SERENITY-55

50 12 12
                                    

"Aksara... Mengidap penyakit tumor otak, Van."

"Sejak kapan?"

"Setahun lalu."

Bulir air mata meluruh dari kedua mata Ivanna begitu ia mendengar hal tersebut dari Hidan. Saat ini Aksara tengah dirawat karena kondisinya yang kian memburuk dan bodohnya, kenapa ia baru mengetahui hal ini sekarang? Setelah bertahun-tahun bahkan berbulan-bulan hanya tinggal berdua bersama Aksara, kenapa ia baru mengetahuinya sekarang? Kenapa? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Ivanna. Terus bertanya mengapa ia baru mengetahuinya sekarang?

Kenyataan ini bagai palu godam yang menghantam dadanya dengan begitu kuat hingga membuatnya merasa begitu sesak. Pantas saja, Aksara jarang pulang ke apartemen akhir-akhir ini. Ia kira Aksara memang lembur namun ternyata itu hanyalah alibi karena sebenarnya Aksara sering masuk ke rumah sakit dan dirawat karena kondisinya yang memburuk.

Ivanna seringkali merasa aneh karena Aksara tak pernah memarahinya saat pulang larut malam atau bahkan tak pulang ke apartemen. Ia kira karena Aksara yang terlalu sibuk dan terlalu lelah dengan pekerjaannya namun ternyata, hal itu karena Aksara sendiri yang jarang berada di apartemen dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit ketimbang lembur beberapa bulan terakhir.

"Maaf, Van, gue baru ngasih tahu sekarang."

Ivanna menggeleng pelan begitu Hidan melontarkan kalimat tersebut. Maaf? Untuk apa Hidan meminta maaf sedangkan ia tak melakukan apapun yang merugikannya?

"Gue yang harusnya minta maaf karena nggak tahu soal ini," balas Ivanna lirih.

"Jadi, bang Aksa di mana sekarang?" tanya Dio.

"Kamar 201," jawab Hidan.

"Kita boleh kesana, kan?" tanya Dio lagi yang kemudian dibalas dengan anggukan oleh Bu Nami dan Hidan secara bersamaan.

Dio, Ivanna, dan Hidan lantas berjalan cepat menuju kamar inap yang Aksara tempati. Sedangkan Bu Nami, wanita itu pergi keluar untuk membeli makan. Sebenarnya ia tak ingin makan, tapi ia melakukannya untuk memberi ruang pada Aksara dan Ivanna untuk berinteraksi tanpa merasa terganggu dengan adanya dirinya.

Ivanna menatap pintu kamar 201 di hadapannya dengan nanar, ia menyeka pipinya yang terasa basah. Digenggamnya handle pintu dengan erat lalu ia membukanya dengan perlahan. Gadis itu menarik kedua ujung bibirnya, ia tak boleh terlihat menyedihkan di hadapan Aksara.

Senyum yang cantik memang namun sayangnya, senyum itu justru seperti bilah pedang tipis tak kasat mata yang menyayat hati. Senyum itu hanyalah topeng, alibi dari sebuah kepedihan.

Ivanna berjalan mendekati Aksara yang juga telah menatapnya. Laki-laki terbaring lemah dengan wajah yang terlihat begitu pucat. Raut tegas yang cukup membuat Ivanna merasa takut hanya dalam sekali tatap itu entah hilang kemana.

"Kak Aksa..." lirih Ivanna. Ia menatap kedua manik Aksara dalam-dalam. "Maafin gue, Kak, gue nggak tahu kalau Kakak-"

Kalimat Ivanna terpotong saat ia merasakan sebuah sensasi hangat yang menyentuh permukaan kulit lengannya. Saat melihat ke arahnya, Aksara nampak telah menggenggam lengannya dengan lemah.

"Gue yang harusnya minta maaf, Na. Gue nyembunyiin hal ini karena gue nggak mau buat lo khawatir." Aksara berkata dengan lirih, saking lirihnya Ivanna hampir tak bisa mendengar apa yang laki-laki itu ucapkan.

"Gue tahu lo pasti marah karena nyembunyiin ini tapi, udah cukup gue buat lo khawatir, Na."

Ivanna menggigit bibir bawahnya, menyalurkan rasa sakit dalam dadanya. Ia tak marah pada Aksara menyembunyikan hal ini. Justru Ivanna marah pada dirinya sendiri karena ia tak mengetahui hal ini dari dulu dan baru mengetahuinya sekarang. Tapi apa? Apa yang bisa ia lakukan agar Aksara bisa sembuh? Ia bukanlah Tuhan yang bisa menyembuhkan segala hal, juga bukan penyihir yang bisa mengubah semua hal sesuai kemauannya.

SERENITY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang