Chapter 51 - Konsultasi

27 3 0
                                    

Happy reading <3
+++

Kejadian lempar bunga di pernikahan Aria tidak begitu aku ambil pusing lagi. Buktinya sudah setengah bulan berlalu tetapi yang katanya jodohku itu belum datang juga. Kini aku masih di klinik, tidak ada misi lain yang harus aku jalani dalam rentang waktu yang aku pun tidak tau. Sekarang aku menjadi psikolog biasa yang menerima klien yang ingin berkonsultasi di klinik.

Klien yang datang kemari bermacam-macam permasalahannya. Tetapi yang paling sering datang adalah karena masalah keluarga. Masalah keluarga menjadi bumerang tersendiri untuk kesehatan mental bagi para anggotanya. Orang tua yang katanya berusaha untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya pun kadang kala malah malah menyakiti anak-anak mereka karena pengabaian dan kurangnya kasih sayang yang mereka berikan kepada anak.

Komunikasi yang kurang antara orang tua dan anak, antara pasangan dan antara hamba dengan Tuhannya mengakibatkan semua permasalahan terjadi. Makanya setiap klien yang datang kepadaku dan curhat tentang masalah apapun akan aku berikan satu solusi pasti berupa komunikasi. Jika hanya dikatakan mudah, nyatanya komunikasi itulah rintangan paling sulit dan paling manjur untuk segala permasalahan. Jika hanya diam ujung-ujungnya bukankah tidak akan terselesaikan?.

Tok tok tok

"Masuk." Aku mengalihkan pandanganku dari kertas analisa menuju ke pintu ruanganku yang diketuk. Pena yang aku genggam terjatuh ketika melihat siapa gerangan yang datang ke klinik tempatku bekerja.

"Maaf mungkin anda salah ruangan Pak, ruangan Pak Baskara ada di lantai atas." Aku menjaga intonasi suaraku agar tetap tenang mengatasi orang yang menghalangi pintu ruanganku, siapa lagi yang membuat aku tidak tenang kalau bukan Alka. Tapi kenapa dia sekarang ini tidak dikantor?.

"Aku nggak salah ruangan, ini benar kok ruangannya Neisha. Aku disini mau konsultasi dan aku udah buat janji sama asisten kamu." Tanpa persetujuan dariku Alka menutup pintu lalu menduduki kursi yang ada di hadapanku. Kini Aku dan Alka hanya dibatasi oleh meja kayu yang menjadi tempatku bekerja. Entah kemana hilangnya kata formal yang selalu terucap dari mulut Alka.

"Saya belum mengatakan ya."

"Aku disini sebagai klien yang benar-benar klien. Jadi bisa kita mulai sesi konsultasi ini?." Alka dengan wajah lempengnya bersikeras menjalani konsultasi bersamaku. Kenapa tidak dari dulu saja?. Kenapa harus membuatku repot-repot menjadi asistennya. Dan kenapa bukan psikolog lain?. Banyak pertanyaaan mengelilingi otak kecilku sampai membuatku pusing.

"Mau diusir juga pasti anda memaksa, jadi silahkan lakukan semau anda seperti biasanya." Alka tetap saja mengabaikan nada suaraku yang terkesan menyindir dia yang selalu saja mengambil langkahnya sendiri. Matanya menatap lurus ke arahku, aku mencoba biasa saja tidak ingin kembali terjerumus untuk kesekian kalinya.

"Maaf." Aku tetap diam tanpa berniat menanggapi permintaan maafan dari Alka. Benar-benar membiarkan Alka berbuat semaunya.

"Kamu tau kan? Aku benar-benar sakit. Otakku sakit Nei. Kai dan Arkan memang ada, dan aku tidak pernah  mengada-ada. Dulu aku tidak berniat meninggalkan kamu tanpa pamit. Mana mungkin aku ninggalin orang yang aku cintai sebegitu dalamnya seorang diri. Semuanya terpaksa, malam itu semuanya pecah Nei. Sekarang aku cuma bisa minta maaf, maaf atas keegoisanku yang ingin kamu kembali. Maaf atas segala tangis yang pernah aku beri. Maaf Nei, Maaf. Tolong maafin kakandamu ini yang tidak pernah becus menjaga kamu." Mata Alka berkaca-kaca mendalami perannya yang ingin meminta maaf kepadaku. Rasanya aku ingin tertawa, Kakanda? Kata itu sudah terkubur terlalu dalam sampai aku pun sudah mulai lupa.

Kami berdua sama-sama terdiam. Akhirnya aku mengalah, aku sudah lelah duduk seperti patung. Walaupun rasanya lidahku kelu ingin berucap. Kata-kata penuh amarah yang dulunya terlintas dipikiranku dalam sekejap sirna, aku tidak tau ingin berucap apa. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah banyak hal yang aku lewati seorang diri. Dan laki-laki ini dengan kepercayaan dirinya sudah pergi lalu ingin kembali?.

"Kenapa baru sekarang?." Aku tidak ingin menangis tapi kenapa mataku rasanya memanas dan memburam. Sialan ternyata hatiku tetap saja tidak kuat.

"Mahesa terlalu berbahaya lebih dari yang kamu tau. Bajingan itu menggunakan kamu untuk mengancam aku. Aku nggak mau kamu dalam bahaya, nempatin kamu diposisi itu sama aja bunuh diri Nei. Duniaku udah gelap dan hanya kamu secercah cahaya dari Tuhan yang bisa aku jaga. Tapi nyatanya sampai detik ini pun, setelah Mahesa mati tetap saja aku tidak bisa menjaga kamu tetap aman. Selalu saja aku yang menjadi sumber luka itu sendiri. Tapi sekali lagi maaf Nei, aku mau egois. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki waktu yang sudah terbuang secara percuma." Alka tidak bisa membendung air matanya, dengan suara bergetar yang coba ia tahan air matanya meleleh tak tertahankan.

Manusia yang sedari dulu aku cap aneh kini menangis tanpa suara dihadapanku. Mungkin rasa sakitnya sudah benar-benar dalam sampai dia pun tidak tahan. Aku tahu kali ini dia tidak berbohong. Aku membiarkan Alka menangis sampai lelah. Kepala Alka menunduk, tidak membiarkanku melihat lelehan air matanya. Diam-diam aku juga mengusap mataku yang berair, laki-laki kalau sudah menangis berarti dunianya memang sudah kacau balau.

"Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi. Sesi konsultasi sudah berakhir, jadi silahkan anda kembali. Pintu keluar ada disebelah sana." Aku mengusir Alka dengan halus, kali ini Alka tidak memberontak. Dia hanya menatapku dengan memelas lalu keluar dari ruanganku dengan lambat. Semoga dia tidak kembali lagi.

+++

Diketik : 28-12-23
Dipublish : 28-12-23

Mirari : Melodi Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang