SERENITY-37

66 12 1
                                    

"Tok tok tok!"

"Abang?"

Amara mengetuk pintu kamar putranya berkali-kali, sesekali ia memanggil namun tak kunjung ada jawaban dari dalam.

"Abang? Udah bangun? Bunda masuk, ya?"

"Tok tok tok!"

Sekali lagi Amara mengetuk pintu. Tak kunjung mendapat jawaban, ia lantas memutar knop dan mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci.

"Abang?"

Amara memanggil seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia tak mendapati ada Dio diatas ranjangnya. Tapi ia yakin kalau Dio tidak tengah pergi ke shelter Albatros karena motor maupun mobilnya berada di garasi. Cowok itu juga tak keluar rumah usai pulang sekolah kemarin.

"Ab—" Suara Amara terhenti saat kedua netranya menangkap sosok putranya yang tengah duduk meringkuk di sebelah ranjang dengan memeluk 9⁰.

"Abang?" panggil Amara dengan ragu. Wanita paruh baya itu duduk perlahan di hadapan putranya. Ia merasa ada keganjalan pada diri Dio. Apakah ada masalah? Tidak biasanya Dio bersikap seperti ini.

Amara menyentuh pundak Dio dengan lembut, membuat cowok itu mengangkat kepalanya. Tatapan mata yang sayu itu kontan bertemu dengan dua manik milik Amara. Wanita paruh baya itu terdiam di tempatnya. Ini... Bukan Gio!

"A-adek?" Amara menangkap kedua pipi Dio dan menatapnya lekat-lekat. Ia tak mungkin salah. Ini Dio, bukan Gio.

Dio kembali menyandarkan kepala di antara kedua lututnya. Benar, ia adalah Dio. Sejak lahir ia adalah Dio. Tapi masa membuatnya berubah menjadi Gio.

"Ada apa, sayang?" tanya Amara dengan lembut. Setahunya, Dio selalu datang saat Gio tengah tidak baik-baik saja. Merasa dirinya tidak aman hingga merada frustasi dan Dio datang dengan bisikan yang seolah berkata 'It's okkay, nggak usah dipikirin'. Itulah yang membuat Dio merasa nyaman dengan keindividualannya. Merasa baik menyendiri dengan dirinya sendiri.

Namun lupakan! Semua itu hanyalah omong kosong. Itu sama sekali tak benar. Dio datang bukan karena kepribadian gandanya namun karena, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Ia lelah terus berpura-pura menjadi Gio. Ia lelah terus berpura-pura berkepribadian ganda. Ia lelah. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia tak ingin dunia membencinya karena kepergian Gio adalah karenanya. Maka biarlah semua orang termanipulasi kalau ia memang berkepribadian ganda. Cukup dirinya yang tahu kalau Gio sebenarnya telah pergi. Lagipula, kalaupun ia memberi tahu orang-orang akan kepergian Gio juga tak akan mengubah kenyataan, bukan? Biarlah ia kubur kenyataan ini dalam-dalam.

"Adek, ada masalah apa, hm?" tanya Amara lagi dengan lembut. Tak ada jawaban dari Dio. Cowok itu bahkan tak menatap kearahnya. Ia terus menundukkan kepalanya.

"Cerita ke Bunda, sayang. Bunda bakal dengerin."

Dio menggeleng pelan. Untuk apa ia harus bercerita? Lagipula ia rasa bercerita saja tak akan berguna.

Amara menatap Dio dengan sendu. Hatinya selalu tercabik-cabik saat melihat Dio. Perasaan bersalah yang berusaha ia pendam kuat-kuat dengan cepat menyelimuti dirinya. Membuatnya hidup dalam penuh rasa bersalah. Ia ingin membuang rasa bersalah itu jauh-jauh tapi ia tak bisa. Sejak putranya pergi satu setengah tahun lalu, rasa bersalah seolah telah menjadi kawan karibnya.

***

"Jadi, bagaimana perkembangan adik saya sejak kelas XI ini?" Vanesha bertanya dengan kedua tatapan mata yang tak beralih dari wanita paruh baya di hadapannya. Ia serius dengan pertanyaan yang barusan ia ajukan. Dan kedatangannya kemari juga bukan semata-mata tanpa alasan.

SERENITY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang