Siang itu Jihoon kembali murung dengan wajah cemberut. Bibirnya berulang kali bergumam kalimat-kalimat yang dengan sengaja dikeraskan agar suaminya dapat mendengarnya dengan jelas. Sementara Junkyu yang mendengar segala keluh kesah istrinya itu hanya bisa mendesah pasrah.
Ia tahu ia lebih menyukai Jihoon yang berisik dan banyak bicara daripada yang murung dan menangis seharian karena rasa bersalah. Tapi ini terlalu berlebihan. Sejak pagi tadi Jihoon sudah mengomelinya yang sedang bersiap untuk pergi keluar kota mengurus pekerjaannya.
"Saya kan udah bilang, kalau kamu mau ikut, ya ayo, jangan ngedumel terus," lelah juga telinganya mendengar kata-kata Jihoon yang secara tak langsung mengomelinya.
Masih untung jika Jihoon mengomelinya karena ia memang melakukan kesalahan, tapi ini, ia bahkan tak melakukan apa pun selain hanya mengepak kopernya yang dari kemarin tak kunjung selesai karena Jihoon yang terus mencegahnya dari mengemasi barang-barangnya. Sekarang waktunya hanya tinggal sedikit karena sore nanti ia sudah harus berangkat.
"Gak mau!"
Itu dia. Itulah yang membuat Junkyu jengah. Jihoon terus menolak untuk ikut tapi juga tidak mau ditinggal. Ia jadi bingung. Apakah ia harus membelah diri layaknya amoeba hanya demi penuhi tanggung jawabnya pada pekerjaan dan turuti kehendak istrinya?
Jihoon melengos. Sambil bersedakep dada ia bergerak membelakangi Junkyu, masih dengan wajah cemberutnya yang dipertahankan.
"Lagian dulu katanya kamu gak akan pernah ada kerjaan yang harus pergi-pergi jauh, tapi sekarang malah mau pergi keluar kota. Pembohong."
Sekali lagi Junkyu membuang nafas dengan berat. Ia lantas kembali tinggalkan sejenak kopernya. "Itu kan rencana awalnya, tapi sekarang gak bisa, Papa udah pengen pensiun aja dan semuanya ini bakal jadi tanggung jawab saya sepenuhnya."
"Kenapa harus kamu?!" Jihoon berbalik. Secara terkejut ia dihadapkan langsung dengan wajah suaminya. Wajahnya kembali dipalingkan.
"Karena," Junkyu meraih wajah Jihoon, lalu membuatnya mendongak dan balas tatapan matanya. "Saya rasa saya gak bisa andelin Doyoung buat ambil alih perusahaan nantinya. Tadinya saya emang gak mau ambil alih perusahaan Papa, tapi kalau bukan saya terus siapa?"
"Kan ada Doyoung?! Bisa aja sekarang dia gak mau tapi nanti berubah pikiran jadi mau. Emangnya mimpin perusahaan ini juga kemauan kamu?! Kan enggak!"
Pertanyaan itu buat Junkyu ulas sebuah senyum tanpa arti. Ia jadi bertanya-tanya, apakah Jihoon bisa membaca pikirannya sekarang?
"Ya, kamu juga tahu saya pernah jadi asisten dosen kan?" Jihoon mengangguk cepat. Wajahnya masih cemberut sendu. "Karena memang sebenarnya perusahaan ini bukan mimpi saya, tapi sekarang saya udah gak punya pilihan lain. Doyoung sepertinya sudah punya rencana lain untuk hidupnya ke depannya, saya gak mau ganggu impian dia."
Jihoon mengerutkan alis. "Jadi sebenarnya kamu pengannya jadi dosen?"
"Kurang lebih," jawab Junkyu singkat.
Jihoon mendesis kesal. Ingin marah. Namun alasan yang digunakan suaminya itu membuatnya tak bisa marah sedikit pun.
"Jadi gimana, kamu mau ikut? Gak apa-apa kok, dulu Mama juga sering ikut Papa dinas keluar, kalau sekarang kamu mau ikut, Papa juga gak akan keberatan kok."
"Papa? Jadi Papa bakal ikut sama kamu keluar kota ini?"
Junkyu mengangguk. Dan yang terjadi kemudian justru membuat Junkyu terdiam terheran. Karena Jihoon justru langsung pancarkan sumigrah di wajahnya dan tersenyum lebar.
"Kok gak bilang sih, yaudah kamu berangkat aja, ayo sini aku bantuin packing," Jihoon segera meluncur ke koper Junkyu untuk membantu menata isinya. Sementara Junkyu masih keheranan di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Love [ kyuhoon ]
FanfictionB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Tujuan awalnya adalah untuk memanfaatkan uang yang dimiliki suaminya untuk pengobatan ibunya dan juga untuk memperbaiki keuangannya yang kian memburuk setelah kepergian ayahnya. Namun kini perasaannya justru terbuai aka...