Bagian III : 54

813 128 4
                                        

***

Di tepi sebuah sungai, Lisa duduk sembari memandangi tali pancingnya. Ia duduk bersantai di atas kursi lipatnya, bersebelahan dengan seorang paruh baya. Mereka duduk sembari menikmati secangkir cokelat hangat, menunggu umpan yang dilempar digigit ikan. Arus sungai hari ini tenang, udaranya pun sejuk cenderung dingin.

"Kau bosan?" pria paruh baya di sebelah kanannya bertanya, tanpa menoleh. Hanya sesekali meniup cokelatnya, lalu menyesapnya.

"Tidak," Lisa yang justru menoleh, menatap pada ayah kekasihnya. "Tapi Paman... Kau sungguh bisa membakar ikannya kan?" tanyanya kemudian. "Aku tidak boleh makan mie instan dua hari berturut-turut," susulnya.

Ayah Jiyong menoleh sekarang, lalu melepaskan topinya. "Aku juga tidak boleh makan mie instan," katanya, sembari menatap Lisa di sana. "Untuk apa kau datang ke sini? Di akhir pekan?" susulnya penasaran.

"Bosan," santai Lisa. "Orangtuaku sering bertemu sekarang, karenaku, dan tiap mereka bertemu, mereka bertengkar. Hari ini mereka juga bertengkar. Apa Paman tidak bisa bicara pada mereka? Untuk berhenti bertengkar?" ia bercerita pada pria paruh baya itu.

"Kenapa mereka bertengkar? Bukan kah mereka sudah bercerai? Ibumu tidak pernah datang ke rumahku lagi, mereka masih sering menelepon, tapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan," katanya.

"Ayahku ingin jadi menteri di periode selanjutnya. Jadi dia sibuk sekarang. Tapi aku sakit, dan eomma kesal karena appa meninggalkanku sendirian di rumah. Bagaimana kalau dia kambuh saat kau pergi? Bagaimana kalau dia ketakutan sendiri di rumah saat kau tidak pulang?—begitu yang sering eomma teriakan pada appa," cerita Lisa pada ayah dari kekasihnya itu.

"Penyakitmu parah?"

"Bagaimana menurutmu Paman?" tanya Lisa, bicara pada pria yang lebih sering ia kunjungi daripada kekasihnya sendiri. Kekasihnya terlalu sibuk bekerja, hampir tidak punya waktu untuk menemani pengangguran sepertinya.

"Aku tidak pernah melihatmu kesakitan," kata Tuan Kwon dan lawan bicaranya pun berseru di depannya.

"Iya kan?! Aku tidak pernah kesakitan kan? Aku juga merasa aneh, orangtuaku bertengkar tanpa alasan. Memang sesekali aku gugup, kalau ada suara ledakan, seperti saat ada penjual pop corn di pasar minggu lalu, atau saat menonton film action. Tapi itu bukan masalah, iya kan? Aku hanya perlu menjauhi penjual pop corn dan tidak menonton film action lagi. Saat ibuku melihatku sakit, aku akui itu parah sekali. Hanya Jiyong oppa yang pernah melihatku menangis separah itu. Atau mungkin lebih parah? Tidak tahu. Biar Jiyong oppa yang memutuskan itu parah atau tidak. Tapi sekarang, aku merasa sudah sembuh. Selama hampir satu tahun ini, aku rajin pergi konseling. Aku tidak pernah terlambat pergi konseling. Aku konseling empat kali seminggu, lalu tiga kali seminggu, lalu satu kali seminggu dan sekarang aku hanya perlu konseling satu bulan sekali. Itu pun kalau aku masih merasa sakit. Tapi ibuku tidak mempercayaiku. Dia pikir, aku sengaja berpura-pura sembuh agar ayahku bisa jadi menteri, agar ayahku bisa bekerja," cerita Lisa, pada teman barunya.

"Doktermu tidak memberitahu ibumu, kalah kau sudah sembuh?"

"Tentu sudah, tapi ibuku tetap tidak percaya. Dia bilang, aku selalu bisa berpura-pura. Kadang kita terkejut saat sedang melakukan sesuatu, iya kan, Paman? Saat ada seseorang yang tiba-tiba jatuh di depanmu, atau saat ada- oh ikan!" gadis itu ingin terus bercerita, namun alat pancing di depan Tuan Kwon bergerak seolah ditarik dari bawah. Melihat Lisa menunjuk alat pancingnya, Tuan Kwon menolah, ikut melihat ke arah yang sama lalu menarik pancingnya keluar dari air. Menarik ikan apapun yang mungkin mereka dapatkan.

Cerita mereka terhenti, karena Tuan Kwon baru saja mendapatkan seekor ikan dengan pancingnya. Mereka menyimpan ikan itu ke dalam ember berisi air, dan Lisa memperhatikan ikannya. "Kau kelihatan enak dengan kecap, ikan," katanya, berjongkok di depan ember sembari menyentuh ujung sirip ikan itu dengan telunjuknya. Namun tiba-tiba ikan itu melompat, masih sangat segar, masih sangat kuat. "Oh! Astaga!" Lisa berteriak, kemudian jatuh terduduk di tanah namun ia berhasil menyelamatkan makan malamnya. Ikannya tetap berada di ember.

"Apa yang sedang kau lakukan?" heran Tuan Kwon, yang sibuk memasang umpan baru di kail pancingnya.

Lisa terkekeh, kemudian mengatakan kalau ikan yang mereka tangkap kelihatan enak. Akhirnya gadis itu memilih untuk kembali ke kursinya. "Aku hanya terkejut, aku baik-baik saja, tapi menurut ibuku itu adalah masalah. Dia masih khawatir, sangat khawatir tiap kali aku terkejut begitu," cerita Lisa sekali lagi. "Mungkin itu karena ia merasa bersalah, dia harusnya melarangku lebih keras. Dia harusnya berusaha lebih keras saat menahanku untuk tetap di sini dan tidak pergi ke pengungsian. Dia takut kalau aku keluar dari pengawasan, aku akan kesusahan atau sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi padaku. Aku bisa memahaminya, para ibu selalu merasa begitu, Bibi yang bilang. Selalu merasa khawatir pada anak-anaknya. Tapi... Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya," ia kembali menyesap cokelatnya, sembari membicarakan isi hatinya pada Tuan Kwon.

"Kau hanya perlu berada di jangkauan matanya. Pastikan dia selalu bisa melihatmu," tenang Tuan Kwon. "Kadang-kadang aku juga mengkhawatirkan putriku, putraku juga, tapi karena mereka selalu terlihat di depanku, aku baik-baik saja. Ah... mereka baik-baik saja. Justru kalau mereka tiba-tiba meneleponku, aku jadi gugup. Mereka pasti punya masalah kalau tiba-tiba menelepon," ceritanya.

"Aku juga gugup kalau Jiyong oppa meneleponku. Apalagi kalau dia memanggilku sayang ditelepon, rasanya seperti... Meleleh," katanya sembari menertawakan dirinya sendiri. "Masalahnya, dia hanya memanggilku sayang di telepon. Kalau bertemu langsung, dia terus merengek. Kau terlalu sering pergi dengan ayahku, kau terlalu sering menginap di rumahku, kau tidak pernah punya waktu untukku—dia terus mengeluh. Hanya karena aku pengangguran, dia pikir aku mau naik taksi ke studionya di jam tiga pagi. Kalau dia lelah dan itu sudah jam tiga pagi, bukankah lebih baik dia pulang dan tidur? Kenapa aku yang harus ke sana?"

"Dia pasti merasa aneh," komentar Tuan Kwon. "Selama hidupnya, sepanjang ia berkencan, dia selalu ada di posisimu. Kekasihnya merengek karena dia sibuk, kekasihnya tiba-tiba datang ke studio karena merindukannya, kekasihnya menelepon dan menangis karena dia tidak punya waktu. Tapi kau baik-baik saja dengan semua itu. Kau tidak merengek padanya, jadi dia yang melakukannya. Tapi kapan kalian akan menikah? Menunggu Soohyuk dulu?"

"Tidak tahu," geleng Lisa. "Soohyuk oppa kelihatannya belum punya rencana menikah. Naeun eonni juga belum menginginkannya. Jiyong oppa pernah bilang dia ingin menikah denganku, tapi dia tidak pernah membicarakannya lagi. Paman dan Bibi terus bertanya padaku kapan kami akan menikah, berarti kalian merestuinya. Masalahnya ada pada orangtuaku. Appa bilang aku tidak boleh mengambil keputusan besar seperti itu sebelum benar-benar sembuh. Ibuku bilang—lucu sekali mendengarmu ingin menikah, kau pikir menikah itu mudah?—aku sudah menyerah pada keluargaku. Hidup seperti ini saja pun cukup, tapi saking putus asanya, aku sampai berharap punya adik lagi. Agar ibuku punya mainan baru. Aku lelah jadi si bungsu," ocehnya, sepanjang mereka memancing yang hanya dapat seekor ikan.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang