Kedua kelopak mata Ivanna perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit ruangan berwarna putih yang nampak asing di kedua matanya. Warna langit-langit yang sama dengan langit-langit kamar miliknya di apartemen. Tapi, nuansa yang ia rasakan jelas berbeda. Apalagi saat ia menolehkan kepalanya ke samping dan melihat bantal dengan warna sarung bantal yang berbeda dengan miliknya. Juga benda-benda di atas nakas yang berbeda jauh dengan miliknya. Dan secara singkat, sebuah pertanyaan muncul dalam benak Ivanna. Dimana ia?
Gadis itu mengernyitkan keningnya saat gendang telinganya menangkap suara musik yang samar-samar. Tidak mungkinkan ia tengah berada di club?
Ivanna berusaha mengingat kembali apa yang baru saja terjadi padanya. Rumah sakit, lalu... Lagas dan antek-anteknya yang menyebut diri mereka Galvanize, dan... Arslan.
Arslan Rajendra! Ya! Ivanna yakin Kakak kelas di sekolah lamanya itu datang menghampirinya sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya tadi. Tapi...
"Udah bangun lo?" Suara itu membuat Ivanna refleks menoleh demi mendapati seseorang yang baru saja berada di pikirannya. Benar, itu Arslan Rajendra.
Ivanna berusaha bangkit dari posisinya dan dalam sekejab rasa sakit segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia meringis kesakitan lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuat Ivanna merasa begitu lemas.
"Jangan banyak gerak dulu, Iv," peringat Arslan sembari meletakkan kotak P3K dan baskom berisi air hangat di sebelahnya.
"Gue baru selesai bersihin luka-lukanya dan belum sempet ngobatin. Ternyata lo udah bangun," jelasnya.
"Ini dimana, Kak?" tanya Ivanna lirih.
"Shelter Albatros," jawabnya singkat. Shelter itu semacam rumah berlindung. Dan yang dimaksud Arslan dengan shelter adalah sebuah markas. Yang artinya... Ivanna tengah berada di rumah yang ia kira rumah Gio?
Arslan duduk di tepian ranjang dengan menghadap Ivanna. "Lo nggak usah khawatir Bang Aksa bakal nyariin lo. Gue udah bilang kalau lo sama gue."
Ivanna terdiam seribu bahasa. Astaga, ia benar-benar tak terpikir tentang Aksara. Beruntung Arslan sudah mengabarinya dan ia yakin Aksara tak akan terlalu menghawatirkan dirinya saat ini.
"Biar gue obatin luka lo," ujar Arslan sembari meraih kotak P3K yang dibawanya tadi dan menaruh kotak tersebut di hadapannya. Di sebelah Ivanna tepatnya.
"B-biar gue sendiri aja," cegah Ivanna. Ia merasa tak enak dengan Arslan.
"Tangan lo juga luka."
Ivanna kontan menatap ke arah lengannya. Dan benar kata Arslan. Tangannya terluka, berupa luka memar yang sedikit berdarah. Jemarinya juga nampak memar. Ivanna yakin ini karena pukulannya sendiri.
"Emmm.... Nggak ada yang lain kak?" tanya Ivanna. Entahlah, ia merasa canggung jika Arslan yang mengobati lukanya. Sedangkan Arslan, cowok itu nampak tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya. Cowok itu tengah meneteskan alkohol ke sebuah kapas. "Disini nggak ada pembantu dan yang lain sibuk. Mereka lagi party ultahnya leader," terangnya.
Arslan mendekatkan kapas tersebut ke wajah Ivanna namun pergerakannya terhenti karena Ivanna yang tiba-tiba menjauhkan wajahnya.
Arslan tersenyum, ia menarik lengan kiri Ivanna yang tak terlalu terluka kemudian melingkarkan jemari gadis itu ke lengannya. "Cengkram kalau sakit!" perintahnya.
"Tapi Kak-"
"Lakuin aja."
Ivanna terdiam. Percuma ia menolak. Arslan tetap akan melakukannya. Tenaganya juga sangat lemah untuk saat ini. Jadi, menurut adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Genç KurguAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...