'Jauhin aku, Van. Kalau kamu nggak mau jauhin aku biar aku yang jauhin kamu.'
Kalimat itu benar-benar terngiang di kepala Ivanna. Gadis itu seolah tak bisa memikirkan kalimat lain selain itu. Entah apa yang mendorong Dio untuk mengatakan hal itu namun, tak bisa di pungkiri Ivanna benar-benar merasa heran dan segala pertanyaan dengan jawaban yang buntu terus berputar-putar di kepalanya.
Padahal, Dio sama sekali tak pernah menolak apalagi sampai menjauhi dirinya selama ini. Namun apa ini? Cowok itu secara tiba-tiba mengatakan kalau ia akan menjauhi dirinya. Apa pemikiran Gio dan Dio telah menyatu? Atau Gio mempengaruhi Dio untuk menjauhi dirinya? Banyak sekali pertanyaan yang hendak Ivanna tanyakan namun tetap saja, semua itu hanya bisa berputar tanpa jawaban yang pasti.
"Ivanna, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor dua puluh."
Suara itu membuyarkan lamunan Ivanna. Gadis itu beralih menatap ke asal suara.
"Bisa antarkan pesanan ini ke meja nomor dua puluh?"
Ivanna mengangguk dan segera beranjak dari duduknya. Gadis itu sama sekali tak keberatan untuk mengantarkan pesanan tersebut ke meja nomor dua puluh. Namun, saat kedua kakinya telah berhenti di depan meja nomor dua puluh, ingin sekali rasanya Ivanna membanting nampan berisi pesanan di tangannya dan segera berlalu pergi. Tapi, demi sopan santun dan nama baik kafe ini, ia tentu tak akan melakukannya dan memilih untuk menyajikan pesanan dengan sopan.
"Selamat menikmati pesanan anda." ujarnya dengan sopan.
Ivanna melangkah mundur hendak segera beranjak pergi namun, sebuah suara segera menghentikannya. Suara milik seseorang yang sempat membuatnya hendak membanting pesanan yang ia bawa tadi.
"Jadi, kamu memilih ikut bersama Aksara hanya untuk menjadi seorang pelayan?"
Yap! Tanpa di tanya lagi semua orang pasti tahu siapa pemilik suara tersebut. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Dito Mahendra? Ayah kandung Ivanna sendiri.
"Mau jadi apa diriku tentu saja bukan urusanmu." balas Ivanna singkat. Tak ingin berlama-lama di sana, gadis itu beranjak dari tempatnya.
"Dan kalau ternyata Aksara bukan darah dagingku, berarti itu bukan urusanmu, bukan?"
Ivanna mematung di tempatnya. Kedua pupil matanya terlihat membesar. Perlahan, ia memutar tubuhnya dan menatap Dito dengan tak percaya.
"Apa maksud Papa?" tanya Ivanna penuh tanda tanya. Gadis itu tentu saja mempertanyakan kebenaran apakah yang barusan Ayahnya ucapkan adalah sebuah kebenaran atau hanya kebohongan semata.
"Kamu tidak paham maksud Papa?" Dito balik tanya. Tak ada jawaban dari Ivanna. Gadis itu hanya diam dan mencerna setiap perkataan yang Ayahnya ucapkan dengan harap-harap cemas.
Sedangkan Dito, laki-laki itu menatap putrinya dengan lekat. Tujuannya datang kemari memang karena hal ini. Ia hendak membicarakan sebuah kebenaran dengan putrinya.
"Aksara bukan kakak kandung kamu, Ivanna."
Tentu saja Ivanna paham dengan maksud 'darah daging' yang Dito ucapkan tadi namun, ia mempertanyakan kebenarannya. Apakah Aksara memang bukan kakak kandungnya?
Gadis itu menghela nafas pelan lantas duduk di hadapan Dito. "Papa yakin?"
Dito tertawa pelan. Seolah pertanyaan Ivanna adalah sebuah lelucon. "Kamu tidak percaya sama Papa?"
"Aku nggak akan percaya kalau nggak ada buktinya."
Dito tersenyum. Laki-laki itu meraih cangkir di atas meja lantas meminum pelan minuman yang ia pesan tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Ficção AdolescenteAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...