Chapter 46 - Keputusasaan

1.1K 112 7
                                    

Author's POV

Dua orang perempuan melangkah masuk ke lorong rumah sakit yang dingin. Dalam setiap langkah, kecemasan semakin terasa di udara. Mereka berdua menuju ruang perawatan intensif, tempat Fani berjuang untuk pulih setelah mengalami kecelakaan yang mengguncang.

Melalui pintu kaca Alena dan Viera dapat melihat Fani terbaring di tempat tidur dikelilingi oleh peralatan medis yang membuat suasana semakin suram. Tatapan mata Alena berhenti pada perban-perban yang membalut tubuh mamanya.

Alena berusaha menahan isak tangisnya melihat itu semua, tetapi tak lama kemudian air mata mulai mengalir tak tertahankan.

Viera mendekati Alena dengan penuh kepedulian, mencoba memberikan dukungan dengan menyentuh pelan bahunya. "Alena... tenang dulu ya, dokter lagi berusaha ngobatin Tante Fani di dalam."

Mereka berdua saling memandang, merasakan kehancuran emosional yang sama. Suasana terasa begitu tegang, seakan-akan waktu berhenti sejenak di saat-saat sulit ini.

Alena meratapi kondisi Fani dengan kata-kata getir. Ia mencoba mencerna kenyataan bahwa mamanya yang selalu kuat dan penuh kasih sekarang terbaring lemah dan rentan. Setiap isak tangisnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam dan keinginan kuat untuk melihat mamanya pulih kembali.

"Viera, gue... gue takut. Pikiran buruk atas kondisi Mama selalu terngiang-ngiang di kepala gue sekarang."

Mendengar perkataan Alena, Viera lantas menggenggam tangannya erat. "Alena, aku ngerti. Kamu harus tetep kuat untuk Tante Fani. Dia pasti bisa ngerasain keberadaan kita di sini."

Tubuh Alena semakin melemas rasanya. Dengan sigap Viera menariknya duduk di kursi tunggu.

"Kenapa ini terjadi, Vi? Kenapa Mama harus ngalamin kejadian buruk kayak gini?" Alena bertanya seiring kepalanya yang semakin menunduk. Keputusasaan mulai menyelimuti dirinya.

"Ini udah takdir. Tapi kita harus percaya kalau dokter pasti akan ngelakuin yang terbaik. Tante Fani kuat, dan kita harus jadi sumber kekuatan buat dia."

Alena menggeleng cepat. "Tapi gimana kalau kondisi Mama parah dan dia gak bisa pulih? Gimana kalau gue kehilangan Mama? Gue gak sanggup bayangin itu semua."

Viera dengan sekuat tenaga menarik wajah Alena agar perhatian perempuan itu terfokus padanya. Dilihatnya dengan lekat-lekat mata monolid yang kini sembab karena menangis.

"Alena, jangan ngomong gitu. Kita belum tau apa yang sebenarnya terjadi. Yang bisa kita lakuin sekarang adalah berdoa buat Tante Fani sebanyak mungkin. Jangan biarin ketakutan nguasain diri kamu dan coba untuk berpikir positif."

"Gue tau, Vi. Tapi rasanya sulit untuk berpikir positif di saat semuanya kerasa begitu gelap."

Viera mengangguk mengerti. "Sekarang, kita perlu percaya sama tim medis dan berdoa untuk yang terbaik."

Waktu berjalan dengan lambat di ruang tunggu rumah sakit. Ketakutan dan ketegangan juga masih melingkupi Viera dan Alena hingga detik ini. Viera menyadari, mata Alena tak bisa lepas dari pintu ruang IGD yang menjadi sumber harapan dan kekhawatirannya.

Alena memandang jam di tangannya, sementara detik berlalu seperti jamuan waktu yang tak kunjung berakhir. Viera meraih tangan Alena, mencoba memberi sedikit kekuatan dalam genggaman itu. Tatapannya masih sama, berharap bahwa kabar baik akan segera datang mengakhiri kekhawatirannya.

Saat pintu akhirnya terbuka, hati mereka berdua berdegup lebih kencang. Dokter keluar dengan ekspresi serius membuat suasana semakin tegang. Alena menelan ludah, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Mereka menanti dengan napas tertahan, siap menerima apa pun hasilnya.

Love Struggle (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang