Earthquake.

3K 216 16
                                    

"Shan, kamu duduk aja disitu. Biar kami aja." Anin mengambil alih tumpukan piring yang ada di tangan Shani. Ia tidak mau Shani terlalu memaksakan tubuhnya. Shani pasti masih shock dan belum tenang sepenuhnya, jadi Anin tidak mau jika Shani tiba tiba pingsan atau semacamnya.

Shani menurut untuk menyerahkan tugas itu pada Anin. Tapi ia tidak mau duduk. Ia ingin mencari gadis tadi.

Dengan ransel yang berisi peralatan untuk belajar yang tersandang di pundaknya, ia mengitari lapangan itu. Menelusuri setiap tenda, bertanya pada orang yang sedang tidak sibuk, atau pada anak anak yang sedang bermain.

Shani memicingkan matanya. Sepertinya itu Gracia, yang sedang duduk sendiri menatap keramaian anak anak yang sedang berkumpul. Mengapa ia tidak bergabung?

"Gracia?" Shani duduk di samping gadis itu.

Gracia menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan.

"Udah makan?" Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

Shani berdiri, bergegas pergi ke tenda tempat tadi ia menyiap makanan.

"Kak Anin. Ada satu porsi lagi? Ada yang belum kebagian." Shani bertanya dengan nafas yang terseggal.

"Eh, ga ada lagi Shan. Tapi kalau nasinya aja masih ada kok. Kalau kamu mau goreng telur, atau rebus mi, masih ada kok." Anin menunduk untuk merogoh kardus yang ada di bawah meja. Ia memberikan sebutir telur dan sebungkus mie instan pada Shani.

Shani mengangguk. Mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi ke kompor dan memasak untuk Gracia. Shani tak lupa menyiapkan minum. Ia bergerak dengan cekatan dan telaten, takut jika Gracia pergi.

Saat Shani selesai, Gracia masih disana. Syukurlah.

"Gracia, buka mulutnya." Shani menyodorkan sesuap mi instan dengan nasi, uap terlihat mengepul dari sendok. Itu bagus. Malam ini dingin, Gracia butuh yang hangat hangat.

Gracia menggeleng.

"Gracia. Makan." Tegas Shani.

Gadis itu, menoleh pun tidak. Ia menatap ke depan dengan tatapan kosong.

"Gracia, tolong buka mulutnyaaa. Nasinya pengen masuk."

Gracia masih menggeleng. Shani menghela nafasnya. Ia meletakkan mangkuk plastik itu sebentar, lalu mendekat pada Gracia.

Shani menarik tubuh Gracia ke dalam dekapannya. Ia menyandarkan kepala Gracia pada pundaknya, tangannya mengelus lembut kepala Gracia. 

"Its okey. Everything will be fine. Your parents will be found by them." Bisik Shani lembut. 

Shani tau yang di ucapkannya adalah kebohongan. Semuanya tidak baik baik saja. Dan orang tua Gracia pasti ketemu memang, tapi jasadnya. 

Gracia juga tau bahwa ucapan Shani hanyalah kata kata penenang sementara. Bisa saja lima menit kemudian tsunami menghantam kota mereka. Ia bisa apa? Hanya menyerahkan diri pada tuhan saja rencana yang paling baik.

Gracia terisak. Kemudian tangisnya pecah. 

Gracia menghadapkan tubuhnya pada Shani. Membalas pelukan Shani. Ia mengeluarkan seluruh air mata yang ia tahan sejak tadi sore. Ia meraung sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Shani.

Shani mengelus elus punggung Gracia. Ia membiarkan Gracia puas mengeluarkan tangisannya. Ia tidak bisa membohongi Gracia dengan kata kata penenang lagi. Shani memejamkan matanya, berharap.

Sepuluh menit.

Shani pegal. Tangisan Gracia mulai reda. Dan nasinya sudah tidak panas lagi.

"Sekarang, makan." Shani mengambil piring yang tadi ia letakkan.

GRESHAN ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang