Bagian I : 9

1K 180 5
                                    

***

Markas militer itu berada di perbatasan antar negara. Tentu ada banyak perbatasan di dunia ini, namun tidak semua negara yang bertetangga itu punya hubungan baik. Di tempat itu, para prajurit yang berhasil naik pangkat, akan diberi tugas menjaga keamanan di perbatasan. Mereka akan ditempatkan dalam tower-tower tanpa jendela, berdiri sembari menggendong senjata, menatap fokus pada ladang rumput dengan puluhan ranjau darat dan jebakan, berjaga seolah-olah akan berperang.

Jiyong belum sampai ke tahap itu-menjaga perbatasan. Ia masih berada dalam tahap pelatihan. Berlatih untuk menjadi penjaga perbatasan. Berlatih untuk mengangkat senjatanya, memakai senjatanya, mengenal dan menghindari ranjau darat, juga berkenalan dengan berbagai bahan peledak. Setelah beberapa bulan lamanya ia berlatih fisik, dipaksa menjadi kuat, kini tiba waktunya ia diberi pengetahuan yang lebih serius.

Setelah diberi pengantar dalam bentuk penjelasan-penjelasan, kini saatnya simulasi. Dan seperti yang sudah Jiyong dengar sebelumnya, Letnan Kim akhirnya muncul, dengan seragamnya. Tanpa senyumnya, sama sekali tidak ada lekuk cantik itu di wajahnya. Rautnya luar biasa serius, tatapannya begitu tajam, begitu keji. Ia tidak mengatakan apapun, hanya berdiri di depan semua prajuritnya, menatap satu persatu dari mereka. Membuat masing-masing dari para prajurit itu menelan kelu ludah mereka sendiri.

"Latihan yang akan kalian lakukan sekarang... adalah simulasi kematian kalian. Terjepit, tertusuk, tertembak atau meledak, silahkan pilih sendiri, bagaimana kalian ingin menghilang. Selesai. Selamat latihan," katanya tanpa microphone. Jiyong tidak percaya suaranya bisa sekeras itu, terdengar sampai ke belakang. Di dengar oleh lebih dari seratus prajurit di hadapannya. Dan yang lebih tidak bisa Jiyong terima-wanita itu tersenyum. Senyum yang muncul setelah tatapan keji tadi, setelah sambutannya yang sedikit mengancam tadi, sama sekali tidak terlihat cantik, senyumnya justru terlihat sangat mengerikan. Sangat menakutkan.

"Dalam lima belas menit, ambil peralatan kalian dan berkumpul di truck masing-masing. Regu satu dan dua di truck satu, regu tiga dan empat di truck dua dan seterusnya," kata seorang Pembantu Letnan, setelah Letnannya melangkah pergi meninggalkan lapangan itu. Akan pergi lebih dulu ke lokasi latihan mereka-ke hutan sungguhan.

Jiyong dan tiga orang rekannya, datang lebih cepat dibanding yang lainnya. Keempatnya berlari lebih cepat dari biasanya, sebab takut pada sang Letnan. Padahal di regu delapan, keempat pria itu selalu jadi yang terakhir datang. Keempatnya adalah pria-pria paling lambat di regu delapan. Tiba di truck, Jiyong bertemu tatap dengan Lisa, namun gadis itu langsung berpaling. Jantung Lisa berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia malu bersikap begitu-menjadi Letnan kejam seperti perannya-namun tidak pilihan lain. Ia tidak ingin terlihat kejam di depan pria yang disukainya, namun tidak bisa memilih peran yang lebih baik.

Lisa sama sekali tidak merasa keren di depan Jiyong. Ia tidak suka dirinya terlihat buruk di depan pria itu. Ia malu menunjukan sisi kejamnya di depan Jiyong, namun sayang ia tetap harus profesional atas pekerjaan yang dipilihnya. Lisa harap, Jiyong bisa melihat niatnya itu-untuk terlihat profesional.

Truck di parkir di tempat parkir, bersama beberapa mobil dinas lainnya. Satu persatu prajurit mendekat, namun Lisa melihat seorang pria lainnya, yang melambaikan tangannya, memanggilnya. Sadar kalau dirinya dipanggil, Lisa tinggalkan Yang Yoseob dan beberapa Sersan lain yang menunggu bersamanya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, lantas memberi hormat padanya-memberi contoh baik pada orang-orang yang mungkin melihatnya.

Pria yang dipanggil tadi, membalas hormat sang Letnan, lantas menggerakan kepalanya untuk mengajak Lisa bicara di tempat lain-yang lebih tenang. Beberapa mata mengekori mereka, termasuk sepasang mata milik G Dragon. Jelas pria itu penasaran, siapa yang memanggil Lisa tadi, apa pangkatnya dan apa tugasnya. Penasaran alasannya memanggil Lisa.

"Ada apa oppa?" tanya Lisa, setelah yakin kalau tidak seorang pun menguping pembicaraan mereka.

Ia Kapten Kim Namgil, pria yang memanggil Lisa tadi. Pangkatnya setingkat di atas milik Lisa, namun pria itu sudah jauh lebih lama menjadi tentara, dibanding dengan gadis itu. Dan seharusnya, Kapten Kim tidak berada di sana, alih-alih melatih para tentara baru, Kapten Kim punya tugas yang lebih penting-memprediksi peperangan bersama petinggi-petinggi lainnya, termasuk mempersiapkan rencana kalau mereka benar-benar berperang.

"Aku dengar kau mendaftar ke pasukan khusus," kata pria itu dan Lisa menganggukan kepalanya.

"Ayahmu setuju?"

"Mana mungkin. Satu-satunya alasan aku tetap di sini karena dia memblokir jalanku masuk pasukan khusus," gumam Lisa. Alih-alih mendukung karir putrinya, Teo Kim justru membuat jalan Lisa semakin berbatu. Ayah mana yang tega melihat putrinya pergi ke medan perang? Terlebih setelah ia tahu seperti apa medan perang itu.

"Kalau kau berhasil membujuknya, aku akan merekrutmu ke reguku," kata Kapten Kim, membuat Lisa langsung membulatkan matanya.

"Sungguh? Kau memberiku free pass untuk masuk ke dalam regumu?"

"Hanya jika ayahmu tidak keberatan," tegas pria itu dan Lisa menganggukan kepalanya. "Aku beri waktu enam bulan untuk meyakinkannya," susulnya dan sekali lagi Lisa menganggukan kepalanya.

Gadis itu tersenyum begitu lebar kemudian berkata, "kalau aku memelukmu sekarang, karena terlalu senang dan sangat berterima kasih, apa aku akan dipukul?" tanyanya dan Kapten Kim terkekeh karenanya.

"Memelukku dengan seragammu hanya akan membuatmu tersungkur ke tanah, jadi lebih baik jangan," kata Kapten Kim, yang tangannya ia masukan ke dalam saku seragamnya, sedari tadi begitu. "Kalau memang berterima kasih, kau bisa mentraktirku makan malam kapan-kapan," susulnya dan Lisa mengangguk, dengan senyum lebar di wajahnya.

"Akan aku telepon setelah pekerjaanku selesai," angguk Lisa, setelah Kapten Kim menyuruhnya kembali.

Sekali lagi Lisa memberi hormat pada pria itu, dan Kapten Kim juga membalas hormatnya. Keduanya lantas berpisah dan saat Lisa kembali ke lima deret truck yang ada di tempat parkir itu, semua prajuritnya sudah berkumpul. Berbaris di belakang truck-truck mereka. Sepuluh Sersan kemudian menghadap pada sang Letnan, mengatakan kalau regu mereka sudah seluruhnya siap untuk berangkat. Selanjutnya datang seorang Pembantu Letnan dari arah truck, juga memberitahu Lisa kalau tempat mereka latihan sudah selesai disiapkan.

"Kalau begitu, ayo berangkat," angguk Lisa. "Di truck mana aku harus naik? Aku benci truck satu, tahun lalu dia menabrak kelinciku," gumamnya pelan, hanya agar Pembantu Letnannya bisa mendengar suaranya.

"Anda bisa naik truck empat Letnan Kim," kata Yoon Doojoon-si Pembantu Letnannya.

Selanjutnya mereka berangkat. Meski berada di truck yang sama, Lisa dan Jiyong berada di tempat berbeda. Jiyong ada dibagian belakang, bersama prajurit lainnya, juga bersama sersan-sersan kepala regunya. Sedang Lisa ada di depan, di sebelah Yoon Doojoon yang mengemudikan truck itu.

"Kau tahu? Kelinci di hutan itu gemuk-gemuk, jangan di tabrak, aku suka dagingnya. Aku kesal setiap kali ada yang menabrak mereka. Dagingnya mana bisa dimakan kalau sudah remuk begitu," gerutu Lisa, sudah sepanjang tahun ini Lisa terus membicarakan soal kelinci di hutan tempat mereka biasa berlatih. Gadis itu masih dendam pada Lee Gikwang, yang mengemudikan truck satu, pria yang menabrak seekor kelinci di depan matanya.

"Anda ingin menangkap satu, Letnan Kim? Untuk dibawa pulang nanti," tawar Doojoon dan Lisa langsung menoleh padanya.

"Dua," kata Lisa. "Setelah latihan ini selesai, kumpulkan semua pelatih, kita buat pesta barbeque. Pesan juga daging sapinya. Daging ayam juga?"

"Yang pasti harus ada mie instan," susul Doojoon. "Aku akan mengumpulkan semua orang di belakang barak nanti malam," janjinya dan Lisa mengangguk, mengatakan kalau mereka sudah sepakat.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang