"Sshhh!"
Desisan pelan itu kontan terdengar begitu sebuah kapas beralkohol itu mengenai permukaan kulit Kavin yang terluka. Tangan cowok itu refleks menangkap tangan Gisel yang tengah mengobatinya. Benar, gadis yang datang bersama Handika tadi adalah Gisel.
"Gue bakal lebih hati-hati lagi." Gadis itu berujar sembari melepaskan jemari Kavin yang melingkar di pergelangan tangannya. Sejenak, ia teralihkan pada luka di lengan Kavin. Lengan itu terluka saat mengenai pecahan vas tadi. "Tangan lo juga luka."
Kavin tersenyum tipis. "Pelan-pelan." pintanya yang hanya dijawab dengan anggukan pelan oleh Gisel.
Tak ada yang membuka suara setelahnya. Gisel yang fokus mengobati luka di ujung bibir dan juga pipi Kavin dan Kavin yang hanya diam sembari mengamati Gisel yang fokus mengobatinya. Kalau ia tidak salah, bukankah Gisel adalah teman Ivanna yang ia temui di panti asuhan waktu itu dan gadis yang tak sengaja ia peluk-haish- benar-benar memalukan jika teringat akan hal itu. Tapi, mengapa ia datang kemari bersama Pamannya, Handika? Apakah mereka memiliki hubungan?
"Ekhemm."
Deheman pelan yang berasal dari Gisel itu membuat Kavin tersadar, ia menggulirkan bola matanya ke arah lain agar tak bertatapan dengan Gisel.
"Ada hubungan apa lo sama Paman Handika?" tanya Kavin begitu Gisel selesai mengobati luka di wajahnya. Kini, gadis itu menarik lengan Kavin dengan pelan. Ia beralih mengobati luka di lengan cowok itu.
"Om Handika temen bokap gue, jadi gue kenal sama dia."
"Ohh... Berarti Bokap lo setuju sama hubungan kal-akhh!" Kalimat Sakra seketika tergantikan dengan erangan pelan saat kapas beralkohol itu menyentuh permukaan kulit lengannya yang terluka.
"Lo ngomong apaan, sih?"
Kavin tak menjawab pertanyaan Gisel. Jika ia tak berhubungan dengan Handika lantas mengapa ia datang kemari bersamanya tadi?
"Gue mau ke apartemen Ivanna tadi, tapi nggak sengaja lihat lo dibawa sama anak buahnya Pak Roni. Karena gue khawatir terjadi apa-apa jadi gue langsung telpon Om Handika. Sorry, ya... Gue telat tadi dan lo jadi terluka."
Kavin terdiam dengan kedua netra yang menatap Gisel lekat. Gisel, mengkhawatirkan dirinya? Ternyata rasanya seperti ini dikhawatirkan oleh orang lain. Tapi, atas dasar apa gadis itu mengkhawatirkan dirinya?
"Ohhh..." Tak lama setelahnya, Kavin ber-oh panjang. Nampaknya ia tahu mengapa Gisel mengkhawatirkan dirinya. "Ya kan, gue ponakan Paman Hand, jadi wajar kalau lo juga khawatir."
"Hah?" Gisel sontak melongo dibuatnya. Apa maksud Kavin?
Melihat raut yang Gisel tampakkan, Kavin tertawa pelan. "Langgeng ya sama Paman Hand, semoga sukses sampai pelam- au!" Kalimat Kavin seketika tergantikan aduhan pelan saat Gisel memansangkan plester di lukanya dengan sedikit kasar. Gadis itu bahkan sengaja menekan luka di lengan Kavin setelah selesai memasang plester tersebut. Ia menatap Kavin dengan begitu kesal. "Beneran nggak peka banget, sih, lo. Pantesan nggak punya pacar!"
"Hah?"
Kali ini Kavin yang melongo dibuatnya. Apa maksud Gisel?
Belum sempat pertanyaan di benak Kavin terjawab, atensinya teralihkan pada suara pintu yang terbuka dan Handika yang terlihat memasuki ruangan setelahnya."Terimakasih Gisel, untung saja kamu telpon saya tadi."
Gisel mengangguk pelan. "Iya, Om, sama-sama."
"Terimakasih juga sudah mengobati Kavin." tambah Handika setelah melirik Kavin sejenak. Gisel tersenyum dan mengangguk.
Handika duduk di atas sofa. Berhadapan dengan Gisel dan Kavin yang duduk bersebelahan. "Terimakasih juga, Kavin. Jika kamu tidak menemukan data itu mungkin aku tidak akan tahu perbuatan busuk Roni di belakangku."
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Teen FictionAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...