaki berdiri di sebelahnya. "Belikan untukku juga," pemilik kaki itu bersuara, suaranya pelan dan lembut sekali, ketika masuk ke telinga Jiyong.

Lantas ia menoleh, melihat Lisa dengan wajah sebalnya. Berdiri di sebelah Jiyong, tanpa melihat ke arahnya. Bola matanya di putar, melirik ke arah Jiyong, lantas suara helaan nafasnya terdengar. "Ada apa?" tanya Jiyong, dengan suara yang juga pelan. Ada beberapa tentara di sekitar mereka, berdiri setelah mendapatkan kopi mereka. Menikmati cairan hangat yang manis itu sembari berbincang dan menghisap tembakaunya.

"Appa menyebalkan," jawab Lisa. "Thank you," susulnya, ketika Jiyong mengulurkan kopi yang seharusnya jadi miliknya. Pria itu memasukan koin lainnya sekarang, menunggu segelas kopi lainnya.

"Masih belum berhasil?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.

"Padahal waktunya sudah dekat, kurang satu bulan lagi," ucap Lisa.

"Satu bulan lagi kau akan pergi keluar negeri?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng.

"Tidak," bantahnya. "Aku diberi waktu enam bulan untuk membujuk ayahku. Kalau gagal, aku batal direkrut," jawabnya.

"Tidak ada plan B?" tanya Jiyong, kali ini sembari melangkah menjauhi mesin kopi. Agar mereka tidak menghalangi seseorang yang juga ingin minum kopi.

"Ada."

"Apa?"

"Melarikan diri," kata Lisa.

"Gila."

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang