CHAPTER 7

37.2K 2.8K 10
                                    

Sinar matahari pagi yang lembut memancar melalui celah jendela ruang kerajaan tempat seorang pria sedang berada di sana. Di hadapannya sebuah peta yang menggambarkan puncak-puncak anggun Pegunungan Flamberge yang terbentang.

 Dengan menggunakan baju kesatria berwarna hitam yang melapisi tubuh kekarnya serta jubah berwarna merah pekat yang tersampir di kedua pundaknya. Tak lain dan tak bukan pria tersebut adalah Lucian Arcturus Vortexblade.

Pria yang nyandang gelar sebagai putra mahkota itu berdiri di atas lantai marmer yang megah. Merenungkan rute yang harus diambilnya dalam perjalanan menuju Pegunungan Flamberge. 

Di atas meja yang tak jauh dari peta dia menatap sebuah pedang berukir dengan simbol-simbol kuno yang telah diteruskan dari generasi ke generasi dalam keluarganya. Pedang tersebut adalah salah satu benda peninggalan leluhur Emberlyn yang diyakini memiliki kekuatan magis yang kuat.

Saat itulah seorang kesatria memasuki ruangan tersebut, membungkukkan diri dengan hormat. "Yang Mulia." Panggil kesatria tersebut. "Semuanya sudah siap ditempat, yang mulia."

Lucian menganggukkan kepalanya mengerti. Memasukkan pedang dengan ukiran simbol-simbol pada Scabbard yang berada di pinggangnya. Berjalan keluar mendahului yang diikuti kesatria tersebut.

Sedangkan para pelayan membungkukkan tubuhnya negitu Lucian berjalan melewati mereka. Lantas Lucian memeriksa kembali keamanan kuda yang akan ditungganginya. Namun, seketika sebuah interupsi mengalihkan fokusnya.

"Kau akan pergi sekarang, Putraku?"

"Iya, Baginda."

"Berhati-hatilah, aku mempercayaimu untuk membawa benda tersebut."

Lucian membungkuk hormat. "Ijinkan saya dan para kesatria lainnya pergi, Baginda."

Arcturus yang merupakan kaisar saat ini menganggukkan kepalanya. Mengijinkan putra semata wayangnya untuk pergi meninggalkan istana demi mencari benda peninggalan yang ditinggalkan oleh para leluhur Emberlyn menurut ramalan Archiepiscopus. 

Dengan tekad serta ambisiusnya Lucian menawarkan dirinya sendiri untuk mencari benda tersebut. Meskipun saat itu dia telah menurunkan titahnya pada salah satu pengabdinya.

*****

Setelah melewati hutan yang rimbun dan berliku-liku serta malam yang panjang dengan penuh bahaya. Sera menemukan sungai yang dimaksud para bandit tersebut. Suara gemericik air yang mengalir mengundang mereka untuk mendekat.

Sebagai oasis yang mendamaikan setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dengan tubuh mereka yang terasa berdebu dan lelah, keduanya merasa sangat bersyukur menemukan sumber air ini.

Sera merendam telapak tangannya dalam air sejuk sungai merasakan kelembutan aliran air yang menyentuh kulit. Dalam setiap tegukannya rasa segar itu menyegarkan tenggorokan dan mengembalikan semangatnya.

Tak jauh darinya, kuda kesayangannya yaitu Storm tengah meminum air tersebut. Sepertinya kuda kesayangannya sangat kehausan. Melihat bagaimana kuda jantan hitam legam tersebut tanpa henti meminumnya.

"Sangat kehausan sekali rupanya dirimu." Kekeh Sera.

Ia menghirup napas dalam-dalam. Merasakan semilir angin yang bermain di antara rambutnya. Saat ia duduk bersebelahan di pinggiran Sungai dengan kaki yang terendam dalam air. Namun, di tengah ketenangan dan keindahan itu ada sesuatu yang mengganggu.

Dengan naluri yang tajam ia mendengar sesuatu yang berbeda selain suara gemericik air. Suara yang seperti serak-serak kesakitan.

Hampir tak terdengar namun cukup nyaring untuk menarik perhatiannya. Ia memandang ke sekitarnya dengan kehati-hatian mencari sumber suara tersebut.

The Conqueror of Blades and HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang