"Hei! Bangunlah." Shani menyentuhkan ujung pistolnya pada pipi Gracia, sudah satu jam ia melakukan hal itu.
Ia terlalu lemah untuk menarik pelatuk itu. Maka ia lebih memilih mengecek luka luka Gracia dan mengobatinya.
Wanita itu menghela nafas kasar. Ia lelah dan ingin tidur, tapi tidak dengan wanita ini di sampingnya. Ia akan terbangun di neraka jika melakukan hal itu.
Tangan Gracia bergerak sedikit, lalu matanya terbuka perlahan. Shani menyeringai, akhirnya wanita ini bangun juga. Ia berdiri, sejak tadi posisinya berlutut di pinggir kasur.
Gracia meringgis sambil memegang kepalanya, ia mencoba untuk duduk. Tapi Shani menempelkan ujung pistolnya pada pundak Gracia, mendorongnya agar kembali berbaring.
"Tunggu apa lagi? Kenapa tidak menarik pelatuknya?" Gracia menatap remeh pada Shani. Kemudian ia menatap tubuhnya. Apa apaan ini? Kenapa lukanya terbalut perban dan plester luka? Apa Shani mengobati luka yang ia dapatkan karena tabrakan?
"Hm? Aku sangat ingin menariknya, tapi aku tidak bisa memutuskan dimana harus ku lepas peluru ini." Shani menaiki tubuh Gracia, dengan pistol di tangan kanannya. Ia mengukung tubuh Gracia.
"Dimana pun. Sama aja." Tubuhnya sudah kehilangan banyak tenaga, ia tidak sanggup melawan. Ia tau pasti bahwa dirinya akan kalah telak, jadi untuk apa membuang tenaga yang tersisa?
"Di sini? Tapi wajahmu terlalu indah. Aku tidak mau ini hancur." Shani menggesekkan muncung pistolnya pada pipi Gracia.
"Hmm? Apa akan sakit jika ku lepas disini?" Muncung pistol itu bergerak turun ke dada setelah berhenti di leher sebentar. Ketakutan yang dirasakan Gracia tercium oleh Shani.
"Apakah isinya akan keluar jika ku sarangkan di sini?" Shani memainkan pistolnya pada perut Gracia. Perut itu terlihat naik turun dengan tempo yang tidak konsisten.
"Lihatlah kaki indah ini! Bagaimana bisa aku sanggup melukainya?" Shani duduk di kasur, tak lagi mengukung tubuh Gracia. Muncung pistolnya sudah berada di paha Gracia, ia menyingkap rok itu. Shani terus memainkan pistolnya di selangkangan Gracia, hingga gadis itu bergerak ingin menahan tangan Shani.
"Hei!" Karena Gracia ingin beranjak duduk, Shani kembali mengukung tubuhnya. Gracia meringgis, luka ditubuhnya terasa amat perih dan menusuk.
Shani menatap wajah Gracia yang terlihat kesakitan, dan terlihat takut? Ia tidak tega melihat wajah itu lebih lama lagi, jadi ia harus segera mengakhiri ini.
"Bagaimana kalau kamu aja yang narik pelatuknya. Targetkan pada tubuhku. Di mana aja, asal kamu senang dan puas." Shani memberikan pistol itu pada Gracia. Wanita itu memaksa tangan Gracia agar ia menggenggamnya. Berhasil, Gracia menerima senjata api itu.
"Ayo lakukan! Aku akan sangat berterima kasih padamu." Shani mengecup kening Gracia sekilas. Gracia menempelkan muncung pistol yang sudah di tangannya pada dada Shani, mendorong Shani sampai kedua tangan yang menopang tubuhnya menjadi tegak.
"Tarik pelatuknya Ge. Hentikan debaran yang menyiksa ini. Aku sangat ingin mati di tanganmu." Shani berbisik dengan lembut, matanya tak lepas dari tatapan Gracia.
"Ada apa? Bukankah kau membenciku?" Shani menatap dengan sendu. Ia menghela nafasnya, mencoba menenangkan dirinya sebelum mati di tangan orang yang ia cintai.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku?" Jari telunjuk Gracia sudah berada di pelatuk senjata itu.
"Jika setelah ini kau membunuh Kathrina, tolong bunuh adikku juga. Dia juga akan berterima kasih padamu. Ia lebih suka mati daripada hidup sendirian. Bisakah kau berjanji untuk melakukannya?" Shani tersenyum lembut, satu tangannya menyentuh pipi Gracia, mengelusnya dengan lembut. Lalu sedikit naik untuk mengelus pelipis Gracia yang di tempelkan plester pembalut luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRESHAN ONESHOOT
Fiksi PenggemarFiksi. 21+ !! Hanya sekedar kumpulan cerita pendek dari Greshan. Bagaimanapun jalan ceritanya. Serumit apapun perjuangannya. Sejauh apapun jaraknya. Greshan akan berakhir bahagia.