Bagian I : 15

957 168 6
                                    

***

Keesokan harinya Jiyong tidak melihat gadis itu lagi. Bahkan di jam latihan yang harusnya Lisa pimpin, gadis itu tidak datang. Letnan Lee yang menggantikannya dan pria itu ternyata jauh lebih kejam dari Letnan Kim. Meski tidak ikut latihan fisik, berada di sana melihat teman-temannya diteriaki, dimarahi, dihukum, Jiyong tetap lelah. Tetap gugup dan tentu tetap takut. Padahal, saat makan malam bersama tempo hari, Letnan Lee kelihatan lucu, terlihat baik juga ramah. Rasa-rasanya semua orang berubah ketika sesi latihan di rumah.

"Kemana Letnan Kim?" tanya Jiyong, pada Yang Yoseob yang berdiri di sebelahnya, memperhatikan sesi latihan yang Letnan Lee mulai, siaga kalau-kalau sang Letnan butuh sesuatu. "Dia tidak sakit kan?" tanyanya sekali lagi.

"Ada pekerjaan lain yang harus ia kerjakan," jawab Yoseob. "Itu," susulnya, sebab Lisa melangkah beberapa meter di depan mereka, bersama seorang pria yang kemarin ia hampiri. Pria yang katanya akan membawa Letnan Kim masuk ke dalam pasukan khususnya.

Lisa terlihat serius ketika melangkah. Garis wajahnya mengeras, tidak ada senyum di wajahnya, dan tatap matanya terlihat begitu tegas. "Siapa pria itu?" Jiyong kembali bertanya, setelah melihat Lisa juga rekannya melangkah ke arah mereka.

"Kapten Kim Namgil," jawab Yoseob. "Pimpinan regu pasukan khusus, yang paling muda. Dulu dia ada di Irak bersama Jendral Kim, ayahnya Letnan Kim. Jendral Kim sangat menyukainya, pintar dan kuat. Mungkin Jendral Kim berencana menjodohkan mereka? Putrinya dengan anak buah kesayangannya," ceritanya.

Lantas Letnan Kim mendekat, Sersan Yang juga Prajurit Kwon lantas mengangkat tangan mereka, memberi hormat. Lisa balas memberi hormat pada dua orang itu, begitu juga dengan Kapten Kim di sebelahnya. "Suruh yang lain berkumpul," kata Lisa, tegas tanpa keragu-raguan, namun tidak ada perasaan yang bisa tergambar dari suaranya itu. Sedang Kapten Kim memutar tubuhnya, menatap pada semua sersan yang Yang Yoseob panggil.

Lee Joon menoleh, mengangkat tangannya untuk menyapa Kapten Kim, memberi hormat. Prajurit-prajurit lain pun mengikutinya, lalu mereka turunkan hormat itu setelah Kim Namgil membalasnya. Letnan Lee melanjutkan ceramahnya, di bawah terik matahari. Sementara sembilan sersan lain berlari menghampiri Lisa juga Kapten Kim. Mereka berbaris, membentuk dua barisan ke belakang, sekali lagi memberi hormat. Sedang Kwon Jiyong, melangkah mundur, menjauh dari para senior yang kelihatan begitu serius itu. Pasti ada masalah-nilai Jiyong, menjauh untuk memberi jarak, menjauh agar tidak ia dengar sesuatu yang harusnya tidak di dengarnya.

Seorang prajurit yang kabur berhasil di tangkap-begitu yang Lisa katakan. Di susul perintah, agar para sersan membawa prajurit mereka untuk datang ke persidangan prajurit yang kabur itu. Memberi contoh pada para prajurit, apa yang akan mereka hadapi jika berani kabur dari tugas negara itu.

Seperginya Lisa dari sana, para sersan kembali ke tempat masing-masing. Sedang Jiyong menatap punggung gadis itu melangkah menjauh. Apa punggungnya sudah baik-baik saja sekarang?-tiba-tiba Jiyong merasa penasaran. Tiba-tiba, Jiyong ingat sikap menyebalkannya kemarin.

Itu hari terakhir Jiyong melihat Lisa. Sampai tiba pada hari libur pria itu dan Jiyong mendapatkan kembali handphonenya. Jiyong punya jatah dua hari libur, setelah berbulan-bulan tidak keluar dari sana-kecuali untuk ke rumah sakit militer untuk mendapatkan lebih banyak anti nyeri. Dari total 30 hari libur yang akan ia dapatkan sepanjang perjalanan wajib militernya, hari ini Jiyong mendapatkan dua hari libur pertamanya.

Managernya datang menjemput hari ini, setelah sebelumnya ia pakai telepon umum di barak untuk menelepon pria itu. Memberi kabar tentang hari liburnya. Dengan seragamnya, pria itu keluar dari kamp militernya, melewati gedung administrasi dimana handphonenya tertahan di sana. Begitu keluar, managernya serta beberapa keluarga prajurit lain sudah menunggu. Pria itu tersenyum, melambai pada teman-teman prajuritnya, lalu masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil, jelas ia bertukar sapa, bertukar cerita pada managernya, yang sudah lebih dulu pergi wajib militer. Lalu, setelah beberapa menit mobil itu melaju, Jiyong telepon Letnannya. Seperti biasa, gadis itu tidak langsung menjawab. Namun kali ini, begitu menjawab, suara Lisa terengah. Nafasnya memburu, di susul beberapa suara desahan lelah, "oppa- tunggu! Berhenti sebentar, aku dapat telpon, tahan dulu, kalau kau tidak berhenti, jantungku yang berhenti," pinta gadis itu, merasa kalau ia belum menekan tombol hijau di teleponnya. "Oh? Halo? Jiyong oppa? Kau libur hari ini?" tanya Lisa, setelah sadar kalau dirinya sudah menjawab panggilan itu.

"Kau sibuk?" tanya Jiyong, sembari mencoba menebak-nebak apa yang Lisa lakukan sekarang.

"Sedang latihan, ada apa?" tanya gadis itu.

"Ayo bertemu, hari ini atau besok," pinta Jiyong.

"Untuk apa? Kau tidak bosan melihatku? Karena sudah ada di luar, temui saja seseorang yang tidak bisa selalu oppa temui," jawab Lisa.

"Ada yang ingin aku bicarakan. Kalau kau tidak bisa ke kota malam ini, aku yang akan ke tempatmu," pria itu bersikeras.

"Buang-buang waktu saja," celetuk Lisa. "Oppa liburmu hanya dua hari, lebih baik oppa menemui keluargamu. Daripada berkendara kesana-kemari," katanya.

"Kau... marah, padaku?"

"Apa? Kenapa? Tidak. Aku hanya sibuk," jawabnya. "Kalau memang perlu, bertemu saja setelah oppa kembali dari liburanmu, untuk sekarang nikmati saja liburanmu," katanya, yang pada akhirnya mereka tidak bertemu sepanjang liburan singkat itu.

Setelah ditolak, panggilan itu akhirnya berakhir dan orang pertama yang Jiyong temui tentu saja kekasihnya. Lewat managernya, mereka sudah membuat janji. Bertemu di restoran dekat rumah sakit untuk makan siang bersama. Jiyong sudah mengganti pakaiannya, tidak lagi mengenakan seragamnya. Ketika tiba di restoran, wanita itu pun sudah ada di sana.

Tersenyum begitu lebar dengan tas belanja di tangannya. Mereka bertemu di meja yang sudah di pesan, lantas dipeluknya si tentara libur itu. "Aku sangat merindukanmu, sayang," katanya. "Kau jadi terlihat kusam. Pasti berat di sana, iya kan? Aku sudah membelikanmu beberapa skin-"

"Dengan siapa kau tidur malam ini?" tanya Jiyong, meski ingin mencobanya, namun pada akhirnya Jiyong tidak bisa berpura-pura kalau semuanya baik. Ingatan akan kekasihnya yang memeluk dan mencium pria lain, membuatnya luar biasa kesal.

"Apa?" wanita itu membeku, melepaskan pelukannya pada tubuh G Dragon, lantas menatapnya dengan mata bergetar. "Bagaimana kau tahu?" gumamnya, setelah Jiyong mengulang lagi pertanyaannya, memperjelas lagi rasa penasarannya.

***

Post ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang