Mendadak kangen nulis cerita ini, jadi ku tambahin aja extra part-nya😼
Tangan Erika sedikit bergetar membaca pesan di dalam grup chat kelasnya. Sekujur tubuhnya bagaikan tersengat listrik lantaran terlampau terkejut.
Teman kelasnya meninggal dunia akibat kecelakaan. Dia tak menyangka Okta akan pergi secepat ini.
Baru kemarin rasanya mereka tertawa ria, membahas pengalaman-pengalaman baru yang didapatkan selama mengikuti program Kampus Mengajar.
Baru kemarin rasanya foto bersama, mengabadikan saat kebersamaan mereka.
Erika memang tidak terlalu akrab dengan Okta, tapi gadis itu tetap merasa kehilangan.
Kehilangan teman seperjuangannya.
Sakit, sakit sekali. Erika rasanya ingin menangis mengetahui kenyataan itu. Semakin ingin menangis lagi mengingat Kana juga sudah meninggal dunia.
"Semoga Lo tenang di alam sana, Ta." Erika mendongak, menahan air matanya yang berdesakan ingin keluar.
"Kalian harus bahagia di atas sana ya karena kalian sudah bebas. Kalian gak akan pusing lagi mikirin tugas. Kalian gak akan kesusahan melakukan PL. Kalian juga gak akan pusing skripsian." Gumamnya.
"Sayang."
Suara Kelvin membuat Erika buru-buru menghapus air matanya.
"Kok gak balas chat gue dari semalam? Lo marah sama gue?" Pria itu merangkul Erika.
Erika melirik Kelvin sekilas. "Gak kok. Ngapain juga gue marah ke Lo?"
Kelvin mendesah pelan. "Gak! Lo pasti marah ke gue. Buktinya aja Lo gak mau natap gue." Ambeknya.
Erika tertawa geli. "Gak kok. Gue gak marah." Ia mengusap rambut Kelvin lembut. "Maaf ya, gue gak sempat balas chat Lo karena sibuk."
Kelvin bergumam kesal. "Pasti sibuk baca komik, 'kan?" Tebaknya tepat sasaran.
"Hehe."
Kelvin menggelengkan kepala tak habis pikir melihat tingkah pacarnya. "Lain kali jangan gitu lagi, sayang. Gue tuh capek di cuekin. Untung aja gue sabar. Kalau gak, udah gue makan Lo."
"Ya maap." Cengirnya polos.
"Oh ya, katanya hari ini mau ngambil kartu ujian 'kan? Sama siapa?" Tanya Kelvin mengalihkan pembicaraan.
"Sendiri."
Kelvin mengerjap kaget. "Tumben sendiri?" Biasanya pacarnya itu selalu ditemani kemana-mana. Makanya ia kaget.
"Mau gimana lagi? Gue gak punya teman yang bisa diajak nemenin gue ngambil kartu ujian karena semuanya udah pada ngambil." Keluh Erika.
"Sayang banget gue gak anak beasiswa. Coba aja kalau gue anak beasiswa, pasti kartu ujian gue bisa diwakilin ambilnya." Gerutunya.
Kelvin menepuk-nepuk puncak kepala Erika pelan. "Maafin gue ya, gue gak bisa nemenin Lo karena ada ujian."
"Iya, gapapa. Semangat ujiannya."
"Makasih sayangku. Nanti gue cepat-cepat ngerjainnya deh biar bisa nemenin Lo."
"Gak usah. Gue bisa sendiri kok. Lagian hari ini gue bakal sibuk banget sih ngurus sesuatu. Lo pasti capek kalau nemenin gue."
"Emang mau ngurus apa, sayang?"
"Ngurus berkas PL, Bimbingan laporan magang sama Bu dosen pembimbing, nyari Bu Pembimbing Akademik untuk beli seragam prodi, dan kalau bisa minta tanda tangan Bu Pimpinan Prodi sekalian."
"Wah, sibuk juga ya."
"Yah, gitulah."
"Vin," panggil Erika pelan setelah terdiam sejenak.
"Hm? Kenapa sayang?"
Erika menyandarkan kepalanya di bahu Kelvin. "Hati-hati ya kalau sedang di jalan. Jangan ngebut-ngebut dan selalu perhatiin keadaan di sekitar Lo. Gue takut kehilangan Lo, Vin."
Pria tampan itu menghela nafas pelan. Sepertinya, ia tahu apa yang menjadi alasan mata pacarnya sembab. "Tenang aja, sayang. Gue bakal hati-hati kok."
Erika menghela nafas panjang seolah punya beban berat yang sedang ditanggungnya. "Kita emang gak tahu kapan kematian akan menghampiri, tapi gue harap, gue bisa hidup lebih lama bersama Lo. Gue harap kita bisa selalu bersama sampai tua nanti."
Ungkapan Erika berhasil membuat jantung Kelvin berdebar kencang. Saking kencangnya, Kelvin merasa jantungnya akan meledak saat ini juga.
"Jangan begini, sayang." Kelvin sedikit menjauh dari Erika hingga gadis itu pun kebingungan.
"Maksudnya?"
Erika semakin heran melihat Kelvin berjongkok seraya menutup wajahnya. "Kenapa sih?"
Kelvin menatap Erika lewat celah jarinya. "Lo serius berharap hidup bersama gue sampai tua nanti?" Tanyanya memastikan.
"Iya, serius."
Kelvin meraih tangan Erika perlahan dan menempelkan tangan Erika di pipinya. "Nikah yuk, sayang!"
"Hah?!" Wajah Erika merah padam mendengar ucapan diluar nalar sang kekasih.
"Ayo nikah!" Ulang Kelvin serius sehingga membuat Erika menutup wajah malu.
Bagaimana tidak malu jika Kelvin tiba-tiba mengajaknya menikah, itupun di depan kampus dan di hadapan semua orang.
Rasanya Erika tidak berani lagi mengangkat kepalanya setelah mendengar suitan menggoda dari anak-anak kampusnya.
Dasar Kelvin sialan. Membuatnya malu saja. Tapi, entah kenapa dia menjadi mengharapkan masa depan dimana mereka menikah, memiliki anak-anak menggemaskan, dan hidup bersama sampai tua.
Erika harap, khayalannya akan menjadi kenyataan di masa depan!
-Selesai-
29/6/23
Ah, indahnya dunia perhaluan!!!
Gak bisa berword-word lagi🙃
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Ignore Me!
RomanceKehidupan Erika sangatlah membosankan hingga tuhan mendatangkan seorang pria gila di dalam hidupnya. Merenggut kehidupan membosankannya dan menggantinya dengan kehidupan menegangkan. Ancaman, paksaan, dan keposesifan selalu menghiasi harinya semenj...