SERENITY-57

60 14 0
                                    

Mobil yang Dio kemudikan perlahan memelan dan berhenti di tepian. Cowok itu menatap Vanesha yang sedari tadi menangis selama perjalanan. Perempuan itu bahkan sesekali merutuki dirinya sendiri atas kematian Aksara.

"Vanesha, lo bilang nggak akan meratapi kepergian bang Aksa kek gini." Dio membuka suara.

Tak ada jawaban dari Vanesha. Ia masih terisak dan tak memberikan tanda-tanda akan menghentikan isakannya untuk saat ini.

Dio menghembuskan nafas panjang. Ia ingin menghibur kakak perempuannya itu namun, ia pikir ia hanya akan membuat tangis Vanesha semakin menjadi jika ia berusaha menenangkannya. Biarlah Vanesha menumpahkan rasa sakitnya saat dengan tangisnya hingga ia akan lelah dengan sendirinya.

Dio teringat, satu tahun lalu saat Gio pergi, ia bahkan terlihat lebih kacau dari Vanesha saat ini. Mengurung dirinya berhari-hari di dalam kamar dan membuat masalah dengan sekolahnya hingga ia harus mengulang kelas. Ia menyalahkan dirinya saat itu, seolah menjadi orang terbodoh di muka bumi ini, ia lalu membuat kebohongan dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Gio. Sama seperti Vanesha, ia juga kehilangan Gio dan Aksara. Bagaimanapun, Aksara tetaplah seseorang yang cukup berarti baginya.

"Lo tahu, Dio?"

Dio tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan menatap Vanesha dengan penasaran.

"Hari itu, gue pernah frustasi saat tahu lo di-bully. Gue takut lo bakal pergi ninggalin gue buat nyusul Gio tanpa pernah sekalipun terpikirkan kalau ternyata Aksara yang lebih dulu pergi."

Vanesha menarik kedua ujung bibirnya dengan air mata yang kembali mengalir. Kenyataan pahit ini, ia harus menelannya mentah-mentah hingga suatu saat tak akan terasa lagi pahitnya. Ia menyesal dan sungguh merasa bersalah telah bersikap konyol di hadapan Aksara saat itu. Ia bersikap layaknya orang gila karena takut akan kehilangan seseorang di hadapan orang yang sudah mendekati waktu untuk pergi. Ia merasa bersalah, karena ia tak pernah sekalipun takut Aksara akan pergi meninggalkannya.

Dio menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Cowok itu menarik Vanesha ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkannya.

"Semua udah berlalu, Vanesha. Gue mohon, jangan tinggal di masa lalu setelah ini. Mari kita sembuh dari segala hal yang membuat kita hancur."

***

Suara jarum jam yang berdetak dengan pelan terdengar mendominasi ruangan yang senyap itu. Hanya ada Kavin dan Sakra di ruang tengah shelter Albatros saat ini. Setelah beranjak dari pemakaman Aksara tadi, mereka memutuskan untuk pulang ke tempat ini.

Tak ada yang membuka suara sedari tadi. Keduanya hanya bergeming dalam kesenyapan dan menciptakan keheningan yang seolah akan abadi. Mereka tahu, jika mereka mulai berbicara pada akhirnya Aksaralah yang akan mereka bicarakan. Mereka juga merasa kehilangan, dan demi menjaga perasaan mereka agar tak campur aduk mereka memutuskan untuk diam dan bergelut dengan pikiran mereka sendiri.

Suara langkah kaki yang memasuki ruang tengah membuat kedua lelaki itu menoleh ke asal suara. Nampak Hidan datang dengan membawa kantung plastik berisi box di dalamnya. Laki-laki itu meletakkan box tersebut di atas meja lalu membukanya.

Sakra dan Kavin bergeming di tempatnya. Hidan membawa donat di dalam box tersebut. Itu adalah donat yang sering Aksara bawa kemari dahulu. Saat datang kemari, ia selalu membawanya lalu Kavin dan Sakra akan berebut mengambil varian rasa coklat dalam box tersebut.

Namun, jangankan untuk berebut saat ini, mengambil saja mereka sungguh tak berminat. Entah itu karena bukan Aksara yang membawa kemari atau karena... Mereka jadi teringat dengan Aksara begitu melihat donat tersebut di atas meja.

SERENITY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang