***
"Sederhana. Gue, bawa lo kembali ke Om Dito dan sebagai gantinya... Lo jadi milik gue."***
Kesiur angin yang menerobos masuk melalui jendela menggerakkan rambut Ivanna yang tergerai. Gadis itu mendongak, menatap langit biru yang cerah melalui jendela kamarnya. Angin yang berembus dengan damai, dan matahari yang tersenyum dengan hangat tentu akan menjadi hari yang menyenangkan jika dinikmati dengan sekedar berjalan-jalan santai. Namun tidak, Ivanna benar-benar tak ingin melakukan itu. Sedari semalam ia hanya menangis dan meratapi kebodohannya.Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Menerawang udara kosong dihadapannya.
Semua terasa begitu cepat terjadi. Entah berapa bulan tepatnya tapi tiba-tiba saja ia telah kembali berada di ruang kamar ini. Seingatnya, ia meninggalkan nuansa lilac di ruangan ini terakhir kali. Kini, ruangan yang tadinya bernuansa lilac itu telah tergantikan dengan nuansa silver yang kelabu. Sekelabu dirinya saat ini.
Ivanna menyeka ujung matanya yang basah. Ia buru-buru menghapus cairan kristal bening yang keluar dari pelupuk matanya begitu ia mendengar suara pintu yang terbuka. Nampak seorang wanita datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman di atasnya. Lyana, wanita itu tersenyum tipis melihat Ivanna yang duduk dengan menekuk lutut di depan sofa yang berhadapan dengan jendela.
"Kamu nggak papa, Ivanna?" tanya Lyana pelan setelah menaruh nampannya di atas meja dan duduk di hadapan Ivanna.
Tak ada jawaban dari Ivanna membuat Lyana sedikit merasa tak enak. "M-maaf, Mama salah bicara." ujarnya segera. Bahkan tanpa dikasih tahupun semua orang akan paham Ivanna baik-baik saja atau tidak.
Sebenarnya Lyana tak tahu Ivanna akan memanggilnya seperti apa. Namun karena Evanna biasa memanggilnya demikian, ia memantaskan diri untuk memanggil dirinya dengan sebutan 'Mama'.
"Mama tahu, kamu pasti merasa terpuruk saat ini. Banyak masalah yang harus kamu dapati tapi, kamu juga harus menjaga kesehatan, kamu belum makan sejak kemarin, Ivanna."
Lyana jelas mengkhawatirkan Ivanna. Gadis itu mengurung dirinya di dalam kamar sedari kemarin dan tak keluar barang sekali hanya untuk makan. Ia khawatir Ivanna akan jatuh sakit.
"Mama tidak tahu seberapa banyak dan seberapa rumitnya masalah ini bagi kamu. Tapi dengan bangga Mama akui kamu gadis yang hebat karena tetap bertahan dengan semua itu."
Air mata Ivanna kontan meleleh begitu mendengar kalimat terakhir yang Lyana lontarkan. Kalimat itu memang sebuah pujian namun, sepintas justru menjadi pedang tak kasat mata yang menusuk relung hatinya. Gadis itu sendiri merasa bahwa dirinya begitu lemah. Kuat? Itu hanya berlaku di kedua mata Lyana. Tidak pada kenyataannya. Ia merasa begitu lelah dengan semua ini. Merasa kesal, marah, kecewa, dan putus asa yang bercampur aduk menjadi satu hingga yang terujung hanya perasaan muak. Ia lantas buru-buru menyeka pipinya yang basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Novela JuvenilAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...