Langit oranye perlahan lingsir oleh langit gelap. Cuaca yang tadinya panas membuat gerah perlahan berubah sejuk menenangkan. Tak khayal jika sang sandyakala menjadi favorit kebanyakan orang untuk menenangkan diri dari segala emosi yang diredamnya sedari tadi. Itulah yang Vanesha lakukan saat ini.
Gadis itu cukup lama berdiam diri di rooftop sejak pertama kali matahari perlahan lingsir. Dengan ditemani sebotol chivas, ia semakin lama semakin nyaman seolah tak ingin beranjak dari tempatnya.
Sebenarnya, ia ada jadwal pemotretan sore ini namun, karena pikirannya yang benar-benar kacau, ia tak ingin melakukannya dan justru beralih pergi ke tempat ini. Menikmati suasana senja sembari berusaha menenangkan diri. Bagaimana pikirannya tak kacau? Bahkan setelah keluar dari ruang BK di SMA Canaya saja ia sudah ingin mengamuk. Ia ingin berteriak marah. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Ia begitu khawatir kejadian naas di masa lalu itu akan datang lagi. Ia takut, marah, benci, dan kecewa hingga perasaannya begitu campur aduk. Namun sialnya, ia hanya bisa berdiam diri di tempat ini dengan ditemani sebotol chivas, ia hanya berharap agar perasaannya lebih membaik dari sebelumnya.
"VANESHA!"
Selang beberapa detik usai seruan itu terdengar, botol chivas yang tadinya Vanesha genggam kini beralih. Gadis itu gagal meneguk minuman itu. Sebagai gantinya, ia menoleh dengan berang ke arah lelaki yang baru saja merebut botol chivas tersebut darinya.
"Stop, Van! Kamu udah minum banyak!" Aksara-lelaki tersebut- segera menjauhkan botol tersebut ketika Vanesha hendak meraihnya.
"Aku cuma mau minum, balikin!" sarkas Vanesha.
Aksara menggeleng pelan lalu ia duduk melantai di sebelah gadisnya. Ia memberikan sesuatu pada Vanesha. Satu cup choco boba kesukaan Vanesha yang kerap ia bawa tiap kali bertemu dengan Vanesha.
Gadis itu berdecak pelan melihat minuman yang Aksara ulurkan padanya. Ia berusaha mengambil alih botol chivas-nya lagi dari Aksara namun gagal. Laki-laki itu kembali menjauhkan botol minuman tersebut dari Vanesha.
"Aksaaa!" rengek Vanesha sebal.
Aksara menghela nafas panjang. Ia meletakkan minuman yang ia bawa di atas lantai lantas menarik Vanesha ke dalam pelukannya. "Tenangin diri kamu dulu, ya, habis itu cerita sama aku. Jangan kayak gini." ujar Aksara dengan lembut.
Vanesha ingin melepaskan diri dari pelukan Aksara namun kehangatan dan kenyamanan yang laki-laki itu berikan membuatnya terbuai. Matanya tiba-tiba terasa memanas, dadanya terasa sesak, dan kerongkongannya terasa begitu tercekat hingga yang mampu ia keluarkan adalah sebuah isak pelan. Tubuhnya perlahan bergetar akibat isaknya yang semakin menjadi. Lantas Aksarapun semakin mengeratkan pelukannya pada Vanesha. Ia tak ingin membuka suara barang berujar sepatah katapun sampai Vanesha yang membuka suara. Biarlah gadisnya terisak asal unek-unek yang ada perlahan memudar.
"Kamu jahat, Aksara!" seru Vanesha dalam pelukan Aksara dengan suara yang bergetar.
"Ibu kamu juga jahat!" seru Vanesha lagi. "Dunia ini penuh kejahatan-" ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kerongkongannya yang semakin terasa tercekat memaksanya untuk berhenti bersuara.
"Kamu buat Gio kehilangan posisinya! Dio dateng ambil alih diri Gio, Aksara! Adik kamu, Ivanna juga jahat, dia bergabung dengan Galvanize yang selama ini bully adikku dan jadi musuh Albatros! Padahal kamu sendiri-" Vanesha kembali tercekat. Dadanya terasa sakit. Apa yang ia ucapkan barusan sama sekali tak sejalan dengan apa yang ada di pikirannya. Namun karena perasaannya yang begitu campur aduk ia sampai tak bisa berujar dengan benar.
Aksara terdiam sejenak ditempatnya. Ivanna bergabung dengan Galvanize? Itu cukup mengejutkannya namun, akan ia lihat apa yang akan Ivanna dapat setelah bergabung dengan geng tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Fiksi RemajaAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...