Vote sebelum baca 🌟
Mata Kelvin refleks terbuka kala kepalanya dilempari sesuatu. "Kelvin bodoh. Bawain sendal gue ke sini!" Titah Erika, menghadirkan senyuman manis Kelvin. Setidaknya Erika masih peduli padanya dan berusaha menghentikannya.
Kelvin memungut flat shoes Erika. Kemudian, berjalan ke arah Erika dengan penuh senyuman.
Erika hanya bisa menghela nafas lelah melihat tingkah Kelvin. Terlalu drama dan berlebihan.
Sebenarnya, Erika bisa saja membiarkan Kelvin mati sia-sia di tengah jalan. Toh, dia tidak menyukai Kelvin. Dia juga tidak akan merasa kehilangan sedikit pun.
Namun, hatinya terlalu lembut dan baik. Tak tega membiarkan Kelvin mati begitu saja di depan matanya.
Andai kata Kelvin mati di depan matanya, pasti Erika akan merasa bersalah serta memikul beban itu setiap hari.
"Gila banget dia, Ka." Bisik Kana setengah lega dan setengahnya lagi khawatir. Ia juga takut memikirkan nasib sahabatnya melihat sifat nekat Kelvin.
Erika tertawa sinis. "Yah, begitulah dia. Dan, Lo dengan mudahnya bilang gue lebay dan bertanya kenapa gue tertekan menghadapinya." Sindirnya.
Kana meringis pelan melihat tatapan sinis sahabatnya. "Maaf, Ka." Cicitnya.
Obrolan kedua orang itu terhenti kala Kelvin sudah berada di dekat mereka.
Keduanya melongo kaget melihat Kelvin tiba-tiba berjongkok di hadapan Erika.
"Pakai lagi, sayang. Jangan sampai kaki Lo terluka."
Gadis itu mendengus pelan melihat tingkah sok perhatian Kelvin. Segera memakai flat shoesnya dan melanjutkan lagi jalannya. Setengah berlari.
Kana mengacungkan jarinya ke wajah Kelvin. "Bisa gak sih berhenti ganggu Erika terus? Dia tuh capek dan tertekan menghadapi semua tingkah Lo. Emangnya Lo mau ganggu Erika sampai tahap mana? Sampai dia trauma dan gila?" Ketusnya.
"Gak usah ikut campur!" Kelvin menepis tangan Kana dan melewati gadis itu begitu saja.
"Tungguin gue, sayang!" Teriaknya bersemangat. Benar-benar mengabaikan ucapan Kana.
Sementara itu, Kana menghela nafas berat. "Lagi-lagi gue gak bisa bantu Erika. Maaf ya, Ka. Gue gak berguna banget sebagai sahabat." Gumamnya lirih. "Tapi, gue pasti cari cara supaya Lo bisa lepas darinya." Tekadnya.
****
Suasana hati Erika yang tadinya sudah normal, kembali dikacaukan oleh kehadiran om-om pengantar koran.
Om itulah yang selalu membuat mood Erika memburuk di tempat magang. Renald, namanya.
"Jadi gimana, dek? Boleh bapak minta nomormu?"
Sejak pertama kali bertemu, Renald selalu saja menggodanya dan meminta nomornya. Tapi, Erika tak pernah memberikan nomor ponselnya dan selalu mengalihkan pembicaraan.
"Ayolah, dek. Kasih bapak nomor kamu. Biar kita bisa calling-calling." Goda Renald.
Erika menghela nafas panjang seraya tersenyum datar. "Gak ada, pak. Adanya cuma nomor rekening." Sahutnya mencoba bercanda.
"Sini nomor rekeningmu, dek. Biar bapak isiin."
Erika meringis lelah. Memilih mengabaikan Renald dan sok sibuk membuat kliping berita kemarin.
"Dek, bapak heran deh. Kenapa adek selalu takut sama bapak. Bapak kan gak makan orang." Canda Renald.
Erika menjerit kesal di dalam hati. 'KALAU SADAR LAWAN BICARAMU TAKUT, BERHENTI! JANGAN MELANJUTKAN CANDAAN BODOHMU!' Ingin rasanya meneriakkan kata itu, tapi Erika menahannya mengingat masih lama waktu magang di sana.
"Lah, mana ada aku takut, pak? Aku biasa aja tuh." Sahut Erika sok santai.
Renald tertawa geli. "Jadi, gimana dek? Berapa nomormu?"
Erika mendesah pasrah di dalam hati. Renald masih saja menanyai nomor hp nya.
'kenapa sih ganggu gue terus? Kenapa gak ganggu Kana aja?'
Erika menelan saliva kasar.
'mungkin iya cuma bercanda, tapi gue udah gak nyaman loh. Harusnya dia segera berhenti menganggu gue. Dia gak punya mata atau gimana sih? Atau gue colok aja matanya supaya gak jadi pajangan doang?'
"Dia udah punya istri loh, Ka. Jangan diladenin." Celetuk Pak Fano yang baru saja datang.
Nah, ditambah lagi kata-kata serupa terus keluar dari mulut Pak Fano. Membuatnya semakin kesal, emosi, marah, dan jengkel.
Memang kenapa kalau sudah punya istri?
Erika tidak peduli!
Erika juga tidak akan tertarik ke tua bangka!
Selera Erika itu laki-laki yang masih muda dan tampan.
Oh ayolah! Laki-laki sekelas Kelvin aja tidak membuatnya tertarik apalagi om-om tua dan jelek seperti Renald. Benar-benar bukan levelnya.
"Kok cuekin bapak, dek?"
Erika mengabaikan Renald karena membalas pun percuma. Pria itu selalu mengatakan sesuatu yang menyebalkan.
"Dek. Jangan cemberut dong, dek. Bapak kan cuma bercanda." Ucapan khasnya yang sangat menyebalkan di telinga Erika.
Bercanda sih bercanda tapi tolong diperhatikan perasaan lawan bicara! Dasar manusia tak berperasaan!
Sekali lagi, Erika hanya bisa mengelus dada bersabar.
Rasanya ingin melawan tapi berusaha ditahannya karena bukan siapa-siapa.
Para pekerja di dekat Erika juga santai-santai saja. Tidak menegur Renald sama sekali. Yah, palingan mereka menganggap Renald sedang bercanda.
Erika tak bisa mengadu ke siapapun. Kana juga sedang pergi ke luar kantor. Hanya bisa menahan kekesalannya seorang diri.
Andaikan saja Erika bisa menyantet orang, mungkin Renald lah orang pertama yang akan disantetnya.
'om-om sialan! Semoga Lo cepat ma-- eh, di PHK aja deh. Gue muak digoda terus sama lo.' doa Erika dalam hati akibat terlampau kesal.
Bersambung...
29/4/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Ignore Me!
RomanceKehidupan Erika sangatlah membosankan hingga tuhan mendatangkan seorang pria gila di dalam hidupnya. Merenggut kehidupan membosankannya dan menggantinya dengan kehidupan menegangkan. Ancaman, paksaan, dan keposesifan selalu menghiasi harinya semenj...