Chapter 31 - Arkan

28 3 0
                                    

Happy reading <3
+++

Brakk..

Rasa sakit di tubuhku mengalahkan rasa sakit hatiku. Ketika aku hendak berbelok ada mobil yang melaju kencang berlawanan arah denganku. Aku terpental tidak jauh dari motorku yang terserempet mobil. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, hari ini adalah hari tersialku. Aku yakin badanku sudah penuh lecet akibat berbenturan langsung dengan aspal yang kasar.

Mobil itu berhenti, aku masih terbaring tak berdaya di aspal. Rasanya otakku masih tidak bisa di ajak kerja sama untuk sekedar berdiri. Jalanan yang aku lewati sepi, hanya tersisa aku dan mobil yang menyerempetku. Si pengendara mobil ini masih punya hati untuk sekedar berhenti dan turun melihat keadaanku. Tapi sepertinya aku mengenal dia.

"Aduh mbak, nggak mati kan?. Waduh bisa-bisa kena masalah kalau beneran mati, eh tapi masih gerak. Rencana udah bebas mau seneng-seneng kok malah kena apes." Ditengah keremangan jalan, aku masih bisa melihat dengan jelas wajah dari orang yang berceloteh ria sambil mendekatiku.

"Sakit, tolo.." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku pandanganku menggelap, sedetik sebelum kesadaranku hilang aku merasakan dia dengan panik mengangkat tubuhku.

+++

Mataku yang buram perlahan mulai jelas melihat langit-langit ruangan berwarna putih. Badanku sakit, lagi-lagi kenangan itu mengalir seperti kaset rusak dibenakku. Air mata menetes tak terkendali. Rasanya masih tidak percaya aku menjadi naif Karena cinta. Mataku tertutup gejolak asmara sampai tidak bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi di sekitarku.

"Aduh mbak kok nangis, ada yang sakit? Bentar tak panggilkan dokter dulu." Aku menatap kosong pada orang yang ribut sendiri di sampingku. Air mataku menitik semakin deras, kenapa disaat seperti ini aku malah mendengar nada suara yang aku kubur dalam-dalam di benakku. Semua kenangan baru dan kenangan lama campur aduk didalam otakku, sekarang aku rapuh.

Aku tau dia tidak mengenalku, dia orang yang sama namun berbeda. Dia bukan Alka. Aku merasa ada selembar kain yang meraba wajahku, mencoba menghapus air mataku yang menetes pilu. Aku butuh penopang, ternyata ini rasanya menjadi orang-orang yang aku terapi. Merasa dunia tidak berpihak pada mereka, merasa dunia berbalik membenci.

Samar-samar aku melihat dokter dan suster mengelilingiku, rasanya ada sesuatu yang mengalir di darahku dan akhirnya Pandanganku kembali gelap.

Aku tau, aku masih berada pada kubangan mimpi. Hal-hal disini tidak nyata, Bara sudah bukan lagi bagian dari hidupku. Kita sudah benar-benar selesai, tapi kenapa walaupun ini hanyalah mimpi rasa sakitnya masih mendominasi. Aku harus bersyukur karena aku tidak terlanjur lebih jauh dengan Bara, aku diperlihatkan keburukan dari Bara yang sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkan. Kebencian memupuk dalam diri, bukankah seharusnya dia tidak bisa lagi tertawa ketika aku menderita?. Enak sekali dia bisa hidup bahagia.

Entah sudah berapa lamanya aku terlelap, kesadaranku mulai kembali. Kali ini aku diam, tidak lagi menangis dan tidak lagi histeris. Aku sadar hewan satu itu tidak pantas untuk aku tangisi. Seharusnya dia yang menangis karena kehilangan aku. Bukan aku yang kehilangan tapi dia yang kehilangan aku.

Aku mengedarkan pandanganku, ruangan luas ini kosong, apa yang aku harapkan?. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan merenung, aku tidak bisa terus membeku dalam titik waktu ini. Kembali menyusun rencana kehidupanku selama tahun-tahun yang akan datang.

Clek..

"Mbak, sudah mendingan?. Duh saya minta maaf ya mbak udah buat mbak jatuh." Aku melirik orang yang masuk ke dalam ruangan tempatku dirawat. Aku kembali teringat ada tugas yang harus aku kerjakan.

"Pak Kai?." Alka tertegun, sepertinya dia tersadar kalau aku mengenal raga itu. Kalian benar, dia adalah Alka yang berbeda.

"Mbak ini salah orang mungkin, saya Arkan bukan Kai. Muka saya emangnya sepasaran itu ya?." Mari kita panggil dia Arkan, matanya bergerak ke segala arah. Terlihat sekali kebohongan yang coba dia tutup-tutupi.

"Oh maaf, saya kira anda atasan saya. Dan juga nama saya Neisha bukan mbak." Aku mengulas senyum tipis, mengikuti alur yang dia buat. Arkan menggaruk tengkuknya yang aku yakin disana tidak gatal.

"Salam kenal ya Mbak Neisha, sekali lagi maaf saya nggak bermaksud nabrak mbak. Dimaafin ya?." Mukanya melas sekali, seperti baru pertama kali melakukan dosa.

"Iya, salah saya juga karena nggak lihat kanan kiri dulu waktu mau belok. Mas Arkan boleh minta tolong bantu saya duduk?." Tanpa banyak bicara Arkan menopang bahuku agar aku bisa duduk tegak. Sedikit canggung karena kita adalah orang asing.

"Mbak Neisha ada keluarga yang bisa dihubungi?." Saat aku sudah duduk dengan sempurna Arkan mengajukan pertanyaan padaku. Aku menggeleng, tidak ada teman dekat yang bisa aku hubungi sekarang, semuanya hanya sekedar rekan kerja.

"Keluarga saya ada di luar kota. Mas barang-barang saya kemana ya?." Ketika sudah bisa duduk dengan bersandar aku teringat dengan barang yang selalu aku pegang, kemana ponselku dan semua barangku?. Aku melihat Arkan mematung, firasatku buruk tentang ini.

+++

Diketik : 28-11-23
Dipublish : 6-12-23

Mirari : Melodi Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang