Chapter 11 - Panik

28 5 0
                                    

Happy reading
×××

Akhirnya aku sudah bisa mulai mengendarai motor kesayanganku. Memang aku belum cukup umur sih untuk mengendarai motor. Tetapi mau bagaimana lagi, rumahku jauh dari Niskala dan Papaku juga malas mengantar. Jadinya daripada aku tidak berangkat sekolah lebih baik mengendarai motor sendiri. Di Niskala juga tidak ada peraturan yang belum memiliki SIM tidak diperbolehkan mengendarai motor ke sekolah.

Seperti hari-hari sebelumnya --sebelum motorku kehabisan oli--, aku selalu berangkat bersama adikku. Memang sepertinya Papa dan Mamaku selalu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang jauh dari rumah, minimal menyita waktu selama 10 menit itu saja hanya berangkatnya. Sedangkan aku menghabiskan waktu 15 menit perjalanan untuk bisa sampai di Niskala. Bagi kami yang tinggal di kota kecil waktu tempuh 15 menit itu tergolong lama.

Satu kesalahanku pagi ini, bangun kesiangan di hari senin. Membuat aku harus grusak-grusuk kesana kemari kebingungan sendiri harus mengambil apa. Alhasil berdampak pada berangkatku yang juga molor. Jalanan yang hari ini padat juga membuat aku panik sendiri takut jika nantinya aku akan terlambat masuk sekolah. Aku melajukan motorku menyalip kendaraan yang satu dengan kendaraan yang lain.

Ciittt...

Brakkk...

Aku shok, satu sisi motorku menabrak angkutan umum yang melambat untuk menaikkan penumpang. Aisha terjatuh karena motorku yang memiring ke kiri. Aku bertambah panik ketika banyak orang membantuku untuk bangkit dan menepikan motorku, sedangkan angkota tadi sudah melaju pergi tanpa meminta pertanggungjawaban dariku yang sudah menabrak angkutan umum itu.

Ditengah otakku yang blank aku menelfon orang rumahku. Aisha yang menangis dalam diam juga membuatku bertambah panik. Aku menutupi kepanikanku dengan mencoba tetap tenang ketika ditanyai oleh beberapa orang yang ikut menolongku.

"Mama, aku jatuh." Segera saja aku mengatakannya pada Mama.

"Hah dimana? Kok bisa."

"Di depan Pukesmas, aku nabrak angkota."

"Tunggu dulu disana."

Tut..

Disebrang sana Mama terdengar sedang berbicara dengan Papa dengan nada paniknya, aku akan terima saja bila nanti aku diceramahi oleh Mama dan Papa. Toh ini juga salahku sendiri.

Aku merangkul Aisha yang menangis, menenangkannya agar bersabar karena sebentar lagi Papa dan Mama akan datang. Orang-orang yang berkerumun menolongku juga satu persatu mulai pergi, kembali ke pekerjaaan mereka masing-masing. Tidak sampai 5 menit, Papa dan Mama akhirnya datang. Mama langsung saja memeluk Aisha yang menangis.

"Aisha pulang aja, aku mau berangkat sekolah. Ada ulangan hari ini." Papa dan Mama tidak mencoba melarang keinginanku, untung saja motorku walaupun remuk bagian body sampingnya masih bisa menyala jadi aku bisa berangkat diantar Papa lalu Mama serta Aisha pulang ke rumah menggunakan motorku.

Waktunya sangat amat mepet, aku hanya bisa berdoa di dalam hati semoga aku tidak jatuh tertimpa tangga pula karena terlambat masuk sekolah. Akhirnya aku sampai di Niskala setelah menempuh perjalanan 10 menit yang terasa amat sangat lama. Aku berpamitan kepada Papa lalu berjalan cepat menuju ke kelasku karena sebentar lagi upacara akan berlangsung, alasan lainnya adalah karena air mataku sudah akan meleleh.

"Cyraa" Bagai menemukan kayu apung, aku segera saja menuju ke arah Cyra yang masih terduduk dengan rapi di kursinya tanpa ada niatan untuk turun ke lapangan upacara. Cyra terlihat kebingungan melihatku yang sudah menitikkan air mata.

"Eh eh kenapa Nei, ada apa? Dateng-dateng kok nangis. Duduk dulu, duduk dulu." Cyra memegang kedua bahuku, lalu mengarahkanku untuk duduk di kursi miliknya. Aku juga merasa teman sekelasku pun merasa kebingungan kenapa aku baru datang sudah menangis saja.

"Cyraa Aku barusan jatuh. Kalau aku jatuh sendiri aku gabakalan nangis, tapi aku tadi jatuh sama aisha. Cy aku kasian sama aisha dia tadi nangis." Dengan suara yang teredam oleh tangisan aku mencoba menjelaskan kepada Cyra mengapa bisa aku menangis. Samar-samar dari balik bola mataku yang memburam akibat air mata aku bisa melihat Cyra memasang mimik terkejut.

"Jatuh dimana? Ada yang luka nggak?" Cyra memegang badanku kesana kemari, aku lagi-lagi mencoba untuk tenang. Salah satu alasanku memaksakan diri untuk berangkat sekolah, menangis. Karena dirumah aku tidak bisa mengerspresikan diriku sendiri maka aku memilih sekolah untuk memenangkan diri.

"Nabrak angkota, aku nggak ada luka tapi pasti tadi Aisha takut banget. Aku merasa bersalah Cy" Aku mengusap-usap mataku yang terus menitikkan air mata, kepanikan itu masih ada dan tidak tau kapan akan mereda.

"Ke UKS aja ya Nei, tenangin diri dulu. Ayo tak anter kesana, tapi ini air matanya di lap dulu." Cyra memberikan sekotak tisu wajah untukku, aku menggunakannya untuk mengeringkan wajahku yang sudah basah oleh air mata.

Dengan mata yang sudah terlanjur sembab, aku berjalan keluar dari kelas dengan digandeng Cyra untuk bisa sampai ke UKS. Aku masih saja terfikirkan kecelakaan yang tadi aku alami. Betul-betul tepat sebelum aku menabrak angkutan umum itu rasanya blank, kosong. Aku masih memikirkan bagaimana bisa rem motorku tidak sampai dan langsung blong menabrak angkutan umum. Kesalahan ku yang tidak melihat angkutan itu atau kesalahan angkutan yang mengerem mendadak, aku pun tidak tau.

×××

Diketik : 2-11-2023
Dipublish : 16-11-2023

Mirari : Melodi Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang