(17) overthinking

1.9K 211 37
                                    

Helaan nafas panjang yang berat kembali terdengar. Jihoon menatap kosong jendela kamarnya yang biaskan panas sinar mentari yang mulai naik ke atas kepala. Kamarnya sunyi setelah pagi tadi Junkyu berangkat bekerja, namun tidak dengan isi kepalanya yang sudah diributkan oleh berbagai macam pikiran dan prasangka.

Ia akhirnya mengangkat diri, bangun dan beranjak keluar dari ruang pribadinya. Saat menuruni tangga, yang dapat ia lihat hanyalah ruangan kosong yang hanya diisi oleh beberapa sofa dan meja. Sebuah kekosongan yang memprihatinkan. Ia mengerti sekarang kenapa ibunya tidak suka rumah besar seperti ini. Kehidupan di dalamnya tak begitu tampak, bahkan walaupun ada sekitar lima pelayan dan dua satpam serta supir di rumah ini.

"Kak Sana!" Jihoon mempercepat langkah demi hampiri Sana yang baru saja lewat-ingin pergi ke dapur.

"Iya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?"

Langkah kakinya terhenti seketika. Wajahnya berubah kesal seketika mendengar bagaimana Sana memanggilnya. Wanita itu tertawa melihat reaksi lucu Jihoon. Dengan gemas ia mencubit pipi tembem Jihoon yang walaupun langsung ditepis dengan kesal oleh Jihoon.

"Bercanda, iya Tuan Muda, ada apa?" tanyanya ulang masih berikan candaan yang buat Jihoon semakin menekuk wajah; ia tak pernah suka dengan bagaimana semua panggilan formal itu disematkan padanya.

"Kak, aku mau nanya, penting! Mama mertua itu sering ke sini gak?"

"Maksudnya Nyonya Jisoo? Hampir tidak pernah ke sini," jawabnya dengan yakin. "Biasanya Tuan Junkyu yang diminta datang ke sana," tambahnya lagi.

Jihoon mengangguk. Yah, setidaknya ia tak akan sering bertemu dengan ibu mertuanya itu. Beruntung juga baginya karena Junkyu sudah memiliki rumah sendiri, entah bagaimana jadinya jika ia harus satu rumah dengan ibu mertuanya yang menyeramkan tersebut.

"Kalo gitu aku pergi ya, kalo suami aku pulang dan nanyain aku, bilang aja aku ke rumah Mama."

"Baik." Sana mengangguk, lantas berlalu pergi saat Jihoon juga mulai beranjak tinggalkan rumah.

Walaupun katakan akan pergi ke rumah ibunya namun Jihoon tidak benar-benar pergi ke sana. Ia meminta supir yang mengantarkannya untuk pergi ke cafe milik Yoshi.

"Yoshi!"

Dentingan lonceng di atas pintu buat si penjaga kasir menoleh dengan terkejut. Matanya bertatapan dengan manik bening Jihoon yang pancarkan kebingungan sebagaimana ia kini. Jihoon memperhatikannya dengan seksama seraya berjalan mendekat.

"Yoshi? Lo kok ganti muka?"

Asahi, remaja SMA yang baru beberapa hari bekerja di sana itu menatap aneh Jihoon dan pertanyaan anehnya. Ia menggeleng. "Bukan, saya Asahi, bukan Yoshi," katanya kemudian berusaha ramah walaupun pikirannya sudah kemana-mana tentang pria di depannya ini.

"Aaah, orang yang kerja part time di sini, Yoshi mana?"

"Ada di belakang, katanya tadi mau-"

"Apa!?" Yoshi keluar sambil menyahuti panggilan Jihoon sebelumnya. Ia berdiri di balik meja konter bersebelahan dengan Asahi. "Mau pesan sesuatu?" tanyanya kemudian.

"Gak!" Jihoon menyentak dengan sebal. "Tapi kita bisa ngobrol bentar gak, ada yang penting," ucapnya sedikit memohon. Yoshi tampak berpikir sejenak.

"Bisa, tapi lo harus pesen dulu, selayaknya pelanggan yang lain," katanya. Jihoon melotot, tak menyangka Yoshi kini tetapkan aturan aneh itu padanya juga.

"Yaudah, aku mau es krim tiga rasa, kasih toping yang banyak, tambahin karamelnya, gak usah dikasih coklat, es krimnya juga jangan yang coklat, sama toast-nya satu, jangan dikasih mayones, seledrinya dikit aja, dan tolong rotinya dibuat agak lebih renyah tapi jangan gosong, sama tolong air mineralnya satu, aku bayar pakai kartu." Jihoon selesaikan pesanannya seraya keluarkan kartu pembayaran yang kemarin Junkyu berikan padanya. Asahi sampai kesulitan mencatat semua pesanan Jihoon yang penuh syarat yang berderet tanpa akhir.

Sweet Love [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang