32. Persiapan Pindah

22.4K 1.2K 19
                                    

Blue bergerak bolak balik di dalam kamar nya seperti setrikaan dari kanan ke kiri. Tangannya menyentuh bibirnya, Arthur tak main-main dengan ucapannya. Ia benar-benar membuat Blue terbiasa dengan bibir pria itu.

"Sial, dia sengaja melakukan itu" teriak Blue kesal terutama pada dirinya yang seakan bodoh diam saja di perlakukan seperti itu.

"Bibirnya sudah di obral pada banyak wanita, tapi kenapa aku menikmati nya?" Ia meremas rambut nya frustasi, ia tak menolak itu karena Arthur memang jago dalam berciuman. Ia terlena sesaat.

Kepalanya tambah pusing, apalagi ketika mengingat ia harus memikirkan alasan untuk Ayahnya, agar bisa keluar dari rumah ini. Ia harus bisa mencari alasan yang tidak membuat Ibu tirinya itu curiga.

Apalagi tenggat waktu yang diberikan Arthur hanya sampai besok itu artinya malam ini ia harus berhasil meminta izin. Ia bisa beralasan agar dekat dengan kantor, tapi Ibu tirinya pasti akan mencari tau atau lebih buruk mungkin orang ini akan mengunjungi apartemennya.

"Haaaah" Blue menghela napas panjang, kenapa bisa di antara semua orang, suaminya itu Arthur? Apa sedikit sekali jumlah pria di dunia ini?

Kenapa harus playboy kota dengan banyak wanita itu. Belum lagi salah satu wanita Arthur adalah Angel, rival lamanya. Komplit sudah permasalahan hidup nya.

Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Blue yang bercabang banyak itu.

Knock knock

"Permisi nona, anda sudah di tunggu di meja makan" ucap salah satu art rumah yang di balas anggukan oleh Blue.

"Terima kasih Bik, saya turun sebentar lagi" balas sopan Blue, jauh berbeda dengan ekspresi runyamnya tadi.

"Baik non"

Oke ini waktunya

*.:.*.:.*

Meja makan seperti hari biasanya penuh dengan hidangan gurih, asam, pedas yang tersaji begitu mencolok.

Blue duduk makan dengan tenang seperti biasa, dan entah kenapa juga suasana Hazel terlihat begitu baik.

Walaupun makan dengan pelan, sebenarnya ia tak bisa begitu menelan makanannya. Beban pikiran hidup ini ikut membebani perut nya. Alhasil ia hanya bersikap sopan saja dengan perlahan menyuap makanan.

Lebih baik ia berbicara dengan Ayahnya setelah makan saja, agar tak ada gangguan sama sekali dari ibu tirinya ini.

Mengelap bibirnya, "Ayah, bisa kita bicara berdua? Ada yang ingin aku bicarakan"

Eden terdiam sebentar dan akhirnya mengeluarkan suara, "Setelah makan pergilah ke ruang kerja Ayah"

Blue mengangguk mengiyakan, saat itu juga ia merasakan pandangan bertanya dari Diana dan Hazel tapi mereka juga tak bertanya lebih lanjut.

*.:.*.:.*

Memasuki ruang kerja Ayahnya, Eden sudah duduk di sofa menunggunya. Ruang kerja dengan dominan warna coklat kayu itu terasa gelap karena lampu kuning yang berpendar. Jendela di belakang Eden terbuka memperlihatkan langit malam yang gelap tanpa bintang dengan gorden terbuka.

Melihat Blue datang, Eden membuka mulut, "Duduklah Blue"
Blue melangkah mendekat pada sofa di ruangan itu lalu duduk dengan teh dan cemilan kue yang sudah mengisi meja persegi di depannya.

Blue mengambil kue coklat dengan butiran coco chips di atasnya yang melebur manis di lidah.

"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Eden setelah melihat putrinya itu terlihat nyaman untuk bicara.

Menyelesaikan kunyahannya, Blue menatap Ayahnya, "Hm, akhir-akhir ini pekerjaan kantor lumayan banyak. Jadi aku berpikir lebih baik untuk tinggal dekat dengan perusahaan Ayah. Aku ingin meminta izin untuk tinggal di luar, di apartemen yang dekat dengan kantor" ucapnya pelan dengan nada tenang agar terdengar makin meyakinkan dan tak menimbulkan rasa curiga.

Alasan Ku MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang