PTSD.

4.9K 329 23
                                        


PTSD

(Post-Traumatic Stress Disorder)


"Serius?" Chika menurunkan nada bicaranya.

"Ya engga. Lo mau aja di bohongi Mpen. Jangan ngajak gue ngomong, capek." Gracia memejamkan matanya.

Chika mengecek ponselnya yang berdenting, lalu berdiri, terlihat mencari sesuatu.

"Ngapain lo? Jangan macem macem." Gracia menatap sinis ketika Gracia memeriksa barang barang Shani yang berada di dalam tas besar.

"Disuruh Shani. Lagian siapa yang berani macem macem sama lo? Gue lebih takut di tinju Shani daripada hantu." Chika sedikit bergumam dengan malas.

Beberapa saat kemudian, Chika mendapatkan apa yang ia cari. Kini Gracia tau apa yang di cari Chika. Ponsel miliknya.

"Ini, Shani suruh kasih elo. Batrenya full kok." Chika meletakkan ponsel itu di atas dada Gracia.

"Taro situ dulu, gue belum butuh. Belum sanggup natap layar." Gracia menunjuk nakas dengan dagunya. Chika mengangguk, melakukan apa yang disuruh Gracia.

Hening. Gracia tidak berniat menanyakan apapun, begitu juga dengan Chika yang kini asyik menggulir ponselnya.

Saat Chika merasa bosan, ia mengangkat kepala dari layar ponselnya, Gracia sudah tertidur. Chika menyipitkan matanya, ragu jika Gracia tidur. Perut gadis itu masih bergerak naik turun, artinya ia tidak tidak mati. Ia kembali melihat ponselnya, membuka aplikasi yang berbeda.

Shani kembali saat sore, Gracia masih tidur. Ia membawa beberapa cemilan dan baju ganti untuk Gracia. 

"Mau langsung pulang Chik?" Tanya Shani, ia mendudukkan dirinya di samping Chika.

"Disini dulu deh, ngabisin ini." Chika menunjuk martabak manis, dimsum, dan dua cup kopi yang dibawa Shani. 

Shani mengangguk.

Chika pulang saat makanan itu habis, saat matahari hampir terbenam. Saat Gracia sudah bangun.

"Lapar?" Tanya Shani.

Gracia mengangguk.

Shani membuka bungkusan makanan untuk Gracia. Pertama, ia menyuapkan makanan itu pada dirinya, lalu meyakinkan Gracia dengan lembut. Tubuh Gracia tak bereaksi apapun, ia mengunyah dengan pelan dan lahap.

"Mau ganti baju sekarang?" Shani sedang membereskan sampah sampah.

"Iya." Sepertinya Gracia sudah tidak nyaman dengan baju itu.

"Mau sama aku, atau sama susternya."

Gracia terkesiap. Benar juga, ganti baju. Bagaimana ini. 

"Sama susternya aja." Gumam Gracia. Ia malu jika Shani yang mengganti bajunya.

"Oke." Shani mengambil baju ganti untuk Gracia, meletakkanya di atas bed Gracia, lalu pergi memanggil seorang suster.

Tiga menit kemudian, seorang suster masuk sendirian, Shani tidak masuk bersamanya. Gadis itu kembali masuk ketika suster itu sudah keluar. Ia merapikan baju kotor Gracia, lalu duduk dengan tenang di sofa.

Shani membiarkan Gracia sibuk dengan pikirannya, alias ia tidak ingin mengajak Gracia mengobrol, ia sudah banyak bicara ketika membujuk Gracia makan.


***


Sudah empat hari sejak Gracia sadar. Gadis itu semakin membaik, kini ia bisa ditinggal sendiri jika Shani ada keperluan atau hal penting yang lain, ia sudah bisa pergi ke kamar mandi sendiri, ia sudah sanggup berjalan mengitari taman rumah sakit, ia sudah bisa tertawa sambil memukul temannya, dan ia sudah bisa mengganti baju sendiri jika itu baju kemeja. 

GRESHAN ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang