SERENITY-54

46 12 3
                                    

Untuk kesekian kalinya, senja datang menyapa dengan keindahan yang tak pernah sekalipun sirna. Meski kehadirannya hanya sesaat, namun keindahan dan kenangan yang senja berikan akan selalu abadi bagi setiap pecintanya.

Saat ini, Dio dan Ivanna tengah menatap keindahan langit oranye itu di atas jembatan. Setelah sekian kalinya senja datang, akhirnya mereka bisa menikmatinya bersama lagi di tempat ini.

Usai polisi datang dan menangkap Arslan dan Theo, mereka berdua datang ke tempat sedangkan Sakra, entah dimana dan apa yang cowok itu lakukan saat ini. Ia hanya bilang ingin sendiri dan menenangkan diri dari segala rasa kecewa dan amarah yang bercampur menjadi satu.

Semua orang tentu tak akan menyangka bahwa ternyata selama ini Gio tidak bunuh diri melainkan dibunuh. Lebih tepatnya terbunuh tanpa sengaja oleh sahabatnya sendiri. Kenyataan memang selalu pahit dan manusia selalu dituntut untuk melumat kepahitan itu tanpa sisa.

"Hari itu, harusnya kita nikmati senja kayak gini, kan?"

Ivanna membuka suara. Memecah lengang antaranya dan Dio. Benar, hari itu seharusnya mereka menikmati sore bersama di tempat ini namun, karena kejadian itu semuanya tertunda dan baru bisa mereka lakukan sekarang.

Dio mengangguk sembari berdehem pelan sebagai respon. "Hari itu semesta memang tak memberikan keberuntungan untuk kita tapi, hari ini dan seterusnya adalah hari penuh keberuntungan yang menanti kita."

Ivanna menarik kedua ujung bibirnya. Ia memejamkan kedua matanya sejenak, menikmati angin senja yang menyapu wajahnya dengan lembut. Sejenak, ia kembali menatap Dio. "Menurut lo, apa Gio beneran udah meninggal?" tanya Ivanna yang hanya menemui kebisuan. Dio sendiri tidak yakin apakah Gio sudah benar-benar tiada atau tidak.

"Dengerin suara hati lo, Di. Mungkin lo bisa denger suara hati Gio juga." Ivanna menarik seulas senyum. "Anak kembar punya telepati, kan, katanya?"

Entah, Ivanna sendiri tidak yakin kalau telepati pada saudara kembar itu sungguhan ada atau hanya 'katanya' saja. Namun, terkadang ia ingin mempercayainya saat ia sering merasakan apa yang tengah Evanna rasakan. Jika perasaan bertaut itu menghilang, mungkin bisa jadi salah satunya telah tiada.

Dio menggeleng pelan. "Aku nggak tahu," jawabnya. Karena jujur, saking berisiknya suara yang ada di kepalanya membuatnya tak bisa mendengar suara hatinya sendiri. Dan disaat hatinya bersuara, ia tak yakin itu adalah suara hatinya sendiri atau suara dari pikirannya yang menuntut hatinya. Ia bahkan tak sadar kapan ia bisa berkomunikasi dengan Gio melalui perasaan.

Ivanna menghela nafas pelan. Ia paham apa yang Dio rasakan saat ini.

"Lo tahu nggak?" Ivanna kembali bertanya, ia mengalihkan topik pembicaraan agar tak membuat Dio terus mengingat Gio untuk saat ini.

Dio menoleh ke arah Ivanna. "Apa?"

"Gue masih kesel sama lo." Raut wajah Ivanna sontak berubah begitu mengucapkan kalimat tersebut. Gadis itu membuang muka dari Dio. Sedangkan cowok itu sendiri, ia terlihat mengerutkan keningnya dengan heran melihat raut wajah Ivanna yang berubah seketika.

"Kenapa?"

"Lo pura-pura punya xenophobia biar gue nggak deketin lo, kan, waktu itu?" Ivanna kembali menatap Dio dengan kesal. "Lo sengaja buat jarak, kan?"

Dio menarik seulas senyum lalu mengangguk. "Iya, gue juga bohong soal itu."

"Kenapa?" tanya Ivanna meminta penjelasan dari Dio meski dalam benak ia berkata dengan ketus, 'Dasar, lo bener-bener penuh dengan kebohongan, kek kehidupan aja.' Mengabaikan suara hatinya yang ketus, Ivanna kembali menatap Dio saat cowok itu kembali membuka suara.

SERENITY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang