Part 33📍

11.4K 848 26
                                    

Vote sebelum baca 🌟

‍‍Langkah kaki Erika terasa berat keluar dari kos karena sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Kelvin kepadanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

‍‍Langkah kaki Erika terasa berat keluar dari kos karena sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Kelvin kepadanya.

Rasanya ingin bolos kerja saja tapi menghindar bukanlah pilihan tepat. Pada akhirnya, ia tetap akan bertemu Kelvin juga. Kos dan tempat magang mereka saja berdampingan. Tidak ada waktu untuk menghindar.

Erika menghela nafas gusar sehingga membuat Kana yang sedang memakai sepatu menoleh ke arahnya. "Tenang aja, Ka. Gue akan menghalangi si Kelvin dari Lo," ujarnya menenangkan melihat kerisauan hati Erika.

Barulah Erika merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang akan melindunginya dari kegilaan Kelvin.

"Yok berangkat. Jangan sampai kita telat lagi karena sekarang ada 'apel'. Bisa-bisa kita mengelilingi tempat kerja lagi kalau telat." Kekeh Kana teringat kejadian Senin lampau.

Mereka terlambat datang, sampai di depan kantor semua orang sudah berbaris rapi untuk mengikuti apel pagi, dan terpaksa lah mereka masuk kantor lewat pintu belakang supaya bisa masuk ke dalam kantor tanpa melewati semua pekerja kantoran.

"Yok lah. Ingat loh ya, jangan biarin si Kelvin deketin gue lagi."

Kana mengacungkan jari jempolnya. "Sip."

Kedua gadis itu hendak keluar dari kos.

"Kana, Erika!! Tungguin kakak!" Teriak Sasa dari kamarnya. Menghentikan langkah keduanya.

"Cepat, kak. Nanti kita telat loh." Desak Kana.

"Iya. Sabar, sabar."

Beberapa detik setelahnya, Sasa berlari ke arah Erika dan Kana dengan cengiran khasnya. "Yuk berangkat." Ajaknya langsung.

Mereka keluar dari kos dan sesuai yang dipikirkan Erika, Kelvin sudah menunggu di dekat tangga kosnya.

Jantung Erika berdebar kencang. Takut Kelvin akan melakukan sesuatu padanya mengingat dirinya memutuskan hubungan secara paksa.

Meskipun takut dan gelisah, Erika berusaha terlihat biasa saja. Erika menunjukkan ekspresi paling datarnya dan melewati Kelvin begitu saja.

Namun, Kelvin tidak melepaskannya semudah itu. Pria tersebut menahan tangan Erika. "Ka, Lo harus dengerin penjelasan gue dulu." Tuntutnya.

"Gue gak butuh penjelasan apapun. Simpan aja penjelasannya untuk teman-teman Lo." Sahut Erika sinis.

Kana melepaskan cekalan tangan Kelvin dari Erika secara paksa. Lalu, menyembunyikan Erika di belakangnya. "Mulai sekarang, jangan ganggu sahabat gue lagi! Pergilah jauh-jauh dari hidup Erika!"

Kelvin menatap Kana tajam. "Lo gak berhak ngomong gitu ke gue!"

"Kenapa gak berhak?! Erika sahabat gue! Jelas gue berhak dong!"

Erika menggandeng tangan Kana. "Udah lah, Ka. Berhenti ladenin dia atau kita akan terlambat." Menyeret Kana pergi. Menyusul Sasa yang sudah berjalan lebih dulu tanpa menyadari Erika dan Kana sedang berhenti.

Kelvin menghela nafas kasar seraya mengejar langkah keduanya. "Ka, gue mendekati Lo bukan karena taruhan semata." Jelasnya meskipun tanpa diminta. "Gue benar-benar suka sama Lo. Makanya gue nerima taruhan itu." Jelasnya lagi. Berharap Erika akan luluh dan menarik keputusannya.

"Dih, Lo pikir gue akan percaya dengan alasan bodoh Lo?" Sahut Erika kesal.

Kana ikut bersuara setelah Erika merespon. "Pergi sana! Jangan menganggu Erika lagi atau gue laporin ke polisi?" Ancamnya sambil menunjuk kantor polisi di sebrang jalan.

Erika tersenyum haru melihat Kana membelanya. Semua kekesalan dan kekecewaan yang masih tersimpan di lubuk hatinya menghilang begitu saja.

Yah, hanya ini yang dibutuhkannya. Pembelaan dari sahabatnya. Rela mengancam orang lain demi membelanya.

"Laporin aja kalau berani. Toh gue cuma tinggal ngelak karena gak ada bukti." Jawab Kelvin menyebalkan. Membuat perasaan terharu Erika lenyap entah kemana.

Erika melotot kesal ke arah Kelvin sedangkan Kelvin membalasnya dengan senyuman manis.

"Gue benar-benar suka sama Lo, Ka. Lo pasti bisa merasakan ketulusan gue saat bersama Lo 'kan? Ketulusan gue itu benar-benar nyata, Ka. Gue gak sok tulus karena dare. Mana mungkin 'kan ada seseorang yang rela melakukan apapun cuma untuk membuat dare berhasil?" Ungkap Kelvin panjang lebar.

Erika mendecih pelan. "Stop! Jangan mengatakan hal menggelikan itu lagi!" Tegasnya.

Gadis itu melipat tangannya di depan dada. Menatap Kelvin arogan. "Gue gak nerima alasan apapun. Kita putus karena gue udah bosan, bukan karena Lo. Sampai di sini, paham, Kelvin?" Tanyanya penuh penekanan hingga Kelvin tak bisa berkata-kata.

"Pasti paham dong ya? Jadi, gak usah beralasan lagi karena gak akan ngaruh sedikit pun!" Tekannya lagi.

Kelvin tertunduk lemas. "Kita gak bisa putus gitu aja, Ka. Gue gak bisa hidup tanpa Lo."

Erika tertawa geli. "Berarti sebelum bertemu gue, Lo gak hidup? Lo hantu yang gentayangan? Ah, pantes aja gue selalu merinding di dekat Lo." Sarkasnya.

Kana berusaha menahan tawa mendengar ucapan Erika. Dari tadi ia menjadi penonton karena merasa bukan waktunya ia ikut campur.

"Ka, gue gak bercanda. Gue gak bisa hidup tanpa Lo sejak Lo hadir dalam kehidupan gue. Lebih baik gue mati daripada kehilangan Lo."

"Ya udah, mati aja sana. Gue gak peduli." Tutur Erika kejam.

Kelvin menatap Erika intens. "Lo gak peduli meskipun gue mati?" Kekehnya sedih.

"Kebersamaan kita selama tiga bulan ini gak berarti banget ya buat Lo?" Lirihnya.

"Oke. Kalau itu mau Lo." Kelvin berjalan ke tengah jalan sehingga membuat Kana dan Erika panik.

"Kelvin! Ngapain Lo ke sana?! Cepat balik ke sini!" Jerit Kana.

"Kalau mau mati, minimal jangan nyusahin orang lain." Ketus Erika sok tidak peduli. Ia bahkan melanjutkan langkahnya.

"Eh, Erika! Berhenti woi! Cegah dulu si Kelvin!" Teriak Kana kian panik.

Kelvin menatap sedih kepergian Erika. Ia pun menutup matanya, bersiap mengakhiri hidupnya sendiri supaya Erika menyesal telah memutuskannya.

Bersambung...

29/4/23

firza532

Please, Ignore Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang