(54) siapa yang harus mengalah

1.6K 183 36
                                    

Kursor di layar laptopnya hanya berkedip tanpa adanya kemajuan. Seluruh lembaran pekerjaannya terbuka tanpa disentuh. Pikirannya berkecamuk tanpa mampu temukan jalan keluar. Pusat pikirannya kini hanya tertuju pada satu tempat, yaitu Jihoon.

Junkyu menoleh, menatap kosong pintu ruangannya yang masih dibiarkan terbuka. Ia lantas beranjak tinggalkan kursi lelahnya. Langkah kakinya membawanya naik ke lantai dua untuk mengecek kamarnya. Di kamarnya sana, Junkyu mengecek ke setiap sudut sampai ke dalam kamar mandi dan lemari untuk mencari keberadaan istrinya.

Namun tak ada apa pun yang ia temukan. Langit di luar sana sudah mulai menggelap. Bukan hanya karena mentari yang telah undur diri, tetapi juga karena langit yang kian mendung.

Hatinya tak bisa tak cemas apalagi saat setelah ia menelisik seisi rumah dan tak juga temukan keberadaan Jihoon. Setelah mencoba untuk meneleponnya dan ternyata Jihoon meninggalkan ponselnya di kamar, maka makin paniklah Junkyu.

"Sana, kamu tahu Jihoon pergi kemana? Saya cari dia dari tadi gak ketemu."

Si pelayan rumah yang sedang menyiapkan makan malam bersama yang lain itu berhenti sejenak. "Sepertinya tadi Tuan Jihoon pergi ke halaman belakang, saya belum melihatnya lagi sejak tadi siang."

Setelah dapat informasi tersebut Junkyu memburu langkah kakinya menuju halaman belakang rumahnya. Tempat di mana Jihoon menciptakan kebun bunganya sendiri. Halaman yang hanya diterangi oleh beberapa lampu netral yang tak terang.

Junkyu celingukan mencari keberadaan Jihoon sambil sesekali memanggil namanya. Halaman itu tak seberapa luas sebenarnya, hanya saja kini halamannya dipenuhi oleh berbagai macam tanaman yang bisa saja jadi tempat sembunyi Jihoon.

"Jihoon," panggilannya tak berakhir. Langit mulai bergemuruh, begitu juga jantungnya saat tak kunjung temukan keberadaan istrinya.

Di samping sebuah pot bunga besar, saat Junkyu akan kembali masuk ke dalam rumah, ia menemukan Jihoon berjongkok dengan kaki telanjang dan kepala menunduk dalam lipatan tangannya. Junkyu segera menghampirinya.

"Jihoon, sayang, kamu di sini dari tadi?"

Tubuhnya sedikit diguncang. Perlahan Jihoon mengangkat kepalanya, perlihatkan wajah sembabnya dengan mata bengkak habis menangis dan bibir pucat. Tatapan matanya sayu, hampir tak dapat mengangkat kelopak matanya sendiri.

"Jihoon, kamu gak apa-apa? Kamu denger saya kan?" Panik melanda seketika. Junkyu mengusap pipi sampai mata Jihoon dengan lembut, berusaha pastikan bahwa Jihoon masih sadarkan diri.

"Pak...," lirih suaranya keluar bercampur serak yang menganggu tenggorokannya. "Maaf, kalau aku keras kepala," ucapnya yang langsung disusul setetes air mata membasahi pipinya.

Junkyu terpaku. Hatinya berdenyut nyeri begitu mendengar permintaan maaf yang terdengar sarat akan keputusasaan. Jemarinya lantas menghapus tetesan air mata yang masih berlanjut menuruni pipi Jihoon.

"Kenapa kamu minta maaf, saya yang harusnya minta maaf. Maaf karena memaksakan kemauan saya, saya gak akan maksa lagi, sekarang terserah kamu aja kamu mau gimana, saya gak akan maksa kamu buat cuti."

Jihoon justru menggeleng. "Enggak, aku mau cuti aja, mungkin bener apa kata kamu. Aku gak mau kita berantem lagi," ucapnya sedikit tersendat oleh nafasnya sendiri yang masih pendek-pendek.

Jihoon mengulurkan lengannya dan lantas memeluk Junkyu. Junkyu balas memeluknya dan mengusap pelan punggungnya yang kembali bergetar. Dapat pula ia rasakan suhu tubuh Jihoon yang terasa hangat saat menyentuh kulitnya.

"Aku nurut apa kata kamu aja," ucapnya lagi berbisik di samping telinga Junkyu.

"Kamu yakin? Saya gak mau kamu ngeiyain semuanya karena terpaksa, kamu bisa tetep kuliah dulu kalau kamu mau."

Sweet Love [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang