(44) teman untuk menghibur

1.6K 194 70
                                    

Mimpi terburuknya terjadi. Meskipun bahkan dalam mimpi sekalipun Jihoon tak sudi membayangkan, tapi di sinilah ia sekarang. Kembali berdiri di tengah tanah lapang yang dipenuhi oleh gundukan tanah yang tingginya tak sampai setengah kakinya. Di antara hamparan rumput hijau yang belakangan mulai jarang ia kunjungi karena alasan kehamilannya yang membuatnya malas bepergian. Namun sekarang ia kembali kemari untuk sekali lagi kuburkan cintanya. Bersisian dengan makam kedua orang tuanya.

Hatinya kembali terpuruk. Sama seperti kala satu per satu orang tuanya pergi meninggalkannya. Namun sakitnya kini melebihi sakitnya yang sebelumnya. Jihoon tak pernah mengira bahwa kehilangan anak yang bahkan belum sempat ia lihat bagaimana rupanya itu dapat mematahkan hatinya sedalam ini. Perasaan sedih dan kecewanya bahkan membuatnya tak dapat membuka mata untuk menyapa suaminya di kala pagi dan ucapkan selamat malam kala waktu tidur tiba.

Junkyu tahu Jihoon tengah alami masa sulit yang bahkan mungkin lebih berat darinya meskipun ia juga sama merasa kehilangan. Sama seperti saat kepergian ibunya tahun lalu, Jihoon kembali menyendiri dan terus menghindarinya. Bahkan dari kembalinya mereka dari rumah sakit setelah kondisi Jihoon membaik pun Jihoon sudah tunjukkan gelagat enggan bicara dengannya.

"Maaf ya, aku udah kecewain semua orang," kata Jihoon sesaat setelah mereka memasuki rumah hari itu. Sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar dan menolak meninggalkan ranjang.

Jujur saja Junkyu tak tahu lagi bagaimana harus menghibur Jihoon karena di saat yang bersamaan ia sendiri juga perlu dihibur dan ditenangkan. Rumah tangganya kembali dilanda murung akibat kabar duka dan kali ini Junkyu tak lagi punya tenaga untuk menghibur istrinya. Apalagi ditambah pekerjaannya yang tak mau berikan cuti padanya membuatnya mau tak mau kerap tinggalkan Jihoon sendirian di rumah.

Hari telah beranjak petang. Jadwal pulang Junkyu telah lewat sejak dua jam yang lalu namun Jihoon masih belum juga temukan tanda-tanda kepulangan Junkyu. Pikirannya mendadak risau akan kemana suaminya itu pergi. Namun jemarinya tetap enggan untuk mendial nomor sang suami dan menghubunginya untuk tanyakan keberadaannya kini.

Di tengah lamunannya itu ponselnya tiba-tiba berdering. Jihoon buru-buru meraihnya, dalam hati berharap bahwa nama Junkyu lah yang tertera di layar ponselnya. Namun daripada tampakkan nama 'suamiku punyaku'-sebagaimana ia menamai Junkyu si ponselnya selama ini, layar yang sedikit berkedip itu justru lampirkan sederet nomor asing.

Bingung. Namun Jihoon akhirnya tetap menerima panggilan tersebut. "Halo?" sapanya sedikit ragu.

["Lama banget, apa kabar lo?"]

Detik itu juga hatinya terhenyak. Suara itu jelas tak asing. Ditambah nada menyebalkan yang menyertai kata-katanya itu seluruhnya mengingatkannya pada sang kawan baik; Yoshi.

"Yoshi?"

["Siapa lagi."]

"Kok lo beneran ganti nomor sih?!"

Di seberang sana terdengar suara kekehan Yoshi yang entah kenapa justru cukup membingungkan hati. Terdengar sendu, tak seperti Yoshi yang ia tahu.

["Lo kedengaran baik-baik aja ya, buktinya masih bisa marah-marah."]

Jihoon mengerutkan kening. "Maksudnya? Emang kenapa gue harus gak baik-baik aja?"

["Katanya gitu. Gue denger kabar lo, gue harap lo gak terlalu overthinking. Gue turut berduka."]

Jihoon diam. Air matanya jatuh secara perlahan tanpa dapat dikendalikan. "Gue..., baik-baik aja, makasih udah telfon...," suaranya lirih, hampir tak terdengar meskipun ponselnya sudah menempel pada telinga.

["Oh, kalau lo udah baik-baik aja, telfonnya gue matiin ya, gak enak juga sama suami lo."]

"Kok dimatiin?! Jangan!"

Sweet Love [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang