Bagian I : 12

1K 177 3
                                    

***

Di pagi hari setelahnya, Lisa baru muncul. Gadis itu memakai seragamnya, sama seperti Jiyong. Tanpa masuk ke dalam barak, Lisa menunggu Jiyong di depan bangunan itu, dengan mobilnya. Jiyong kemudian datang dengan alat bantunya, sedang barak terasa sangat sepi karena para prajuritnya sudah pergi berlatih.

Tanpa mengeluarkan suara apapun, Lisa menyuruh Jiyong untuk segera masuk ke mobilnya, lantas mereka mengemudi keluar dari markas militer itu. "Oppa, kita mampir ke rumahku sebentar ya? Aku belum mandi sejak kemarin," kata Lisa, sesekali menguap.

"Apa yang kau lakukan sepanjang malam? Kau tidak jadi menyentuh kelincimu," tanya Jiyong, duduk manis di sebelah gadis yang kini membawanya ke rumah sakit.

"Pergi dengan seragam atau ganti baju dulu? Mana yang lebih aman untukmu, oppa?" tanya Lisa, tidak menjawab pertanyaan pria di sebelahnya. Secara tidak langsung, ia katakan kalau ia tidak ingin menjawabnya. Tidak menjawab, juga bisa diartikan sebagai sebuah jawaban. Di atas sebuah piano yang ada di taman, ditulis-jeda sunyi diantara nada, sama pentingnya dengan nada itu sendiri.

"Aku tidak punya baju ganti," kata Jiyong. "Jangan pulang ke rumahku, ibuku akan khawatir," susulnya.

"Ada baju Soohyuk oppa di rumahku, yang tempo hari aku pinjam."

"Itu bajuku."

"Huh?"

"Soohyuk meminjam bajuku dan dia meminjamkan baju itu padamu," ucapnya.

Mereka tiba di rumah Lisa setelah mengemudi sekitar lima belas menit. Jalanan sepi, padahal matahari sudah lama bersinar. Padahal di kota, di jam yang sama, jalanan akan penuh dengan orang-orang yang akan pergi bekerja, atau sekolah. Kompleks apartemen itu tidak seberapa luas, ada tiga gedung di sana dan Lisa tinggal di gedung nomor tiga, di lantai tiga juga di unit nomor tiga. Awalnya Lisa tidak sengaja memilih tempat itu, namun lama kelamaan, ia menyukainya-333.

Jiyong dipersilahkan masuk. Menunggu di dalam apartemen itu daripada harus menunggu di tempat parkir. "Aku belum sempat merapikan tempat ini, jadi tolong maklum," kata Lisa, mempersilahkan Jiyong masuk dan duduk di sofa. Apartemen itu punya dua kamar tidur. Namun hanya ada satu kamar yang penuh barang-barang. Sedang kamar lainnya hanya punya sebuah ranjang dan sebuah nakas. Nakas yang bahkan belum dikeluarkan dari kotak kardusnya. Nakas itu di letakan di sebelah ranjang, masih di dalam kotaknya dan Lisa menaruh jam wekernya juga lampu tidurnya di sana. Memang fungsi nakas itu untuk menaruh barang-barang itu, namun bukankah Lisa seharusnya membuka kotaknya lebih dulu?

Jiyong berkeliling, melihat-lihat rumah yang baru beberapa bulan itu Lisa tempati. Sedang pemilik rumahnya pergi mandi. "Aa! Perih! Augh! Sialan! Aa!" dari dalam kamar mandi, Jiyong bisa mendengar suara gadis itu berteriak, lalu merengek, disusul beberapa umpatan dan rengekan lainnya. Setelah keluar, mata gadis itu merah, dengan tubuh yang gemetar. Ia keluar dengan celana pendeknya yang ketat, juga memakai kaus hitam yang pas di tubuhnya, tidak terlalu ketat tapi juga tidak kebesaran.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jiyong, dan Lisa menggelengkan kepalanya.

"Aku menyesal pergi mandi," katanya, dengan mata yang merah, seperti seorang yang baru saja menangis hebat di kamar mandinya. Gadis itu kemudian berbalik, mengangkat bajunya, menunjukan punggungnya, juga menggulung lengan kaus pendeknya, menunjukan bahunya. Ada luka memar di sana, merah keunguan dengan beberapa luka berdarah. "Sakit sekali," serunya kemudian, dengan suara merengek yang tidak ia buat-buat.

Gadis di depan Jiyong sekarang bukanlah Letnan Kim yang tangguh. Ia Lalisa, si adik kecil manja yang akan merengek meski tangannya hanya tergores kertas. Tentu Jiyong mendekat, bertanya apa yang terjadi. "Semalam aku pergi minum dengan Kapten Kim, lalu ketahuan appa dan dimarahi-" cerita Lisa.

"Appamu yang melukaimu?!"

"Tidak, bukan! Tidak begitu," buru-buru gadis itu membantah Jiyong. "Appa tidak suka aku pergi dengan Kapten Kim, lalu dia ikut bergabung di meja kami. Kemudian mereka berdua mulai berdebat, mulai bertengkar. Tidak saling pukul, hanya berisik. Dan orang mabuk di meja sebelah marah, langsung melempar botol ke arah kami dan kena bahuku. Pecahannya juga kena wajah Kapten Kim. Setelah itu keadaannya jadi kacau. Appa dan Kapten Kim seperti baru saja dapat kesempatan untuk melampiaskan emosi mereka. Aku hampir tidak bisa mengirim mereka pulang."

"Lalu luka yang dipunggung?"

"Tidak sengaja dipukul appa?" bingung Lisa. "Tidak benar-benar dipukul dan aku tidak berdaya. Appa mabuk, aku juga mabuk. Lalu aku menantang appaku-kalau aku bisa mengalahkanmu, izinkan aku pergi-kurang lebih aku bilang begitu dan aku kalah. Tiga babak dan kalah telak," cerita Lisa. "Tapi jangan beritahu oppaku, apalagi ibuku. Mereka akan marah. Tidak, jangan beritahu siapapun, semua orang akan salah paham nanti," geleng Lisa.

Jiyong berdecak, menghela nafasnya. Sekali lagi ia bertanya, "apa yang sebenarnya kau minta dari ayahmu? Sampai dia bersikap begitu? Bukankah ayahmu sangat memanjakanmu?" tanya Jiyong, sembari menunduk untuk mengambil kotak obat di rak, di sebelah pintu kamar mandi. "Duduk, aku obati punggungmu," suruh Jiyong kemudian.

"Kapten Kim mengajakku masuk pasukan khusus," cerita Lisa, yang selanjutnya menuruti Jiyong untuk duduk di sofa. Bersedia di obati oleh pria itu. Meski sebenarnya, ia akan mengobati lukanya nanti di rumah sakit, sekalian menunggu Jiyong selesai diperiksa.

"Dan kenapa appamu tidak setuju?"

"Aku akan bekerja diluar negeri," jawab Lisa.

"Seperti yang dulu appamu lakukan?" tanya Jiyong, kali ini sembari memberi beberapa oles salep luka ke punggung juga bahu Lisa.

"Aaa... Sakit, pelan-pelan, perih!" seru Lisa.

"Jangan berlaga cengeng," komentar Jiyong. "Kau seperti berkepribadian ganda, tahu?" susulnya, membuat Lisa langsung berdecak, berdiri kemudian menatap sebal pada Jiyong. "Belum selesai, duduk," perintah Jiyong, memaksa gadis itu untuk duduk lagi di depannya.

"Sebenarnya apa yang aku lihat darinya, menyebalkan," gerutu Lisa. Pelan, namun bisa Jiyong dengar. Pelan dan pria yang mendengarnya, berpura-pura tidak menyadari apapun. Sampai akhirnya Lisa kembali memakai seragamnya-yang bersih-dan mengajak Jiyong untuk segera pergi ke rumah sakit.

Dalam perjalanan mereka, sekali lagi Lisa bertanya. "Ini satu-satunya perlakuan khusus yang bisa aku berikan," kata Lisa. "Oppa ingin diperiksa di rumah sakit militer, atau di rumah sakit biasanya oppa di rawat? Oppa punya dokter pribadi kan?" tanyanya, sembari mengemudi. Tangannya bergerak dengan santai, seolah tidak pernah terluka sebelumnya.

"Tidak apa-apa kalau aku pergi ke rumah sakit biasanya?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.

"Tidak apa-apa, karena aku juga perlu mengobati lukaku. Jangan sampai berbekas. Nanti aku tidak bisa pakai cropped top lagi," jawabnya, sekali lagi membuat Jiyong berdecak. Kalau tahu dirinya akan terluka dan tidak menyukai kenyataan itu, kenapa ia memilih pekerjaannya sekarang?

Gadis di sebelahnya itu terlalu plin-plan, nilai Jiyong dan ia tidak menyukainya. Pria itu tidak menyukai seseorang yang terus berubah-ubah, sebab orang seperti itu tidak bisa ia prediksi reaksinya. Sebab orang yang seperti itu, tidak bisa ia tebak responnya. Sebab ia merasa tidak akan bisa mengendalikannya.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang